Kamis, 27 Maret 2008

MAKNA SIWA RATRI

Brata Siwa Ratri Sebagai Wahana Pengendalian Diri Untuk Perenungan Dosa


Umat Hindu mempunyai banyak hari raya seperti hari raya Galungan, Kuningan, Saraswati, Banyu Pinaruh , Pagerwesi ,Nyepi dan Siwa Ratri, dimana setiap hari raya mempunyai makna tersendiri.

Di Bali hari raya Galungan paling meriah dirayakan oleh umat Hindu, merupakan hari besar yang penuh suka cita dan sangat semarak dengan memasang penjor disetiap rumah. Apabila hari raya Galungan merupakan hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, maka Siwa Ratri adalah sebagai wahana pengendalian diri untuk penebusan dosa.

Manonigraha yaitu penguasaan pikiran dan perasaan hati adalah sebagai dasar dalam pengendalian diri. Dalam ajaran Hindu pengendalian diri dikenal dengan Sadripu yaitu enam musuh manusia yang harus dikendalikan. Kenapa hari Raya Siwa Ratri belum banyak dikenal dikalangan umat Hindu di Bali?. Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan oleh umat Hindu pada kalangan terbatas yaitu oleh para pendeta di Bali dan Lombok. Setelah hancurnya komunisme di Indonesia pada tahun 1965 yaitu peristiwa yang terkenal dengan G 30 S P.K.I banyak terjadi pembunuhan2 massal maka timbul suatu kesadaran umat Hindu didalam spiritual.

Pada tahun 1966 perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan oleh PHDI beserta Pemerintah lewat Departemen Agama yang merupakan kebangkitan kegiatan kerohanian dikalangan umat Hindu. Perayaan Siwa Ratri harus dimasyarakat pada kalangan umat Hindu, baik yang berdomisili di Bali maupun diluar Bali dengan memberikan pengertian maksud dan tujuan Siwa Ratri itu sendiri, sesuai yang dianjurkan dalam Kitab Suci Hindu (Weda).

Kitab suci Hindu yang memuat Siwaratri terdapat dalam kitab suci Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana pada bagian Jnana Samhita dengan jelas dipaparkan keutamaan Brata Siwa Ratri dan tata cara merayakan malam suci tersebut. Pada masa dahulu kala perayaan Brata Siwa Ratri tidak hanya populer dirayakan di India saja dimana tempat turunnya kitab suci Hindu, tetapi juga dirayakan oleh umat Hindu di Arab, Eropa dan Indonesia.

Di Indonesia Siwa Ratri pelaksanaan perayaannya diambil dari sumber tertulis oleh Mpu Tanakung yaitu pada kekawin Siwaratrikalpa yang di Bali populer disebut Lubhdaka disekitar tahun 1466 - 1478 pada masa berakhirnya kerajaan Majapahit.

SIWA RATRI.

Siwa Ratri berasal dari dua kata yaitu Siwa dan Ratri yang artinya Siwa adalah penjelmaan Tuhan sebagai pelebur (pralina) alam semesta ini, yang dapat melenyapkan segala kegelapam bathin sehingga menjadi terang, dan Ratri artinya adalah malam atau gelap.

Maka Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranam pada Siwa. Jadi Siwaratri artinya adalah melakukan pemujaan kehadapan Betara Siwa pada saat bulan mati (Purwani Tilem Kepitu) sebagai penebusan (peleburan dosa). Posisi bulan, matahari dan bumi sangat berpengaruh terhadap gaya yang ditimbulkan terhadap bumi. Pada saat tilem (bulan mati) pengaruh gaya yang ditimbulkan bulan sangat kecil dan singkat sehingga sangat baik untuk melakukan semadi.

Maka Hari Raya Siwaratri merupakan saat yang baik dan tepat melakukan Brata, karena mempunya pahala yang sangat besar dan dapat mengampuni dosa2 yang telah dilakukan selama ini.

Ceritra mengenai Siwaratri ada beberapa Versi seperti dalam Skanda Purana dijumpai percakapan antara Maharsi Lomasa dengan para Rsi dengan aktor utamanya adalah si Canda. Canda adalah seorang penjahat, pembunuh segala makluk bahkan membunuh Pendeta. Tetapi setelah dia sadar dengan perbuatannya dan bertobat kepada Dewa Siwa dengan melakuan Brata Siwaratri.

Dia sadar dan mengerti untuk menghayati apa yang disebut dengan Dharma yaitu Kebenaran yang mutlak, sehingga dia mencapai Siwaloka. Orang yang menghabiskan hidupnya untuk hal2 yang bersifat kenafsuan (Adharma), jika pada akhirnya ia menjadi sadar dan ingin kejalan Kebenaran (Dharma) disediakan jalan kearah itu. Maka kesadaran adalah permulaan dari awal Kebenaran (Dharma), maka rasa kebahagian akan timbul dalam diri sendiri.

Yang lebih menarik adalah ceritra Raja Chitrabanu didalam Santi Parwa, parwa ke 12 Mahabrata, pada saat Maharsi Bhisma yang tidur diatas panah2 (saratalpa). Bhisma memberikan wejangan ajaran Dharma kepada Yudistira mengenai masalah Brata Siwa Ratri yang dilakukan oleh Raja Chitrabanu. Raja Chitrabanu adalah salah seorang keturunan dinasti Iswaku yang memerintah seluruh Jambhudwipapamandala sedang melaksanakan hari Brata Siwaratri bersama istrinya.

Ketika sedang mempersiapkan Brata Siwa Ratri datanglah seorang resi bernama Astawakra , maka terjadilah dialog antara Chitrabhanu dengan Astawakra. Apa sebabnya Chitrabhanu melaksanakan Brata Siwa Ratri, dijelaskan secara panjang lebar dari awal sampai akhir.

Pada penjelmaan yang terdahulu, Chitrabhanu adalah seorang pemburu yang tinggal di Waranasi dengan nama Suswara. Untuk menghidupkan keluarganya sebagai mata pencaharian pokok, dia selalu melakukan pemburuan dengan menbunuh binatang seperti burung, kijang, babi, binatang yang hidup ditengah hutan. Pada suatu hari dia berburu ditengah hutan yang lebat, dari pagi sampai petang dia belum mendapat hasil buruan sampai hari menjelang malam.

Sehubungan hari telah gelap, untuk kembali pulang tidak memungkinkan lagi, akhirnya dia bermalam ditengah hutan dengan memanjat sebatang pohon untuk berlindung agar tidak diganggu oleh binatang2 buas. Saat dia termenung diatas pohon, lewatlah seekor Kijang kemudian dipanahnya, tepat mengenai sasaran sehingga Kijang roboh. Kemudian diikatnya kijang hasil buruan pada sebuah dahan pohon, ditempat dia berlindung.

Malam makin larut, udara sangat dingin, perut dari pagi belum terisi, rasa lapar dan haus sangat menyakitkan. Dengan perasaan sedih memikirkan keadaan istri dan anak yang miskin, sedang menunggu hasil buruan, pasti gelisah mengingat sudah tengah malam dia tidak kunjung tiba di rumah. Dengan perasaan sedih dan tidak terasa air mata meleleh tumpah kebawah yang tidak tertahankan.

Untuk melewatkan waktu malam yang sunyi, dia melakukan pemusatan pikiran dengan memetik metik daun maja dan selanjutnya dijatuhkan kebawah. Pada saat fajar menyingsing, dia turun dari pohon dengan membuka ikatan kijang hasil buruan untuk dibawa pulang, segera dijual kepasar untuk membeli bahan2 makanan untuk sanak keluarganya.

Setelah makanan habis dimasak sebelum sempat dimakan, dengan tiba2 datanglah seorang asing bertamu kerumahnya untuk meminta makanan. Dengan rasa hormat dia menyuguhkan makanan kepada tamunya, setelah tamunya selesai, baru dia makan sekeluarga dengan lahapnya sebab seharian belum makan (puasa).

Akhirnya pada saat dia meninggal, dia melihat dua orang sebagai utusan Ciwa, untuk menjemput rohnya, selanjutnya dibawa ke Siwaloka. Setelah di Siwaloka baru dia sadar bahwa pada waktu diatas pohon maja dia memetik daun, dan menjatuhkan kebawah ternyata dibawah pohon terdapat Siwalingga serta air mata yang meleleh juga jatuh diatas Siwalingga. Waktu itu dia tidak menyadari bahwa suatu kebetulan apa yang dia lakukan sebenarnya merupakan wujud Brata Siwa Ratri.

Dalam Padma Purana, Brata Siwa Ratri dimuat pada Uttarakanda, dikisahkan dialog antara Raja Dilipa dengan Resi Wasistha, bahwa Brata Siwa Ratri adalah brata yang sangat utama dan pelaksanaan nya pada bulan magha dan palguna. Seorang pemburu bernama Nisada yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Lubdhaka yang artinya pemburu sedang melakukan pemburuan disuatu hutan.

Pada suatu hari ketika Nisada berburu kedalam hutan sampai kemalaman dan untuk pulang tidak memungkinkan lagi, maka dia bermalam diatas pohon Bilwa yang dibawahnya ada sebuah telaga. Agar tidak tertidur diatas pohon, Nisada memetik metik daun pohon bilwa dan dijatuhkan pada telaga dan sangat kebetulan didalam telaga ada sebuah Lingga siwa yang terbuat dari kristal dan lingga itulah kena daun bilwa. Dan pada saat itu adalah Purwani tilem kepitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang paling gelap diantara 12 tilem).

Sentuhan daun bilwa oleh Nisada dipandang sebagai persembahan oleh sangyang Siwa, Nisada dipandang telah sadar akan dosa2 selama hidupnya, dan Nisada diterima oleh sangyang siwa di Siwaloka. Padma Purana inilah yang menjadi sumber karya sastra yang memuat tentang Siwa Ratri yang sangat populer di Indonesia dengan peran “Lubdhaka”.

MAKNA SPIRITUAL UPACARA SIWA RATRI

Setelah kita membaca beberapa ceritra mengenai Siwa Ratri maka dapat disimpulkan bahwa makna Spiritual dari beberapa versi ceritra tersebut banyak mengandung simbolis2 yang sangat dalam dan mempunyai filosofi yang sangat tinggi dan sistimatis. Apabila kita mulai dari peranan Lubdhaka sebagai seorang pemburu pergi kehutan belantara, hutan melambangkan suatu tempat yang penuh dengan tantangan dan cobaan, kita harus waspada dan hati2 sebab banyak binatang2 buas.

Binatang buas adalah sebagai simbol musuh2 manusia (Sadripu) yang harus dimusnahkan, sebab binatang buas adalah sangat membahayakan dan dapat membunuh manusia itu sendiri. Binatang buas yang dibunuh oleh pemburu penuh dengan nafsu, marah, dengki, tamak, kegiala gilaan dan rasa benci inilah merupakan sifat yang kurang baik bagi manusia dan musuh yang harus dibasmi.

Hutan adalah merupakan tingkat alam pikiran terdiri dari alam dibawah sadar, intelek, keakuan (ego) dan kesadaran. Maka dalam pengendalian diri harus dapat menundukkan pikiran jahat. Apabila seseorang telah dapat menaklukan pikiran2 jahat ia menampakkan tanda2 adalah cahaya bersinar dalam tubuhnya, kesehatannya prima, keteguhan hatinya mantap, wajahnya bersih dan berseri dan suaranya selalu menyenangkan, menyejukkan dan menarik.

Apabila seorang pemburu berhasil membunuh seekor binatang, ini adalah sebagai simbol bahwa seseorang telah dapat menguasai Sadripu sehingga timbul ketenangan adalam jiwanya.

Setelah tahap tahap pengendalian diri dikuasai, pemburu berhasil menangkap binatang buruan maka dilanjutkan tahap berikutnya. Sehubungan hari sudah malam, maka dia bermalam diatas pohon. Memetik daun Bilwa dan menjatuhkan diatas Lingga Siwa, adalah sebagai perwujudan bahkti kehadapan Dewa Siwa, dan air mata yang menetes dan jatuh diatas Lingga Siwa sebagai simbul rasa Cinta Kasih kehadapan Dewa Siwa. Sehubungan dari pagi sampai malam dan pagi berikutnya tidak makan maka kewajiban melakukan Upawasa.

Ditengah malam berdiam diri tanpa berbicara sebagai simbul Monabrata, dan semua kegiatan semalam dilakukan tanpa tidur dan jaga sepanjang malam , ini adalah sebagai simbul Jagra. Jadi Tribrata yaitu tiga kewajiban dalam Siwa R atri yang harus dilakukan adalah Jagra, Upawasa dan Monabrata. Setelah pagi dia turun dari pohon Bilwa , dengan tidak disadari dia melihat Siwa Lingga sebagai perwujudan Dewa Siwa. Pada waktu dia menyuguhkan makanan dia kedatangan tamu asing yang sebenaran penjelmaan dari Dewa Siwa ini adalah sebagai simbolik manifestasi Dewa Siwa artinya dia sudah berhasil mencapai tujuan terakhir yaitu pengampunan dosa (Moksa) dan setelah meninggal mendapat tempat di Siwaloka.

PELAKSANAAN BRATA SIWA RATRI.

Pelaksanaan Brata Siwa Ratri dilakukan oleh Umat Hindu setiap tahun sekali yaitu pada hari Catur Dasi Krsna Paksa bulan magha yaitu panglong ping empat belas sasih kepitu yang biasanya jatuh pada bulan Januari atau pebruari. Persiapan2 apa saja yang harus dilakukan bagi Umat Hindu dalam rangka Brata Siwa Ratri?. Pertama tama kita harus melakukan persembahyangan di Pura untuk pemujaan Betara Siwa , dan sebagai tahap2 berikutnya kita harus melakukan Sadhana semalam suntuk dengan Tribrata Siwa Ratri yaitu :

Mona Brata artinya berdiam diri tidak bicara (membatasi bicara), tujuannya adalah untuk melatih diri dalam hal berbicara, tidak boleh berbicara sembarangan dengan ucapan2 yang tidak patut diucapkan, dan apabila berbicara harus sejuk dan suci. Sebaiknya pada saat Siwa Ratri, dilakukan pembacaan lontar2 yang memuat ajaran Kesucian seperti Bhagawad Gita, Ramayana, Sarasmuscaya dan Kitab2 Suci lainnya.

Apuwasa artinya kembali suci dengan tidak makan selama melaksakan Brata Siwa Ratri selama 24 Jam, tujuannya untuk melatih pengendalian diri dengan menghilangkan keterikatan2 (warigya) sehingga dapat melakukan konsentrasi (Semadi) dalam rangka pendekatan diri kepada Dewa Siwa.

Jagra artinya Sadar yaitu tidak tidur semalam suntuk, panca indra dibuka diisi dengan ajaran Suci dengan membaca kitab2 suci Agama Hindu, sebagai pencerahan diri sendiri. Disamping melakukan Dharma Tula (berdiskusi) dan membaca buku2 suci sebaiknya selalu melantumkan Om Namah Siwaya sepanjang malam untuk memperkuat diri sendiri.

Tingkatan Brata Siwa Ratri dapat dibagi menjadi 3 yaitu Utama, Madya dan Nista. Untuk tingkatan Nista hanya melakukan Jagra saja, untuk tingkatan Madya hanya melakukan Apuasa, Jagra dan untuk tingkatan Utama melakukan ketiga tiganya (Tribrata) yaitu Apuasa, jagra dan Mona Brata.

PENUTUP.

Setiap hari raya Hindu mempunyai arti dan makna yang berbeda beda, dan umat Hindu selalu dengan ketulusan hati merayakan hari2 suci tersebut. Setiap hari raya Siwa Ratri, pura2 di Bali maupun diluar Bali penuh dikunjungi umatnya untuk melakukan persembahyangan dan diikuti dengan pembacaan2 lontar2 suci . Apabila kita selalu melakukan Bhakti kehadapan Yang Widhi Wasa, kita akan mencapai kesadaran Ketuhanan, seperti yang kami kutip dalam kakawin Siwaratrikalpa sebagai berikut :

Yadin sagati gati wwang amangun hala lumarani, buddhi ning para dwijaghna tuwi mon krtaghna guru talpaka mati raray ungu ring weteng sapapa nika nasa de nikin atanghi menuju siwaratri kottama
sawet ni parama prabhawa nikanang kalingan isabda ni nghulun (37.8).

Terjemahannya adalah :

Walau bagaimanapun seseorang melakukan perbuatan jahat, menyengsarakan hati orang lain, membunuh pendetapun serta congkak terhadap guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan musnah dengan berjaga (Jagra) pada saat Siwaratri yang utama, demikianlah makna yang telah kuucapkan.

Siwa Ratri sering menjadi bahan perdebatan dalam Dharma Tula, pertanyaan yang sering timbul adalah apakah manusia semacam Lubdhaka yang penuh dosa dalam kehidupannya, hanya melakukan pemujaan terhadap Betara Siwa tanpa sengaja gampang sekali mendapat Sorga (Siwa loka)?.

Bagaimana konsep Karma pala dalam agama Hindu, apakah tidak berlaku terhadap kasus “Lubdhaka”?.
Jawabanya adalah kita selalu berpedoman kepada kitab2 Suci Hindu yang kita yakini dan percaya kebenarannya dan harus dihayati dengan penuh kesucian.

Demikianlah makna dari Brata Siwa Ratri, bagi Umat Hindu Tri Brata Siwa Ratri yang dianjurkan dalam kitab suci harus dilakukan hening dan suci, yaitu penuh keyakinan, kepasrahan, kekusukkan dengan tahap2 yaitu Apuasa, Jagra dan Mona Brata.

Dengan harapan kita selalu mendapat perlindungan Yang Widhi Wasa dengan diberikan kesehatan, kekuatan dan keselamatan dalam kehidupan yang serba sulit saat ini.

Rabu, 19 Maret 2008

Yajurveda.XXX. 5

Brahmane brahmanam, ksatraya
rajanyam, marudbhyo vaisyam
tapase sudram.
(Yajurveda.XXX. 5).

Artinya:
Tuhan telah menciptakan Brahmana untuk mengembangkan pengetahuan.
Ksatria untuk perlindungan, Vaisya untuk kesejahteraan dan Sudra untuk
pekerjaan jasmani.

SALAH satu swadharma pemimpin negara seperti raja adalah membangun
sistem sosial yang dapat membangun kebersamaan yang dinamis untuk
menciptakan kerukunan sosial. Rukun itu adalah terminal sosial untuk
mengantarkan kehidupan bersama dalam keadaan aman dan damai. Keadaan
aman dan damai itu sebagai kondisi yang dibutuhkan agar tumbuh
potensi-potensi material dan spiritual yang seimbang dan kontinu untuk
membangun manusia yang seutuhnya lahir batin sebagai manusia yang
hidup bahagia.

Masyarakat yang aman dan damai itu adalah masyarakat yang di dalamnya
ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan mengembangkan diri sesuai
dengan profesi dan fungsi masing-masing.

Dalam ajaran Hindu ada filosofi dasar membangun masyarakat yang rukun
secara vertikal dan horizontal. Bagaikan tampak dara yaitu ada dua
garis menyilang. Ada garis vertikal dari bawah ke atas dan ada garis
horizontal. Garis vertikal dan horizontal ini menyilang di
tengah-tengah. Itulah yang membentuk apa yang disebut dalam simbol
Hindu di Bali sebagai tampak dara.

Rukun secara vertikal antargenerasi berdasarkan konsep Catur Asrama.
Brahmacari hormat dan bakti pada generasi tua yang Gerhasta Asrama.
Demikian juga seterusnya dengan Asrama yang selanjutnya. Demikian juga
rukun secara horizontal antara profesi berdasarkan Catur Varna.

Sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Yajurveda. XXX.5 bahwa Catur Varna
itu sama-sama ciptaan Tuhan berdasarkan Guna dan Karma. Artinya
berdasarkan bakat dan pekerjaannya. Catur varna itu kedudukannya
paralel horizontal, tidak membeda-bedakan harkat dan martabat sesama
manusia.

Keberadaan Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel Klungkung ini sebagai
tempat pemujaan untuk menyatukan berbagai golongan yang ada di Bali
saat kejayaan Kerajaan Klungkung ketika beribu kota di Gelgel yang
waktu itu disebut Sweca Pura. Di Pura Dasar Bhuwana ini di samping ada
sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa juga terdapat pemujaan Dewa Pitara
(roh suci leluhur) dari beberapa warga atau wangsa.

Ada pemujaan Warga Satria Dalem, Warga Pasek Maha Gotra Sanak Sapta
Resi, Warga Pande dan Wangsa Dang Hyang Nirartha. Pemujaan berbagai
warga nampaknya baru didirikan saat kejayaan Kerajaan Klungkung yang
beribu kota di Sweca Pura.

Sebagaimana umumnya pura di Bali berkembangnya secara evolusi sesuai
dengan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Oleh para peneliti pura
ini sudah ada sejak abad ke-10 Masehi sebagai Pasraman Pandita Mpu
Graha. Kalau kita perhatikan perkembangan berbagai tempat pemujaan
umat Hindu di Bali umumnya pura itu dikembangkan oleh setiap generasi.
Ini artinya lewat sistem pemujaan itu umat Hindu menghormati
peninggalan- peninggalan leluhurnya dengan melanjutkan apa yang
diwariskan oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dapat disebut adanya
kerukunan antara generasi.

Mengembangkan warisan leluhur itu disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Meskipun demikian substansi universal dari warisan
itu sebagai tempat pemujaan untuk membina hidup yang benar dan suci
tetap dilanjutkan.

Dalam sistem pemujaan Hindu di samping adanya pemujaan pada Tuhan
sebagai unsur yang tertinggi, ajaran Hindu mengajarkan juga pemujaan
leluhur atau Dewa Pitara. Karena menurut Sarasamuscaya 250 ada empat
pahala orang yang berbakti pada leluhurnya yaitu Kirti, Bala, Yasa dan
Yusa.

Sementara dalam Manawa Dharmasastra II.121 dinyatakan bahwa mereka
yang tekun berbakti pada leluhurnya akan memperoleh pahala: Ayu,
Widya, Yasa dan Bala. Dari ajaran inilah menimbulkan adanya sistem
pengelompokan warga. Pandhaninath Prabhu dalam bukunya ''Hindu Social
Organisation' ' menyatakan ada tiga sistem pengelompokan leluhur yaitu
berdasarkan Sapinda, Gotra, dan Pravara.

Sapinda kesamaan leluhur berdasarkan kesamaan darah keturunan yang
dapat dilacak dengan pasti. Gotra kesamaan keluarga berdasarkan tokoh
yang diyakini sebagai leluhurnya sebagai pembentuk wangsa. Pravara
kesamaan keluarga didasarkan pada kesamaan sampradaya atau sekte Hindu
yang dianutnya.

Di India umat Hindu juga dikelompokkan berdasarkan sistem Gotra.
Karena itu ada ratusan bahkan ribuan Gotra. Sistem pengelompokan
berdasarkan sistem wangsa ini tidak ada kaitannya dengan kasta,
apalagi Catur Varna. Sistem wangsa atau sistem klan Hindu adalah untuk
memantapkan ajaran pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan.

Umat Hindu amat yakin akan pahala mulia bagi mereka yang berbakti pada
leluhurnya sebagaimana dijanjikan oleh Pustaka Sarasamuscaya dan
Manawa Dharmasastra tersebut. Tidaklah tepat kalau sistem wangsa ini
dicampuradukkan dengan sistem Catur Varna. Sistem Varna adalah sabda
Tuhan sebagai ajaran untuk mengembangkan profesi melalui pengembangan
dan pembinaan Guna dan Karma.

Selasa, 18 Maret 2008

SEJARAH DAN MAKNA HARI RAYA GALUNGAN

SEJARAH DAN MAKNA HARI RAYA GALUNGAN

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan
Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan
titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur,
tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada
hari Rabu Kliwon,(Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804
Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka
perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama
Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk
mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena
tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk
menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi,
galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”

Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang meraka dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

(Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka
Manikgeni)

=============================

http://pasopati.brinkster.net/parisadaorg/disartikel_detail.asp?eventsPage=4&articlesPage=2&article_id=18

Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita menengok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana Bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap
prasasti-prasasti jaman Bali Kuna maka dapat disimpulkan bahwa Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali disebut Jayakasumu, putra dari raja Bhatara
Guru yang memerintah pada tahun saka 1246-1250. Di dalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek usianya disebabkan mereka melupakan tradisi untuk merayakan Galungan.
Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapatni, permaisuri raja Dharma Udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durga-mahisa-sura-mardini, yaitu dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau (kini arcanya tersimpan di pura Kedarman, desa Buruan Kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan
roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) disebut mencapai tingkatan masiddhadevata dan hal ini dapat kita lihat dari informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu Gayatri
di pura (candi) Penataran, Blitar, Jawa Timur yang dalam kitab Nagarakrtagama pura ini disebut Hyang I Palah.

Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut Galungan, melainkan disebut “atawuri umah anucyaken pitara” yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh (leluhur), sebagaimana bunyi prasasti
Suradhipa tahun Saka 1037.

Istilah Galungan (yang atinya sama dengan Vijaya atau kemenangan) rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055. Di samping juga sesajen yang bernama
Tahapan-stri, persembahan ini ditujukan kepada dewi Durga, sakti Sang Hyang Siva, karena dewi Durga-lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa. Ciri khas ersembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala
dan Nepal dan rupanya penggunaan daging dan darah babi (yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.

sementara informasi dari link berikut:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0211/21/opi03.html

berdasarkan kitab pararaton Jawa, Hari Raya Galungan pertama sekali dirayakan di Indonesia pada abad ke-11, tepatnya di Jawa. Namun sejak keruntuhan kerajaan Majapahit, Hari Raya Galungan ini lama tak diperingati lagi.Kemudian, Hari Raya Galungan kembali diperingati di Bali. Perayaan ini bermula karena Raja Jaya Kusunu mendapat sabda atau wangsit dari Bhatara Durga kembali merayarakan Hari Raya Galungan.

Pada masa itu, banyak warga masyarakat menderita sakit. Menerima wangsit ini, Raja Jaya Kusunu kemudian merayakan kembali Hari Raya Galungan. Tak lama kemudian warga masyarakat akhirnya sembuh dari penyakit.

berdasarkan kitab pararaton Jawa, Hari Raya Galungan pertama sekali dirayakan di Indonesia pada abad ke-11, tepatnya di Jawa. Namun sejak keruntuhan kerajaan Majapahit, Hari Raya Galungan ini lama tak diperingati lagi.

Kemudian, Hari Raya Galungan kembali diperingati di Bali. Perayaan ini bermula karena Raja Jaya Kusunu mendapat sabda atau wangsit dari Bhatara Durga kembali merayarakan Hari Raya Galungan.

Pada masa itu, banyak warga masyarakat menderita sakit. Menerima wangsit ini, Raja Jaya Kusunu kemudian merayakan kembali Hari Raya Galungan. Tak lama kemudian warga masyarakat akhirnya sembuh dari penyakit.

Dalam mitologi di Bali, perayaan Hari Raya Galungan berawal dari adanya peperangan antara pasukan yang dipimpin Bhatara Jaya Indra melawan Maya Dhanaunta yang selalu melarang rakyat melakukan
sembahyang atau ibadah. Dalam pertempuran yang cukup sengit itu, akhirnya Maya Dhanaunta bisa dikalahkan. Meski demikian, prajurit Bhatara Jaya Indra banyak yang tewas.

Sebagai bukti sejarah tentang adanya peperangan itu adalah keberadaan Tirta Empul di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Tak lama seusai pertempuran itu, Bhatara Jaya Indra menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dan ketika tongkat dicabut, dari dalam tanah keluar air bak air mancur. Air ini selanjutnya dipakai memerciki para prajurit yang akhirnya hidup kembali. Tempat keluarnya air itu diberi nama Tirta Empul.

Sebagai perbandingan versi lainnya coba di baca-baca di arsipnya pak IB Oka Nila:

Perayaan Galungan di Bali disamakan dengan Hari Raya Wijaya Dasami atau Hari Raya Dasara di India. Seperti halnya hari raya Galungan dan Kuningan yang dirayakan 10 hari, maka inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Sedangkan dalam upacara Wijaya Dasami pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu, pemelihara dunia dan pelindung dharma.

Menurut Ketua PHDI Jembrana I Ketut Semara Guna, pada zaman dahulu jagat dikuasai Raja Maya Danawa. Dia adalah raja yang sangat kejam dan bengis. Warga dilarang untuk datang ke pura dan mengaturkan sesajen. Akibatnya, suasana pun tak menentu dan penuh kesengsaraan. Karena tak ada yang berani sembahyang, kondisi alam pun terpengaruh. Tak ada yang menghormati Ida Sang Hyang Widhi.Ketika itu Sri Jaya Kesunu melakukan semedi di Gunung Lempuyang. Beliau mendapat pawarah-warah agar warga melakukan persembahyangan. Pemujaan terhadap leluhur pun mulai dilakukan. Upacara-upacara yang dulu dilarang Maya Denawa pun mulai dilakukan walau secara sembunyi-sembunyi. Dari pawarah-warah itu juga diketahui, kalau umat tidak melakukan pemujaan, bumi akan hancur.

Di sisi lain, Batara Indra mendapat tugas untuk mengembalikan suasana aman dan nyaman di Bali. Beliau pun mohon bantuan kepada para dewa untuk bersatu menghancurkan Maya Denawa. Akhirnya, melalui pertarungan sengit, Maya Denawa pun kalah dan darahnya tumpah di Tukad Petanu.

Sejak kematian Maya Denawa, warga masyarakat mulai menemukan pencerahan. Suasana galang apadang, gilang gumilang. Dharma (kebaikan) berhasil mengalahkan adharma (kejahatan) dan inilah yang kemudian dirayakan sebagai Galungan.

Istilah Galungan (yang atinya sama dengan Vijaya atau kemenangan) rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055. Di samping juga sesajen yang bernama
Tahapan-stri, persembahan ini ditujukan kepada dewi Durga, sakti Sang Hyang Siva, karena dewi Durga-lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala
dan Nepal dan rupanya penggunaan daging dan darah babi (yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.
==============================

Memaknai Galungan –
Tumbuhkan Kesadaran terhadap Nilai-nilai Kemanusiaan
Besok, Rabu (23/01) Kliwon Dungulan, umat Hindu kembali merayakan Galungan. Hari raya ini baik sekali dijadikan tonggak untuk introspeksi, sebagaimana yang tersirat dalam Wuku Dunggulan –
Dunggulaning Parangmuka yang artinya jaya dalam setiap ”pertempuran” melawan tindakan atau perilaku adharma. Bagaimana mestinya umat memaknai Galungan?

==========================

KAKANWIL Agama Propinsi Bali Gusti Made Ngurah mengatakan, Hindu memiliki sejumlah hari raya. Hari raya keagamaan itu bisa dijadikan momentum untuk melakukan perenungan-perenungan atau mulat sarira. Demikian pula Galungan yang datang setiap enam bulan sekali. Saat Galungan, umat alangkah baiknya melakukan perenungan akan kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Saat Galungan umat melakukan introspeksi, apakah selama ini sudah mampu menghindari perbuatan yang bertentangan
dengan dharma, seperti perilaku kekerasan dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sadripu.

”Nilai-nilai kemanusiaan itu penting ditumbuhsuburkan dalam diri. Tak hanya saat Galungan, pada hari-hari keagamaan lainnya umat baik sekali jika melakukan perenungan-perenungan. Dan, saat hari raya Galungan umat melakukan perenungan terhadap makna dharma itu sendiri,” ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Rektor IHDN Denpasar Gede Rudia Adiputra. Dikatakannya, setiap perayaan hari keagamaan, termasuk Galungan, diharapkan ada peningkatan sradha dan bhakti.

Melalui perayaan Galungan, umat hendaknya merenung, apakah selama ini sudah menang melawan adharma. Apakah sudah mampu meningkatkan sradha dan bhakti? Apakah sudah berbuat lebih baik daripada sebelumnya? Apakah sudah mampu mengendalikan diri dan menghindari perbuatan yang
bertentangan dengan dharma? Apakah sudah ada peningkatan intelektualitas? ”Jika merasa gagal, kita mesti jujur mengakui kegagalan itu dan kemudian berupaya membenahi diri,” kata Rudia.

Mengenai perayaan Galungan, dosen S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi Drs. Wayan Sukarma, M.Si. mengatakan harus dimaknai sebagai disiplin berpikir dan bertindak. Perayaan yang berulang setiap 6 bulan itu merupakan siklus yang nilai-nilainya juga perlu direvitalisasi. Seperti konsep yoga yang dilakukan berulang-ulang dalam ruang dan waktu yang sama, sehingga setiap hari manusia seharusnya ingat kepada Tuhan, ingat kepada dharma. Galungan harus dimaknai tidak semata-mata
sebagai rutinitas kemenangan dharma, kebenaran atas kejahatan. ”Jadikan dharma sebagai kepribadian. Bukan hanya sebatas di permukaan, tapi lebih ke kedalaman dan spirit kemenangan dharma itu,”
ujarnya.

Soal kemenangan dharma yang dirayakan secara ritual atau seremonial dalam hari raya Galungan, menurut Sukarma tidak boleh berhenti di tingkat kemenangan. Manusia Hindu Bali bisa jadi bangga karena menjadi pemenang dalam pertempuran dharma melawan adharma. Namun, rasa bangga
tersebut harus diikuti dengan rasa syukur dan bahagia. Dan, yang terpenting, memiliki mental pemenang. Hal itu baik di tengah situasi kompetitif saat ini. ”Jiwa kemenangan harus dibawa ke keseharian,”
imbuhnya.

Dia menambahkan, dharma bersifat elastis. Bukan sekadar kebenaran, namun dharma juga bisa dimaknai sebagai rta, hukum alam. Segala sesuatu di luar Atman dan Brahman, itulah dharma.

Makna galungan

Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan.

Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan.
Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

Beberapa Macam Galungan

A. Galungan
Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
B. Galungan Nadi
Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.
C. Galungan Naramangsa.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah.

Rangkaian Hari Raya Galungan
Persiapan perayan hari raya Galungan dimulai sejak Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Bubuh, pada hari ini umat memohon kehadapan Sanghyang Sangkara, Dewanya tumbuh tumbuhan agar Beliau menganugrahkan supaya hasil pertanian meningkat. Setelah itu wrespati Sungsang adalah hari Sugihan Jawa merupakan pensucian bhuwana agung dilaksanakan dengan menghaturkan pesucian mererebu di Merajan, pekarangan, rumah serta menyucikan alat-alat untuk hari raya Galungan. Besoknya Sukra Kliwon Sungsang disebut hari Sugihan Bali, pada hari ini kita melaksanakan penyucian bhuwana alit, mengheningkan pikiran agar hening, heneng dan metirta gocara. Selanjutnya Redite Paing Dungulan disebut penyekeban. Pada hari ini adalah hari turunnya Sang Kala Tiga Wisesa, maka pada hari ini para wiku dan widnyana meningkatkan pengendalian diri (anyekung adnyana). Besoknya Soma Pon Dungulan disebut penyajaan pada hari ini tetap menguji keteguhan sebagai bukti kesungguhan melakukan peningkatan kesucian diri seperti yoga semadi. Selanjutnya Anggara Wage Dungulan disebut penampahan melakukan bhuta yadnya ring catur pate atau lebuh di halaman rumah, agar tidak diganggu Sang Kala Tiga Wisesa. Besoknya Buda Kliwon Dungulan disebut Hari Raya Galungan umat Hindu melakukan pemujaan kepada Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. Wrespati Umanis Dungulan disebut Manis Galungan, umat saling kunjung-mengunjungi dan maaf-memaafkan. Selanjutnya Saniscara Pon Dungulan disebut pemaridan guru pada hari ini umat melaksanakan tirta gocara, Redite Wage Kuningan disebut ulihan kembalinya Dewa dan Pitara kekahyangan.

Selanjutnya Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung Dewa beserta pengiringnya kembali dan sampai ketempat masing-masing. Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan adalah persiapan untuk menyambut hari Raya Kuningan. Besoknya Saniscara Kliwon Kuningan hari Raya Kuningan, pada hari ini umat Hindu memuja Tuhan dengan segala manifestasinya. Upacara menghaturkan saji hendaknya.dilaksanakan jangan sampai lewat tengah hari, mengapa ? Karena pada tengah hari para Dewata diceritakan kembali ke swarga. Kemudian yang paling akhir dari rangkaian hari raya Galungan yaitu Buda Kliwon Pahang disebut pegat uwakan akhir dari pada melakukan peberatan Galungan sebagai pewarah Dewi Durga kepada Sri Jaya Kasunu ditandai dengan mencabut penjor kemudian dibakar, abunya dimasukkan kedalam bungkak gading ditanam di pekarangan.

Makna Hari Raya Galungan
Pada hari raya suci Galungan dan Kuningan umat Hindu secara ritual dan spiritual melaksanakannya dengan suasana hati yang damai. Pada hakekatnya hari raya suci Galungan dan Kuningan yang telah mengumandang di masyarakat adalah kemenangan dharma melawan adharma. Artinya dalam konteks tersebut kita hendaknya mampu instrospeksi diri siapa sesungguhnya jati diri kita, manusia yang dikatakan dewa ya, manusa ya, bhuta ya itu akan selalu ada dalam dirinya. Bagaimana cara menemukan hakekat dirinya yang sejati?, "matutur ikang atma ri jatinya" (Sanghyang Atma sadar akan jati dirinya).
Hal ini hendaknya melalui proses pendakian spiritual menuju kesadaran yang sejati, seperti halnya hari Raya Galungan dan Kuningan dari hari pra hari H, hari H dan pasca hari H manusia bertahan dan tetap teguh dengan kesucian hati digoda oleh Sang Kala Tiga Wisesa, musuh dalam dirinya, di dalam upaya menegakkan dharma didalam dirinya maupun diluar dirinya. Sifat-sifat adharma (bhuta) didalam dirinya dan diluar dirinya disomya agar menjadi dharma (Dewa), sehingga dunia ini menjadi seimbang (jagadhita). Dharma dan adharma, itu dua kenyataan yang berbeda (rwa bhineda) yang selalu ada didunia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan sehingga evolusi didunia bisa berjalan.

Kemenangan dharma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknyalah diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan, dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu :
"Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika".
Artinya:
Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya, perumpamaan ini diambil sebab sesungguhnya sangat sukar untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu.

Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknyalah ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Sarasamuccaya (sloka 564) menyebutkan :
"Lawan ta waneh, atyanta ring gahana keta sanghyang dharma ngaranira, paramasuksma, tan pahi lawan tapakning iwak ring wwai, ndan pinet juga sire de sang pandita, kelan upasama pagwan kotsahan".
Artinya:
Lagi pula terlampau amat mulia dharma itu, amat rahasia pula, tidak bedanya dengan jejak ikan didalam air, namun dituntut juga oleh sang pandita dengan ketenangan, kesabaran, keteguhan hati terus diusahakan.
Demikianlah keutamaan dharma hendaknyalah diketahui, dipahami kemudian dilaksanakan sehingga menemukan siapa sesungguhnya jati diri kita.

Brata Siwa Ratri

Brata Siwa Ratri Sebagai Wahana Pengendalian Diri Untuk Perenungan Dosa



Umat Hindu mempunyai banyak hari raya seperti hari raya Galungan, Kuningan, Saraswati, Banyu Pinaruh , Pagerwesi ,Nyepi dan Siwa Ratri, dimana setiap hari raya mempunyai makna tersendiri.

Di Bali hari raya Galungan paling meriah dirayakan oleh umat Hindu, merupakan hari besar yang penuh suka cita dan sangat semarak dengan memasang penjor disetiap rumah. Apabila hari raya Galungan merupakan hari raya kemenangan Dharma melawan Adharma, maka Siwa Ratri adalah sebagai wahana pengendalian diri untuk penebusan dosa.

Manonigraha yaitu penguasaan pikiran dan perasaan hati adalah sebagai dasar dalam pengendalian diri. Dalam ajaran Hindu pengendalian diri dikenal dengan Sadripu yaitu enam musuh manusia yang harus dikendalikan. Kenapa hari Raya Siwa Ratri belum banyak dikenal dikalangan umat Hindu di Bali?. Brata Siwa Ratri pada mulanya dirayakan oleh umat Hindu pada kalangan terbatas yaitu oleh para pendeta di Bali dan Lombok. Setelah hancurnya komunisme di Indonesia pada tahun 1965 yaitu peristiwa yang terkenal dengan G 30 S P.K.I banyak terjadi pembunuhan2 massal maka timbul suatu kesadaran umat Hindu didalam spiritual.

Pada tahun 1966 perayaan Siwa Ratri mulai dimasyarakatkan oleh PHDI beserta Pemerintah lewat Departemen Agama yang merupakan kebangkitan kegiatan kerohanian dikalangan umat Hindu. Perayaan Siwa Ratri harus dimasyarakat pada kalangan umat Hindu, baik yang berdomisili di Bali maupun diluar Bali dengan memberikan pengertian maksud dan tujuan Siwa Ratri itu sendiri, sesuai yang dianjurkan dalam Kitab Suci Hindu (Weda).

Kitab suci Hindu yang memuat Siwaratri terdapat dalam kitab suci Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana. Dalam Siwa Purana pada bagian Jnana Samhita dengan jelas dipaparkan keutamaan Brata Siwa Ratri dan tata cara merayakan malam suci tersebut. Pada masa dahulu kala perayaan Brata Siwa Ratri tidak hanya populer dirayakan di India saja dimana tempat turunnya kitab suci Hindu, tetapi juga dirayakan oleh umat Hindu di Arab, Eropa dan Indonesia.

Di Indonesia Siwa Ratri pelaksanaan perayaannya diambil dari sumber tertulis oleh Mpu Tanakung yaitu pada kekawin Siwaratrikalpa yang di Bali populer disebut Lubhdaka disekitar tahun 1466 - 1478 pada masa berakhirnya kerajaan Majapahit.

SIWA RATRI.

Siwa Ratri berasal dari dua kata yaitu Siwa dan Ratri yang artinya Siwa adalah penjelmaan Tuhan sebagai pelebur (pralina) alam semesta ini, yang dapat melenyapkan segala kegelapam bathin sehingga menjadi terang, dan Ratri artinya adalah malam atau gelap.

Maka Siwa Ratri pada hakikatnya kegiatan Namasmaranam pada Siwa. Jadi Siwaratri artinya adalah melakukan pemujaan kehadapan Betara Siwa pada saat bulan mati (Purwani Tilem Kepitu) sebagai penebusan (peleburan dosa). Posisi bulan, matahari dan bumi sangat berpengaruh terhadap gaya yang ditimbulkan terhadap bumi. Pada saat tilem (bulan mati) pengaruh gaya yang ditimbulkan bulan sangat kecil dan singkat sehingga sangat baik untuk melakukan semadi.

Maka Hari Raya Siwaratri merupakan saat yang baik dan tepat melakukan Brata, karena mempunya pahala yang sangat besar dan dapat mengampuni dosa2 yang telah dilakukan selama ini.

Ceritra mengenai Siwaratri ada beberapa Versi seperti dalam Skanda Purana dijumpai percakapan antara Maharsi Lomasa dengan para Rsi dengan aktor utamanya adalah si Canda. Canda adalah seorang penjahat, pembunuh segala makluk bahkan membunuh Pendeta. Tetapi setelah dia sadar dengan perbuatannya dan bertobat kepada Dewa Siwa dengan melakuan Brata Siwaratri.

Dia sadar dan mengerti untuk menghayati apa yang disebut dengan Dharma yaitu Kebenaran yang mutlak, sehingga dia mencapai Siwaloka. Orang yang menghabiskan hidupnya untuk hal2 yang bersifat kenafsuan (Adharma), jika pada akhirnya ia menjadi sadar dan ingin kejalan Kebenaran (Dharma) disediakan jalan kearah itu. Maka kesadaran adalah permulaan dari awal Kebenaran (Dharma), maka rasa kebahagian akan timbul dalam diri sendiri.

Yang lebih menarik adalah ceritra Raja Chitrabanu didalam Santi Parwa, parwa ke 12 Mahabrata, pada saat Maharsi Bhisma yang tidur diatas panah2 (saratalpa). Bhisma memberikan wejangan ajaran Dharma kepada Yudistira mengenai masalah Brata Siwa Ratri yang dilakukan oleh Raja Chitrabanu. Raja Chitrabanu adalah salah seorang keturunan dinasti Iswaku yang memerintah seluruh Jambhudwipapamandala sedang melaksanakan hari Brata Siwaratri bersama istrinya.

Ketika sedang mempersiapkan Brata Siwa Ratri datanglah seorang resi bernama Astawakra , maka terjadilah dialog antara Chitrabhanu dengan Astawakra. Apa sebabnya Chitrabhanu melaksanakan Brata Siwa Ratri, dijelaskan secara panjang lebar dari awal sampai akhir.

Pada penjelmaan yang terdahulu, Chitrabhanu adalah seorang pemburu yang tinggal di Waranasi dengan nama Suswara. Untuk menghidupkan keluarganya sebagai mata pencaharian pokok, dia selalu melakukan pemburuan dengan menbunuh binatang seperti burung, kijang, babi, binatang yang hidup ditengah hutan. Pada suatu hari dia berburu ditengah hutan yang lebat, dari pagi sampai petang dia belum mendapat hasil buruan sampai hari menjelang malam.

Sehubungan hari telah gelap, untuk kembali pulang tidak memungkinkan lagi, akhirnya dia bermalam ditengah hutan dengan memanjat sebatang pohon untuk berlindung agar tidak diganggu oleh binatang2 buas. Saat dia termenung diatas pohon, lewatlah seekor Kijang kemudian dipanahnya, tepat mengenai sasaran sehingga Kijang roboh. Kemudian diikatnya kijang hasil buruan pada sebuah dahan pohon, ditempat dia berlindung.

Malam makin larut, udara sangat dingin, perut dari pagi belum terisi, rasa lapar dan haus sangat menyakitkan. Dengan perasaan sedih memikirkan keadaan istri dan anak yang miskin, sedang menunggu hasil buruan, pasti gelisah mengingat sudah tengah malam dia tidak kunjung tiba di rumah. Dengan perasaan sedih dan tidak terasa air mata meleleh tumpah kebawah yang tidak tertahankan.

Untuk melewatkan waktu malam yang sunyi, dia melakukan pemusatan pikiran dengan memetik metik daun maja dan selanjutnya dijatuhkan kebawah. Pada saat fajar menyingsing, dia turun dari pohon dengan membuka ikatan kijang hasil buruan untuk dibawa pulang, segera dijual kepasar untuk membeli bahan2 makanan untuk sanak keluarganya.

Setelah makanan habis dimasak sebelum sempat dimakan, dengan tiba2 datanglah seorang asing bertamu kerumahnya untuk meminta makanan. Dengan rasa hormat dia menyuguhkan makanan kepada tamunya, setelah tamunya selesai, baru dia makan sekeluarga dengan lahapnya sebab seharian belum makan (puasa).

Akhirnya pada saat dia meninggal, dia melihat dua orang sebagai utusan Ciwa, untuk menjemput rohnya, selanjutnya dibawa ke Siwaloka. Setelah di Siwaloka baru dia sadar bahwa pada waktu diatas pohon maja dia memetik daun, dan menjatuhkan kebawah ternyata dibawah pohon terdapat Siwalingga serta air mata yang meleleh juga jatuh diatas Siwalingga. Waktu itu dia tidak menyadari bahwa suatu kebetulan apa yang dia lakukan sebenarnya merupakan wujud Brata Siwa Ratri.

Dalam Padma Purana, Brata Siwa Ratri dimuat pada Uttarakanda, dikisahkan dialog antara Raja Dilipa dengan Resi Wasistha, bahwa Brata Siwa Ratri adalah brata yang sangat utama dan pelaksanaan nya pada bulan magha dan palguna. Seorang pemburu bernama Nisada yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Lubdhaka yang artinya pemburu sedang melakukan pemburuan disuatu hutan.

Pada suatu hari ketika Nisada berburu kedalam hutan sampai kemalaman dan untuk pulang tidak memungkinkan lagi, maka dia bermalam diatas pohon Bilwa yang dibawahnya ada sebuah telaga. Agar tidak tertidur diatas pohon, Nisada memetik metik daun pohon bilwa dan dijatuhkan pada telaga dan sangat kebetulan didalam telaga ada sebuah Lingga siwa yang terbuat dari kristal dan lingga itulah kena daun bilwa. Dan pada saat itu adalah Purwani tilem kepitu atau sehari sebelum tilem ketujuh (tilem yang paling gelap diantara 12 tilem).

Sentuhan daun bilwa oleh Nisada dipandang sebagai persembahan oleh sangyang Siwa, Nisada dipandang telah sadar akan dosa2 selama hidupnya, dan Nisada diterima oleh sangyang siwa di Siwaloka. Padma Purana inilah yang menjadi sumber karya sastra yang memuat tentang Siwa Ratri yang sangat populer di Indonesia dengan peran “Lubdhaka”.

MAKNA SPIRITUAL UPACARA SIWA RATRI

Setelah kita membaca beberapa ceritra mengenai Siwa Ratri maka dapat disimpulkan bahwa makna Spiritual dari beberapa versi ceritra tersebut banyak mengandung simbolis2 yang sangat dalam dan mempunyai filosofi yang sangat tinggi dan sistimatis. Apabila kita mulai dari peranan Lubdhaka sebagai seorang pemburu pergi kehutan belantara, hutan melambangkan suatu tempat yang penuh dengan tantangan dan cobaan, kita harus waspada dan hati2 sebab banyak binatang2 buas.

Binatang buas adalah sebagai simbol musuh2 manusia (Sadripu) yang harus dimusnahkan, sebab binatang buas adalah sangat membahayakan dan dapat membunuh manusia itu sendiri. Binatang buas yang dibunuh oleh pemburu penuh dengan nafsu, marah, dengki, tamak, kegiala gilaan dan rasa benci inilah merupakan sifat yang kurang baik bagi manusia dan musuh yang harus dibasmi.

Hutan adalah merupakan tingkat alam pikiran terdiri dari alam dibawah sadar, intelek, keakuan (ego) dan kesadaran. Maka dalam pengendalian diri harus dapat menundukkan pikiran jahat. Apabila seseorang telah dapat menaklukan pikiran2 jahat ia menampakkan tanda2 adalah cahaya bersinar dalam tubuhnya, kesehatannya prima, keteguhan hatinya mantap, wajahnya bersih dan berseri dan suaranya selalu menyenangkan, menyejukkan dan menarik.

Apabila seorang pemburu berhasil membunuh seekor binatang, ini adalah sebagai simbol bahwa seseorang telah dapat menguasai Sadripu sehingga timbul ketenangan adalam jiwanya.

Setelah tahap tahap pengendalian diri dikuasai, pemburu berhasil menangkap binatang buruan maka dilanjutkan tahap berikutnya. Sehubungan hari sudah malam, maka dia bermalam diatas pohon. Memetik daun Bilwa dan menjatuhkan diatas Lingga Siwa, adalah sebagai perwujudan bahkti kehadapan Dewa Siwa, dan air mata yang menetes dan jatuh diatas Lingga Siwa sebagai simbul rasa Cinta Kasih kehadapan Dewa Siwa. Sehubungan dari pagi sampai malam dan pagi berikutnya tidak makan maka kewajiban melakukan Upawasa.

Ditengah malam berdiam diri tanpa berbicara sebagai simbul Monabrata, dan semua kegiatan semalam dilakukan tanpa tidur dan jaga sepanjang malam , ini adalah sebagai simbul Jagra. Jadi Tribrata yaitu tiga kewajiban dalam Siwa R atri yang harus dilakukan adalah Jagra, Upawasa dan Monabrata. Setelah pagi dia turun dari pohon Bilwa , dengan tidak disadari dia melihat Siwa Lingga sebagai perwujudan Dewa Siwa. Pada waktu dia menyuguhkan makanan dia kedatangan tamu asing yang sebenaran penjelmaan dari Dewa Siwa ini adalah sebagai simbolik manifestasi Dewa Siwa artinya dia sudah berhasil mencapai tujuan terakhir yaitu pengampunan dosa (Moksa) dan setelah meninggal mendapat tempat di Siwaloka.

PELAKSANAAN BRATA SIWA RATRI.

Pelaksanaan Brata Siwa Ratri dilakukan oleh Umat Hindu setiap tahun sekali yaitu pada hari Catur Dasi Krsna Paksa bulan magha yaitu panglong ping empat belas sasih kepitu yang biasanya jatuh pada bulan Januari atau pebruari. Persiapan2 apa saja yang harus dilakukan bagi Umat Hindu dalam rangka Brata Siwa Ratri?. Pertama tama kita harus melakukan persembahyangan di Pura untuk pemujaan Betara Siwa , dan sebagai tahap2 berikutnya kita harus melakukan Sadhana semalam suntuk dengan Tribrata Siwa Ratri yaitu :

Mona Brata artinya berdiam diri tidak bicara (membatasi bicara), tujuannya adalah untuk melatih diri dalam hal berbicara, tidak boleh berbicara sembarangan dengan ucapan2 yang tidak patut diucapkan, dan apabila berbicara harus sejuk dan suci. Sebaiknya pada saat Siwa Ratri, dilakukan pembacaan lontar2 yang memuat ajaran Kesucian seperti Bhagawad Gita, Ramayana, Sarasmuscaya dan Kitab2 Suci lainnya.

Apuwasa artinya kembali suci dengan tidak makan selama melaksakan Brata Siwa Ratri selama 24 Jam, tujuannya untuk melatih pengendalian diri dengan menghilangkan keterikatan2 (warigya) sehingga dapat melakukan konsentrasi (Semadi) dalam rangka pendekatan diri kepada Dewa Siwa.

Jagra artinya Sadar yaitu tidak tidur semalam suntuk, panca indra dibuka diisi dengan ajaran Suci dengan membaca kitab2 suci Agama Hindu, sebagai pencerahan diri sendiri. Disamping melakukan Dharma Tula (berdiskusi) dan membaca buku2 suci sebaiknya selalu melantumkan Om Namah Siwaya sepanjang malam untuk memperkuat diri sendiri.

Tingkatan Brata Siwa Ratri dapat dibagi menjadi 3 yaitu Utama, Madya dan Nista. Untuk tingkatan Nista hanya melakukan Jagra saja, untuk tingkatan Madya hanya melakukan Apuasa, Jagra dan untuk tingkatan Utama melakukan ketiga tiganya (Tribrata) yaitu Apuasa, jagra dan Mona Brata.

PENUTUP.

Setiap hari raya Hindu mempunyai arti dan makna yang berbeda beda, dan umat Hindu selalu dengan ketulusan hati merayakan hari2 suci tersebut. Setiap hari raya Siwa Ratri, pura2 di Bali maupun diluar Bali penuh dikunjungi umatnya untuk melakukan persembahyangan dan diikuti dengan pembacaan2 lontar2 suci . Apabila kita selalu melakukan Bhakti kehadapan Yang Widhi Wasa, kita akan mencapai kesadaran Ketuhanan, seperti yang kami kutip dalam kakawin Siwaratrikalpa sebagai berikut :

Yadin sagati gati wwang amangun hala lumarani, buddhi ning para dwijaghna tuwi mon krtaghna guru talpaka mati raray ungu ring weteng sapapa nika nasa de nikin atanghi menuju siwaratri kottama
sawet ni parama prabhawa nikanang kalingan isabda ni nghulun (37.8).

Terjemahannya adalah :

Walau bagaimanapun seseorang melakukan perbuatan jahat, menyengsarakan hati orang lain, membunuh pendetapun serta congkak terhadap guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan musnah dengan berjaga (Jagra) pada saat Siwaratri yang utama, demikianlah makna yang telah kuucapkan.

Siwa Ratri sering menjadi bahan perdebatan dalam Dharma Tula, pertanyaan yang sering timbul adalah apakah manusia semacam Lubdhaka yang penuh dosa dalam kehidupannya, hanya melakukan pemujaan terhadap Betara Siwa tanpa sengaja gampang sekali mendapat Sorga (Siwa loka)?.

Bagaimana konsep Karma pala dalam agama Hindu, apakah tidak berlaku terhadap kasus “Lubdhaka”?.
Jawabanya adalah kita selalu berpedoman kepada kitab2 Suci Hindu yang kita yakini dan percaya kebenarannya dan harus dihayati dengan penuh kesucian.

Demikianlah makna dari Brata Siwa Ratri, bagi Umat Hindu Tri Brata Siwa Ratri yang dianjurkan dalam kitab suci harus dilakukan hening dan suci, yaitu penuh keyakinan, kepasrahan, kekusukkan dengan tahap2 yaitu Apuasa, Jagra dan Mona Brata.

Dengan harapan kita selalu mendapat perlindungan Yang Widhi Wasa dengan diberikan kesehatan, kekuatan dan keselamatan dalam kehidupan yang serba sulit saat ini.

Senin, 17 Maret 2008

STUDI REINKARNASI

Kebenaran Reinkarnasi

home

Kalau kita tidak mendalami konsep Atman dan hukum karma (karma pala), maka reinkarnasi sebagai suatu kepercayaan adanya kelahiran yang berulang-ulang dalam agama Hindu agak meragukan, sebab kenyataan yang kita lihat adalah manusia lahir hanya sekali dalam hidupnya. Setelah kita mendalami konsep Atman dan hukum karma(karma pala ) baru kita jelas bahwa reinkarnasi merupakan kelahiran yang berulang-ulang dengan melalui Triloka yaitu Bhur, Bvah, Svah. Reinkarnasi dapat dibuktikan dalam kehidupan umat Hindu dalam melakukan upacara maupun kehidupan sebagai berikut.

1. Umat Hindu di samping percaya adanya Panca Srada sebagai Tatwa atau filsafat agama Hindu juga melakukan ritual yaitu upacara keagamaan. Dalam upacara pemujaan umat Hindu percaya adanya Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya yaitu pemujaan kepada Hyang Whidi Wasa, Pitra Yadnya pemujaan kepada leluhur, Resi Yadnya pemujaan kepada para resi atau pandita, Buta Yadnya pemujaan kepada sekalian makhluk hidup, dan terakhir Manusa Yadnya pemujaan terhadap keselamatan umat manusia. Dengan kita percaya adanya Pitra Yadnya yaitu memberikan korban suci terhadap leluhur kita, artinya kita percaya leluhur kita itu masih hidup di dunia yang halus (lain loka) dan nanti akan lahir kembali dengan badan lain.

2. Umat Hindu dalam melaksanakan ajaran-ajarannya juga melakukan dana punia seperti orang menabung, karena kita percaya bahwa perbuatan ini akan membawa kebahagiaan setelah meninggal. Kalau manusia sudah meninggal bukan berarti Atman sudah tiada, ini berarti ada kehidupan lain setelah meninggal yaitu kehidupan di lain loka. Setelah hidup di lain loka, tabungan tadi yang disimpan selama hidup di dunia dapat dinikmati yaitu karma-karma yang baik.
3. Dalam mengarungi kehidupan ini umat Hindu berusaha menjalankan kehidupan dengan menegakkan dharma, sebab dengan hidup selalu berlandaskan dharma akan mengurangi dosa-dosa yang pernah dibuat sebelum kehidupan saat ini. Dengan selalu berbuat baik kepada sesamanya, dengan harapan dalam kehidupan di loka yang lain akan lebih baik.

4. Manusia pada umumnya selalu takut datangnya kematian, manusia dengan segala cara selalu menjaga kesehatannya dengan harapan proses kematian jangan terlalu cepat sehingga dapat lama menikmati kehidupan ini. Rasa takut manusia menghadapi kematian adalah suatu pertanda bahwa sudah banyak penderitaan yang lain pada saat matinya dalam kehidupan yang sudah sudah.

5. Bayi yang baru lahir biasanya setelah beberapa hari tanpa diajari sudah dapat menetek susu ibunya, kesediaan si bayi yang sejak baru lahir untuk menetek susu ibunya menandakan suatu pengalaman yang pernah dialami pada kehidupannya yang sudah sudah.

6. Kenyataannya bahwa lahir sebagai manusia berbagai kegemaran yang disebut hobi dan sampai saat ini tidak dapat diteliti sebab-sebab dari kegemaran tersebut dalam kelahiran sekarang ini, maka ini menunjukkan adanya pengalaman-pengalaman di dalam kehidupannya yang sudah-sudah yang tidak dapat diingatkan lagi sebagai sumbernya.

7. Bayi yang baru lahir menangis , ini menandakan bahwa bayi tersebut sudah tahu bahwa hidup sebagai manusia banyak penderitaannya akibat dari dosa-dosanya, maka ini menunjukan adanya pengalaman di dalam kehidupannya terdahulu sebelum lahir sebagai manusia.

Pada kali yuga ini orang berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta dengan menggunakan segala cara, yang kadang tidak disadari oleh mereka bahwa sudah jauh menyimpang dari rel etika kehidupan ini. Norma-norma, kaidah agama terlupakan, mereka sudah larut dengan kenikmatan yang sifatnya sementara tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan pada kehidupan berikutnya Bagaimana mengantisipasi situasi yang tidak menentu akhir-akhir ini, di mana umat Hindu dihadapkan dengan beberapa masalah yang cukup rumit? Mungkin yang terbaik dilakukan oleh umat Hindu sesuai dengan ajaran Weda adalah dengan melakukan Mona Brata yaitu salah satu Brata yang terdapat dalam Dasa Niyama Brata. Mona yaitu suatu sifat pengendalian kata-kata, dan tidak berkata-kata pada waktu tertentu, perkataan harus dikendalikan sebab perkataan sangat besar artinya dalam kehidupan, bahagia(suka) atau sengsara (duka) kehidupan tergantung oleh perkataan seperti yang dinyatakan dalam Nitisastra sebagai berikut:

Proses Reinkarnasi

home

Proses reinkarnasi digambarkan sebagai putaran roda yang berputar dari atas ke bawah, kemudian naik ke atas dengan tidak pernah berhenti. Perputaran roda reinkarnasi ini dipengaruhi oleh hokum karma yang dibawa oleh Atman yang disinari dengan Brahman melalui Triloka (tiga tempat), yaitu Bhur, Buvah dan Svah. Maka dalam Gayatri Mantram, Tri loka sangat penting diketahui sebagai tempat terjadinya proses reinkarnasi

Gayatri Mantram

OM, OM
OM BHUR BHUWAH SWAH,
TAT SAWITUR WARENYAM,
BHARGO DEWASYA DHIMAHI,
DHIYO YO NAH PRACHODAYAT,

Ya Hyang Widhi yang menguasai ketiga dunia ini,
Yang maha suci dan sumber segala kehidupan,
sumber segala cahaya,
semoga limpahkan pada budi nurani kami penerangan sinar cahayaMu yang maha suci.

Gayatri Mantram mempunyai kesucian yang luar biasa bagi yang mengucapkan sebagai wujud kebesaran Brahman yang selalu kita puja sehingga kita dapat sinarnya dengan melalui meditasi. Bhur artinya Bhurloka alam fisik, bahwa tubuh kita terbuat dari lima unsur yang disebut Panca Maha Buta yaitu

  • tanah (pertiwi)
  • air(apah)
  • api(teja)
  • angin(bayu) dan
  • ether(akasa)

dan kelima unsur ini membentuk Prakriti (alam).

Bhuvah artinya bhuvahloka alam pertengahan, bhuvah juga merupakan Prama Sakti. Meski pun demikian Prama Sakti hanya dapat menghidupkan tubuh karena adanya Prajnanam. Kitab suci Weda mengatakan Prajnanam Brahman artinya Tuhan adalah kesadaran yang selalu utuh dan menyeluruh selamanya.

Svah artinya swargaloka surga tempat para dewa. Proses reinkarnasi mulai dari Svahloka, di mana Atman mendapat sinar dari Brahman dan Atman yang dibungkus dengan Triguna maka lahir dan menjelma di

Bhuvahloka yaitu sebagai manusia di mana pembentukannya terdiri dari 5 unsur yaitu Panca Maha Buta. Setelah manusia meninggal maka Atman lahir di Bhuvahloka. Demikian reinkarnasi tidak pernah berhenti, lahir terus menerus mengikuti suatu garis yang melintang dalam Tri Bhuwana

Yoga Marga

home

Maharsi Patanjali adalah pelopor ajaran Yoga yang merupakan bagian dari filsafat Hindu yaitu Sad Darsana. Buku beliau yang bernama Yogasutra terdiri dari empat bagian yaitu :

  1. Samadhi-pada, tentang sifat, tujuan dan bentuk ajaran yoga yang menjelaskan adanya perubahan-perubahan pikiran dalam melakukan yoga.
  2. Sadhana-pada, tentang tahapan-tahapan pelaksanan yoga, cara mencapai samadhi dan pahala yang akan didapat oleh mereka yang telah mencapai samadhi.
  3. Wibhuti-pada, tentang hal-hal yang bersifat bathiniah, kekuatan bathin yang didapat oleh mereka yang melaksanakan yoga.
  4. Kaiwalya-pada, tentang alam kelepasan dan keadaan jiwa yang telah dapat mengatasi keterikatan pada keduniawian.

Tujuan yang ingin dicapai dalam melaksanakan yoga adalah pencapaian moksa melalui kesadaran yang disebut sebagai "wiwekajnana" yaitu pengetahuan tentang apa yang salah dan apa yang benar menurut ajaran Hindu. Sebagaimana telah diuraikan dalam Jnana Marga, maka dapatlah dikatakan bahwa Jnana Marga adalah dasar fundamental bagi Yoga Marga, karena untuk mencapai kesadaran Wiwekajnana para siswa haruslah mempelajari Weda, Upanisad, Smrti, Itihasa dan Purana. Hal ini ditegaskan oleh Maharsi Patanjali bahwa kelepasan dari ikatan duniawi dapat dicapai melalui pengetahuan langsung terhadap perbedan atman/jiwa dengan hal-hal yang bersifat jasmani seperti badan, pikiran dan sifat ke-akuan kemudian mewujudkannya melalui pengendalian fungsi indria, pengendalian pikiran, dan pengendalian "aku"

Yoga dilaksanakan melalui delapan tahapan dikenal dengan nama "Astangga-yoga" yaitu : Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Prtyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.

YAMA
Adalah pengendalian diri tahap pertama yang terdiri dari lima perintah :

  1. Ahimsa, artinya tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak melakukan kekerasan, tidak melukai mahluk hidup apapun dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
  2. Satya, artinya kebenaran dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
  3. Asteya, artinya pantangan menginginkan sesuatu yang bukan miliknya sendiri, apalagi mencuri.
  4. Brahmacarya, artinya mengendalikan nafsu sex atau lebih bagus lagi tidak menikmati, memikirkan dan membicarakan sex.
  5. Aparigraha artinya tidak menerima pemberian materi dari orang lain.



NIYAMA
Adalah pengendalian diri tahap kedua yang terdiri dari lima perintah :

  1. Sauca, artinya suci lahir bathin menuju keadaan Sattwasudhi (kesucian pikiran), Saumanasya (hati yang selalu gembira), Ekagrata (pemusatan budhi), Atmadarsana (realisasi diri yang sejati),
  2. Santosa, artinya puas dengan apa adanya yang membawa kepada rasa bahagia,
  3. Tapa, artinya tahan uji terhadap godaan-godaan adharma dan keduniawian,
  4. Swadhyaya, artinya rajin mempelajari ajaran-ajaran Agama serta meresapkan kedalam pikiran,
  5. Iswarapranidhana, artinya bhakti yang mutlak kepada Hyang Widhi.

ASANA
Asana adalah sikap duduk pada waktu melaksanakan yoga. Buku Yogasutra tidak mengharuskan sikap duduk tertentu, tetapi menyerahkan sepenuhnya kepada siswa sikap duduk yang paling disenangi dan relax, asalkan dapat menguatkan konsentrasi dan pikiran dan tidak terganggu karena badan merasakan sakit akibat sikap duduk yang dipaksakan. Selain itu sikap duduk yang dipilih agar dapat berlangsung lama, serta mampu mengendalikan sistim saraf sehingga terhindar dari goncangan-goncangan pikiran. Sikap duduk yang relax antara lain : silasana (bersila) bagi laki-laki dan bajrasana (metimpuh-bhs. Bali, menduduki tumit) bagi wanita, dengan punggung yang lurus dan tangan berada diatas kedua paha, telapak tangan menghadap keatas.

PRANAYAMA.
Pranayama adalah pengaturan nafas keluar masuk paru-paru melalui lobang hidung dengan tujuan menyebarkan prana (energi) keseluruh tubuh. Pranayama terdiri dari : Puraka yaitu memasukkan nafas, Kumbhaka yaitu menahan nafas, dan Recaka yaitu mengeluarkan nafas. Puraka, kumbhaka dan recaka dilaksanakan pelan-pelan bertahap masing-masing dalam tujuh detik. Hitungan tujuh detik ini dimaksudkan untuk menguatkan kedudukan ketujuh cakra yang ada dalam tubuh manusia yaitu : muladhara yang terletak di pangkal tulang punggung diantara dubur dan kemaluan, svadishthana yang terletak diatas kemaluan, manipura yang terletak di pusar, anahata yang terletak di jantung, vishuddha yang terletak di leher, ajna yang terletak ditengah-tengah kedua mata, dan sahasrara yang terletak diubun-ubun. Bagi siswa yang ingin memperdalam atau mengkhususkan diri dalam Yoga Kundalini, selanjutnya dapat membaca petunjuk-petunjuk yang diuraikan aadalam buku Sri Swami Sivanandaji Maharaj.

PRATYAHARA.
Pratyahara adalah penguasaan panca indria oleh pikiran sehingga apapun yang diterima panca indria melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indria adalah : pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Pada umumnya indria menimbulkan nafsu kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan memutuskan mata rantai olah pikiran dari rangsangan syaraf ke keinginan (nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangan-goncangan. Jadi yoga tidak bertujuan mematikan kemampuan indria. Untuk jelasnya mari kita kutip pernyatan dari Maharsi Patanjali sebagai berikut :