Jumat, 14 Maret 2008

BAGAWADGITA

Bab 01 - Gundahnya Sang Arjuna

Bermulalah di sini Gita suci yang dituturkan dari Yang Maha Suci Kreshna. Berkatalah Dhristarashtra :

1. Di dataran nan suci ini (dharmakshetra), tanah kebenaran, tanahnya para Kuru, berkumpullah putra-putraku beserta laskar-laskar mereka, dan juga putra-putra Sang Pandu (Ayahanda Pandawa) bersiap-siap untuk suatu yudha. Apa saja yang sedang mereka lakukan beritakanlah kepadaku, wahai Sanjaya.

(Keterangan) Kurukshetra disebut juga dharmakshetra, terletak di Hastinapura di utara kota New Delhi yang modern dewasa ini. Tempat ini di masa yang silam dianggap suci karena sering dipergunakan oleh para resi, kshatrya untuk bertapa, bahkan kabarnya juga oleh para dewa-dewa. Salah satu kata pertama yang disebut di sloka pembukaan ImageBhagavat Gita di atas ini adalah kata dharma, inilah inti sebenarnya yang harus diresapkan oleh sidang pembaca. karena inilah salah satu pesan sesungguhnya Bhagavat Gita. "Bangunlah jiwa dan ragamu dengan dan untuk dharma." Kata dharma berasal dari kata "Dhru" yang berarti "pegang." Dharma adalah kekuatan yang memegang hidup ini, dharma tidak terdapat dalam ucapan-ucapan manis. tetapi adalah kesaktian di dalam jiwa kita yang merupakan inti dari kehidupan kita.

Dan Kshetra berarti padang, ladang atau medan. Seyogyanyalah kita bertanya pada pribadi kita masing-masing, "apa sajakah yang selama ini yang telah kutanam dan kupetik dalam hidupku ini, dharma ataukah adarma? Bagi yang menanam dharma maka hidupnya akan menghasilkan karunia Ilahi, dan yang telah melakukan adharma maka kita dapat bercermin kepada para Kaurawa. "Bersiap-siap untuk suatu yudha," Kaurawa menginginkan perang, sedangkan para Pandawa sebenarnya menginginkan perdamaian. Sang Kreshna yang Maha Bijaksana berusaha agar perdamaian terwujud, tetapi para Kaurawa selalu menolaknya. maka untuk mempertahankan diri dan menegakkan dharma/kebenaran terpaksalah para Pandawa berperang walaupun dengan laskar yang sedikit. Tetapi yang sedikit ini akhirnya akan menang karena mereka berjalan tegak di jalan kebenaran.

Dalam ucapan Dhritarashtra yang mengatakan di atas "tanahnya para Kuru" dan juga '"putra-putraku," tersirat adanya rasa egois atau ahankara (angkara) yang besar. inilah sebenarnya sumber dari segala tragedi dalam hidup ini.

Berkatalah Sanjaya :

2. Kemudian pangeran Duryodana, setelah melihat barisan laskar para Pandawa yang teratur rapi, menghampiri gurunya dan berkata.

Yang dimaksud guru di sini adalah Dronacharya, guru sang Kaurawa dan Pandawa. Di Baratayudha ini Drona mendukung Kaurawa sampai akhir hayatnya.

3. Lihatlah wahai guruku, barisan laskar para Pandawa yang telah siap untuk berperang, mereka semua dipimpin oleh murid Sang Guru yang bijaksana, yaitu putra Sang Drupada.

Yang dimaksud "murid yang bijaksana" di sini adalah Dhristadyumna. la adalah putra Raja Drupada dari kerajaan Panchala. Dia diangkat para Pandawa menjadi panglima perang untuk pihak Pandawa; Dhristadyumna sebenarnya masih merupakan saudara ipar para Pandawa Dalam perang ini Resi Dorna akan membunuh Raja Drupada, kemudian Dhristadyumna akan membunuh Drona. Disusul putra Drona yang disebut Asvatama kemudian membunuh Dhristadyumna. Inilah lingkaran karma.

4. Di sinilah para pahlawan-pahlawan besar berkumpul, dari Bima, Arjuna dan yang tak kalah kehebatannya yaitu Yuyudana, Virata dan Drupada.

5. Juga Dhrishtaketu, Chekitana dan raja besar dari Kashi, Purujit, Kuntiboja dan Shaibya, semuanya pendekar-pendekar nan sakti wirawan.

6. Juga yang gagah berani yaitu, Yudhamanyu dan Uttamauja, Saubadra dan putra-putra Draupadi.

Bima : Putra kedua dari Pandu. yang kedua dari para Pandawa.
Arjuna : Yang ketiga dari Pandawa bersaudara, dan yang paling dikasihi Sang Kreshna.
Yuyudana : Disebut Juga Setyaki. pahlawan yang gagah perkasa.
Virata: Raja dari Matsya-desha. seorang raja nan arif bijaksana. Selama pengasingan para Pandawa di hutan (13 tahun lamanya), tahun terakhir pengasingan ini para Pandawa menyamar dan bersembunyi di istana Raja Virata. Alkisah putri sang raja kemudian dikawinkan dengan Abimanyu, putra Arjuna.
Dhristaketu: Putra Sishupala, raja dari Chedi-desha.
Chekitana: Salah satu pendekar yang gagah berani yang memimpin salah satu dari tujuh divisi laskar Pandawa.
Purujit dan Kuntibhoja: Saudara-saudara laki dari ibu Kunti, ibunya sang Pandawa,
Shaibya: Raja suku Sibi. Duryodana menyebutnya sebagai banteng diantara manusia, karena ia adalah seorang pendekar sakti yang bertenaga luar biasa.
Yudhamanyu dan Uttamauja: Pangeran-pangeran dari Panchala, juga merupakan pendekar-pendekar nan sakti-wirawan. Keduanya dibunuh Ashvathama sewaktu sedang tidur.
Saubhadra: Putra Arjuna dan Subadra (adik sang Kreshna). la dikenal juga dengan nama Abimanyu. Dalam perang ini ia memperlihatkan kepahlawanannya yang luar biasa.
Putra-putra Draupadi: Mereka berjumlah lima orang, yaitu Prativindhya, Srutasoma, Srutakirtti, Satanika dan Srutukarman.

Pendekar-pendekar di atas semuanya kalau bekerja untuk perdamaian niscaya akan menghasilkan suatu suasana damai bagi semuanya, tetapi rupanya takdir menentukan yang lain, dan itulah misteri Ilahi yang tak akan mungkin terjangkau oleh kita manusia ini.

7. Ketahuilah juga, oh Engkau yang teragung di antara yang dilahirkan dua kali, pemimpin-pemimpin dan pendekar-pendekar di pihak kami, akan kusebutkan mereka demi Engkau yang kuhormati,

"Yang teragung diantara yang dilahirkan dua kali" adalah ungkapan yang ditujukan kepada Resi Drona, karena sang resi ini adalah seorang brahmana dan biasanya kaum brahmana dianggap lahir dua kali. Maksudnya: pertama seorang brahmana harus lahir di dunia fana ini, tetapi di dunia ini ia harus menjalani kehidupan kebatinan demi Sang Maha Esa, jadi "lahir" lagi dengan meninggalkan semua nafsu keduniawian demi pengabdiannya ke masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Inilah tugas seorang Brahmana seharusnya.

8. Pertama-tama Dikau yang mulia Drona, kemudian Bhisma, Karna dan Kripa yang tak terkalahkan dalam setiap yudha, juga Ashvatama, Vihana dan putra Somadatta.

9. Dan banyak lagi pahlawan-pahlawan lainnya yang bersedia mengorbankan jiwa-raga mereka, bersenjatakan berbagai senjata-senjata yang sakti, kesemuanya ahli-ahli perang yang tiada taranya.

• Bhisma: Pendekar tua yang ditunjuk menjadi panglima tertinggi di pihak Kaurawa, yang sebenarnya masih "kakek" para Kaurawa dan Pandawa, Bhismalah sebenarnya yang membesarkan raja Dhristarashtra dan para Kaurawa-Pandawa. Beliau amat mencintai para Pandawa, tetapi dalam perang ini beliau berpihak kepada para Kaurawa karena berhutang budi dan setia kepada Kaurawa sesuai dengan janjinya. Tetapi Bhisma pernah bersumpah dihadapan Duryodana tak akan pernah membunuh para Pandawa; dalam perang Baratayudha ini Bhisma membuktikan kehebatannya sampai akhir hayatnya.
• Karna: Saudara tiri para Pandawa, adalah teman akrab Duryodana. Oleh Duryodana, Karna diangkat menjadi raja Anga (sekarang disebut daerah Bengal di India). Sebenarnya Karna adalah seorang kshatrya maha-sakti yang penuh dengan kasih-sayang kepada sesamanya, tetapi terikat sumpah setianya kepada Duryodana maka ia memilih pihak Kaurawa, Setelah matinya Drona, Karna diangkat menjadi panglima tertinggi Kaurawa tetapi hanya berlangsung dua hari saja, karena kemudian ia mati di tangan Arjuna, saudara tirinya sendiri. Beginilah kehendak Dewata.
• Kripa: Saudara ipar resi Drona. Ia adalah diantara tiga pendekar dari pihak Kaurawa yang tidak gugur dalam perang Baratayudha.
• Ahsvatama: Putra resi Drona, juga salah seorang panglima perangnya Kaurawa yang terkenal liciknya.
• Vikarna: Putra ketiga raja Dhristarashtra, adik Duryodana.
Putra Somadatta: Somadatta adalah raja dari negara Bahikas yang membantu Kaurawa.

10. Tak terhitung jumlah laskar kita yang dipimpin oleh Sang Bhisma, sedangkan dipihak mereka (Pandawa) yang dipimpin oleh Bima, jumlah laskar mereka sangat mudah untuk dihitung.

Sebenarnya jumlah tentara Kaurawa memang lebih banyak dari pihak Pandawa, kabarnya Kaurawa mempunyai laskar lebih banyak empat divisi dibandingkan pihak Pandawa. Ada juga yang menyebutnya berlipat ganda.

11. Dan telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap pendekar dan pimpinan divisi berada pada posisi masing-masing dan menjaga Bhisma dengan baik.

Oleh sementara ahli, ucapan-ucapan Duryodana di atas dianggap juga sebagai ungkapan rasa khawatir Duryodana yang merasa di pihak Pandawa terdapat lebih banyak pahlawan-pahlawan sakti, walaupun jumlah laskar mereka lebih sedikit.

12. Untuk memberi semangat kepada Duryodana, Sang Bhisma yang bijaksana meniup sangkalalanya yang mengeluarkan suara seakan-akan auman dahsyat seekor singa.

13. Kemudian dari segala penjuru tambur-tambur dan sangkalala dibunyikan oleh semua pihak, dan hiruk-pikuklah suasana waktu itu dipenuhi suara-suara ini.

14. Kemudian, duduk di kereta perang nan agung, dengan pasangan-pasangan kuda-kuda putih, Sang Kreshna dan Arjuna masing-masing meniup sangkalala mereka.

15. Sang Kreshna meniup sangkalalanya yang bernama Panchjanya, dan Arjuna meniup sangkalalanya yang bernama Devadatta, sedangkan Bhima yang perkasa meniup sangkalalanya yang nampak besar, kekar dan kuat, bernama Paundra,

16. Raja Yudhistira, putra ibu Kunti, meniup Anantawijaya, Nakula dan Sahadewa masing-masing meniup Sugosha dan Manipuspaka.
• Raja Yudhistira: Yang tertua di antara Pandawa adalah seorang maha-raja yang berwatak tenang, penuh kasih-sayang dan amat bijaksana dalam segala tindak-tanduknya, tak pernah bohong dalam segala hal. Beliau dikenal lebih sebagai seorang negarawan daripada seorang pendekar yang gemar berperang. Sangkalala yang dimilikinya disebut Anantavijaya yang berarti "kemenangan tanpa akhir" atau juga disebut "suara-kemenangan."
• Nakula: Putra keempat Pandawa dikenal amat mahir berkuda, sangkalalanya bernama Sagosha yang berarti "bersuara indah."
• Sahadewa (Sadewa): Putra Pandu yang paling bungsu memiliki sangkalala yang bernama Manipuspaka yang berarti "mutiara yang mekar" atau "bunga-bunga mutiara," karena sangkalala yang satu ini teramat indahnya, selain bentuknya laksana mutiara ditaburi pula dengan mutiara-mutiara asli yang indah.

17. Juga yang ikut meniup sangkalalanya masing-masing adalah raja dari Kashi yang memimpin laskar pemanah, kemudian Sikhandi (Srikandi) yang gagah perkasa, Dhristadyumna, Virata dan Satyaki (Setiaki) yang tak terkalahkan.

18. Juga Drupada dan putra-putra Draupadi, dan juga Saubhadra, semuanya meniup sangkalala mereka dari setiap jurusan.

Shikandi (Srikandi) di India sering disebut juga sebagai putra raja (sebenarnya ia seorang banci) Drupada, di Indonesia ia dikenal sebagai pahlawan wanita, merupakan titisan dewi Amba yang menuntut balas kepada Bhisma. Panahnya akan menghabisi nyawa Bhisma dalam perang ini. Satyaki adalah sais kereta perang pribadi Sang Kreshna.

19. Suara-suara dahsyat sangkalala-sangkalala ini memenuhi langit dan bumi tanpa henti-hentinya dan menjatuhkan semangat putra-putra Kaurawa.

20. Kemudian Arjuna yang di kereta perangnya terdapat panji bergambarkan Hanoman, memandang ke arah putra-putra Dhristarashtra yang telah siap untuk berperang; dan tak lama kemudian ketika perang akan segera dimulai, Arjuna memungut busur panahnya.

21. Dan berkata kepada Sang Kreshna:

Berkatalah Arjuna :

22. Ingin kulihat semua yang ada di medan ini, mereka yang telah bersiap-siap untuk berperang, dengan siapa aku nanti harus berlaga.

23. Ingin kulihat mereka-mereka yang berkumpul di sini, yang berhasrat untuk mendapatkan sesuatu yang berharga bagi putra-putra Dhristarashtra yang berhati iblis itu.


Berkatalah Sanjaya :

24. Setelah Arjuna selesai dengan kata-katanya, Sang Kreshna pun mengarahkan kereta perangnya, kereta yang terbaik diantara semua kereta-kereta perang, ke tengah-tengah, diantara kedua laskar yang berbaris rapi.

25. Di hadapan Bhisma, Drona dan pendekar-pendekar lainnya.

Berkatalah Kreshna :
Lihatlah, oh Arjuna, para Kuru yang sedang berkumpul (di sini).

26. Dan Arjuna pun melihat paman-pamannnya, para sesepuh (kakek-kakek), guru-guru, saudara-saudara dari ibunya, putra-putra dan para cucu, misan dan sahabat-sahabatnya, berdiri berbaris rapi.

27. Juga terlihat ayah-mertuanya dan para teman yang terdapat di kedua belah pihak. Melihat jajaran sanak-saudaranya yang berbaris rapi ini, Arjuna.

28. Tergetar penuh dengan rasa iba dan berkata pilu.

Berkatalah Arjuna :
Melihat jajaran keluargaku ini, oh Kreshna, bersiap-siap untuk berperang.

29. Sendi-sendi badanku terasa lemas dan bibirku terasa rapat, seluruh tubuhku tergetar dan rambutku tegak berdiri.

30. Busur Gandivaku terlepas dari tanganku dan seluruh kulitku terasa terbakar; tak kuat aku berdiri tegak lagi; kepalaku serasa berputar-putar.

31. Dan kulihat pertanda iblis, oh Kreshna! Tak kulihat sesuatu apapun yang baik dengan membunuh sanak-saudaraku dalam perang ini.

32. Tak kuinginkan kemenangan, oh Kreshna, tidak juga aku menginginkan kerajaan atau pun kesenangan-kesenangan. Apakah arti sebuah kerajaan untuk kami, oh Kreshna, atau pun apakah arti dari kesenangan bahkan hidup ini ?

33. Mereka-mereka ini sekarang berjajar rapi untuk mengorbankan hidup dan harta-benda mereka, sedangkan kami menginginkan kerajaan, kemewahan dan kesenangan, bukankah sebenarnya semua itu diperjuangkan untuk mereka juga.

34. Yang terdiri dari para guru, ayah, putra-putra dan para kakek, paman, mertua, cucu, saudara-saudara ipar dan sanak-saudara lainnya.

35. Aku tak akan membunuh siapapun juga, walaupun aku sendiri boleh mati terbunuh, oh Kreshna, takkan kuberperang walaupun aku sanggup mendapatkan ketiga dunia ini; apalagi hanya untuk satu yang bersifat duniawi ini ?

36. Setelah membantai putra-putra Dhristarastra, kenikmatan apakah yang dapat kita miliki, wahai Kreshna? Setelah membunuh penjahat-penjahat ini, kita sendiri akan tercemar oleh dosa-dosa ini.

37. Tak benar bagi kita untuk membunuh sanak-saudara sendiri, yaitu putra-putra Dhristarashtra. Sebenarnya, wahai Kreshna, mana mungkin kita 'kan bahagia dengan membunuh keluarga kita sendiri?

Arjuna adalah seorang pahlawan besar, tetapi menghadapi situasi yang unik ini, ia terhempas ke dalam suatu keragu-raguan yang dalam. Arjuna ke Kurukshetra untuk berperang tetapi tiba-tiba ia tak sampai hati untuk membunuh sanak saudaranya sendiri, walaupun ia tahu mereka-mereka ini berhati iblis. Tiba-tiba ia ragu untuk maju, gundahlah Arjuna dalam "ke akuan" nya. Bukanlah kita manusia ini sering juga mengalami tekanan-batin yang berat dalam mengambil suatu keputusan yang maha-penting ? Bukankah rasa iba sering kali membuka pintu kelemahan kita dan mengantarkan kita ke arah kehancuran itu sendiri'1 Itu semua karena kita terikat akan sanak-keluarga, harta-benda, nama posisi kita dalam masyarakat. Menjadi budak dari adat-istiadat demi kepentingan egois orang lainnya.

Arjuna terjebak oleh rasa ibanya, oleh adat-istiadat dan simbol-simbol duniawi. Ia lupa tugas manusia sesungguhnya adalah demi dan untuk Yang Maha Esa, dan jalan ke Dia berarti meninggalkan semua milik duniawinya baik yang berbentuk konkrit (nyata) maupun yang berbentuk abstrak. Dalam agama Kristen kita menjumpai suatu persamaan dalam hal ini, Nabi Isa (Yesus) pernah bersabda: "Seandainya seseorang datang kepadaKu tetapi belum bersedia meninggalkan ayah-bundanya, anak-istrinya, dan saudara-saudaranya, maka ia tidak akan menjadi muridKu." Begitu pun dalam agama Hindu sering kita jumpai tokoh-tokoh spiritual di masa-masa yang silam yang harus meninggalkan "semua miliknya," kalau sudah memilih jalanNya.

Ini bukan berarti Sang Kreshna mengecam "rasa-iba" atau perasaan "simpati" atas penderitaan seseorang: rasa-iba sebenarnya adalah sifat seorang yang satvik, tetapi rasa-iba yang sejati menurut versi Bhagavat Gita adalah yang tanpa moha, yaitu keterikatan secara duniawi. Rasa iba yang sejati adalah ekspresi dari cinta atau kasih sayang dari seseorang yang penuh dengan rasa "welas-asih," dan tidak seseorang pun akan dapat mencintai sesuatu/seseorang dengan sejati tanpa memasuki "sinar pengetahuan Ilahi," dan bersedia berjalan lurus (tanpa keterikatan duniawi apapun juga) di jalannya sang dharma.

Di atas, untuk sejenak Arjuna rupanya lupa akan dharmanya. Arjuna lupa dan belum sadar bahwa sanak-saudaranya yang sebenarnya bukanlah yang lahir secara fisik sebagai adik, kakak, ayah, ibu, paman, kakek, dsb, tetapi sanak-saudara yang sejati adalah mereka yang mencintai Yang Maha Esa dan jalan di jalan lurus Sang Dharma. Merekalah sanak-saudara kita yang sejati, tulus dan seiman dalam naungan Yang Maha Esa.

Arjuna masih hilang dalam kealpaannya. la lupa bahwa dharma mengharuskan seseorang untuk melaksanakan semua kehendak Yang Maha Esa tanpa pamrih, sama sekali tanpa imbalan sesuatu apapun juga baik itu pahala atau pintu surga, tanpa apapun juga, titik. Hanya bekerja untuk dan demi Dia! Rasa iba yang sejati harus didasarkan atas dharma. Sang Rama sendiri untuk menegakkan dharma berperang melawan Rahwana, dan di Bhagavat Gita Sang Kreshna menganjurkan jalan yang sama kepada Arjuna, agar Arjuna lepas dari choka (kesedihan) dan moha (keterikatan atau cinta duniawi).

Di dalam Bhagavat Gita ajaran penting yang tersirat adalah "bunuhlah atau kekanglah pintu-pintu nafsumu." Agama-agama yang lain pun selalu mengajarkan hal yang sama: Zoroaster misalnya mengatakan "berperanglah terhadap iblis tanpa henti-hentinya," Sang Buddha berperang dengan Sang Mara, Yesus berperang dengan Syaitan, dan masih banyak contoh dari agama-agama yang lain. Arjuna di atas masih lupa bahwa ia harus berperang melawan Duryodana demi tegaknya dharma.


38. Dengan hati yang dikuasai oleh keserakahan, maka tidak terlihatlah kesalahan ini yang akan mengakibatkan hancurnya keluarga kita dan penghianatan atas teman-teman dan para sahabat.

39. Mengapa kita tidak memiliki kebijaksanaan untuk menjauhi dosa semacam ini, wahai Kreshna - bukankah kita melihat kesalahan ini akan mengakibatkan kehancuran keluarga kita?

Arjuna masih menilai bahwa sesuatu kewajiban harus dilaksanakan dengan memikirkan imbalan yang duniawi sifatnya. Sedangkan dharma yang sejati tidak menuntut apa-apa. Dharma harus ditegakkan demi Yang Maha Kuasa, dan apapun yang diberikanNya sesudah itu, baik yang menyenangkan untuk kita atau yang membuat kita menderita karenanya, haruslah diterima sebagai pemberianNya. Dan itu harus ihlas, tanpa pamrih. Semua dharma kita adalah kewajiban dan persembahan kita kepadaNya, bahkan harus penuh dengan tanggung-jawab yang tulus kepadaNya bukan kepada kehendak unsur-unsur duniawi yang banyak terdapat disekitar kita, yang kalau dihitung seakan-akan tiada habisnya.

40. Dengan hancurnya sebuah keluarga, hancurlah juga semua tradisi-tradisi lama kita (kuladharma), dan dengan hancurnya tradisi-tradisi, larangan dan segala peraturan-peraturan nenek-moyang kita, maka kekacauan akan menguasai keluarga kita semuanya.

41. Dan kalau kekacauan ini (adharma) berkelanjutan, maka wahai Kreshna, wanita-wanita dalam keluarga ini akan berjalan serong. Dan kalau para wanita kita telah berlaku serong, oh Kreshna akan terjadi percampuran dalam sistim kasta.

Arjuna amat khawatir bahwa kehancuran dalam keluarga besar mereka akan menghancurkan juga nilai-nilai lama tradisi mereka, dan lebih dari itu, juga akan menghancurkan sistim kasta yang mereka pegang teguh.

Di dalam Bhagavat Gita, kita akan menemukan bahwa sistim kasta yang dianut secara diskriminasi adalah salah, suatu yang tidak senafas dengan inti ajaran Bhagavat Gita. Peranan wanita dalam agama Hindu sebenarnya sangat vital dan suci, nasib sesuatu bangsa maupun keluarga sering sekali ditentukan oleh peranan seorang wanita yang dalam hal ini bisa berupa seorang ibu, istri, dan sebagainya. Tidaklah mengherankan kalau Arjuna sangat gundah akan hancurnya moral para wanita dalam keluarga besar mereka. Semenjak masa silam, para wanita dalam agama Hindu selalu mendapatkan posisi yang agung dan suci, penuh tugas untuk dharma. Derajat mereka sebenarnya lebih suci dari para pria dan nilai mereka lebih tinggi. Ini dapat dibuktikan dari kedudukan para dewa-dewi dalam legenda-legenda Hindu, juga suatu upacara suci tidak akan sah kalau tidak dihadiri seorang wanita, juga peranan gadis-gadis yang masih suci amatlah vital dalam upacara untuk para leluhur dan tentunya masih sekian banyak contoh-contoh lainnya yang dapat kita baca sendiri di epik Mahabarata dan Ramayana di mana peranan wanita amat menonjol penuh kebajikan.

42. Dan kekacauan ini akan menjerumuskan, baik keluarga kita maupun yang menghancurkan nilai-nilai tradisi, ke neraka. Dan arwah para leluhur pun akan terabaikan karena tak akan mendapatkan air dan sesajen (yang berbentuk bulatan terbuat dari beras).

Arjuna amat khawatir kalau peperangan ini akhirnya malah merusak nilai-nilai tradisi lama dan agama mereka, sehingga arwah para leluhur pun ikut makan getahnya dengan tidak mendapatkan sesajen lagi. Biasanya para wanitalah yang mengatur sesajen ini pada upacara-upacara keagamaan tertentu. Kalau wanita-wanita dalam keluarga mereka sudah tidak setia lagi kepada leluhur mereka tentu akan timbul kekacauan dalam tradisi ini, pikir Arjuna. Upacara sesajen untuk para leluhur disebut shraddha.

43. Karena ulah yang menghancurkan keluarga kita ini, terciptalah kekacauan dalam sistim varna (kasta) yang ada dalam tradisi kaum kita dan hancurlah keluarga ini.


44. Dan kami dengar, wahai Kreshna, bahwa barang siapa kehilangan nilai-nilai tradisi keluarga, mereka akan tinggal di neraka.


45. Aduh, Betapa besarnya dosa yang harus kita pikul dengan membunuh sanak-keluarga hanya demi kemewahan sebuah kerajaan.


46. Lebih baik aku dibantai putra-putra Dhristarastra dengan senjata mereka, dan tak akan kulawan mereka.


Berkatalah Sanjaya :


47. Setelah mengatakan hal-hal tersebut (di medan perang), Arjuna terjatuh ke sandaran kursi (kereta perangnya), dan menghempaskan panah serta busurnya; seluruh jiwanya tercekam dengan rasa gundah-gulana.


Arjuna sebenamya adalah seorang kshatrya yang bersih, tetapi pada saat ini hatinya diselimuti awan tebal. la sebenarnya, seakan-akan berbicara tentang vairagya (penyerahan diri secara total), tetapi hal ini dilakukannya karena keterikatannya kepada sanak-keluarga dan harta duniawi, bukan vairagya kepada Yang Maha Esa.

Banyak yang bertanya apa perbedaan antara cinta (moha) dan cinta-sejati? Yang pertama adalah kulit luarnya yang selalu terikat pada sesuatu benda atau seseorang secara duniawi, sedangkan cinta-sejati adalah suatu ekspresi dari suatu kesadaran yang dianugerahkan oleh Yang Maha Esa kepada kita semuanya yang sebenarnya penuh dengan rasio, pertimbangan, dan perhitungan yang penuh tanggung jawab baik kepada masyarakat maupun Yang Maha Pencipta.

Cinta sejati tidak terikat pada batas-batas pribadi seseorang. Arjuna tidak dapat berperang karena ia masih terikat dalam batas-batas "miliknya," ia masih mencintai semua sanak-keluarganya dalam batas duniawi. Arjuna lupa akan akhir hidup kita semuanya, tidak ada sesuatu apapun yang akan kita bawa kembali ke alam sana, karenanya Arjuna masih harus belajar tentang nishkama-karma (sesuatu tindakan atau pekerjaan tanpa mengharapkan pamrih).

Sang Kreshna maklum Arjuna sedang mengalami depresi mental yang sangat berat, Beliaupun memulai ajaran-ajaranNya demi membangun lagi jiwa-raga Arjuna agar terjun lagi penuh semangat dan vitalitas untuk menghadapi hidup ini yang penuh dengan segala cobaan tetapi juga tugas-tugas dari Yang Maha Pencipta untuk kita semua.

Inti ajaran Bhagavat Gita adalah, pembinaan mental diri kita sendiri secara batin. Gita mengingatkan dan sekaligus mengajarkan bahwa kelemahan adalah dosa; sesuatu kekuatan diri haruslah dibina dengan disiplin yang kuat dan tanpa pamrih. Kekuatan ini harus bersih dari segala unsur-unsur duniawi dan penuh dengan gairah hidup demi dharma kita kepadaNya. Pesan Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita adalah "berdirilah dan berperanglah melawan kebatilan." Hidup adalah perjuangan demi nilai-nilai kebenaran; hidup juga adalah sebuah kuil atau pura dari pemujaan kita kepadaNya tanpa pamrih. Maju terus pantang mundur demi dharma-bhaktimu kepadaNya, bukan kepada hasrat-hasrat pribadimu dalam bentuk apapun juga.

Dalam Upanishad Bhagavat Gita, bab yang pertama ini disebut sebagai Ilmu-Pengetahuan tentang Ilahi, sebuah Karya Sastra yang berbentuk dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna yang disebut juga Arjuna Vishada Yoga atau Yoga Sang Arjuna dalam Kedukaannya.

Bab pertama disebut "Vishada Yoga." Vishada berarti depresi (karena duka), yoga di sini berarti bagian atau bab. Vishada yoga adalah permulaan dari Bhagavat Gita. Sebenarnya kalau ditelaah secara mendalam, maka rasa depresi atau Vishada ini adalah anak tangga pertama menuju ke kehidupan spirituil atau kebatinan. Setiap manusia harus mengalaminya setelah tersandung dalam berbagai aspek kehidupannya yang gagal, dan masuklah ia kemudian ke dalam suatu kegelapan seakan akan tanpa jalan keluar, kemudian barulah ia meniti secara perlahan dari gelap menuju ke terang. Dalam setiap depresi ini kalau sudah tidak terlihat jalan keluar maka kita akan berteriak dalam kedukaan yang amat dalam: "Apakah arti kehidupan ini? Apakah arti semuanya ini? Mengapa kita harus dilahirkan? Kemana kita akan pergi sesudah mati nanti? Dan sering sekali kita mengucapkan, "Oh Tuhanku mengapa Kau lupakan daku?" Mengapa Kau tinggalkan daku sendiri dalam duka ini?" dan "Oh Tuhan Dikau tak adil pada ku?" dan lain sebagainya, sebagai tanda-tanda frustrasi dalam diri kita,

Setiap manusia kemudian harus masuk ke dalam suatu keheningan sebelum ia kemudian melangkah masuk dalam suatu bentuk ilmu pengetahuan tentang dirinya sendiri. Dalam keheningan ini setelah membunuh atau menguasai semua bentuk rasa egonya baik yang berbentuk positif (baik) maupun negatif (buruk), ia akan menemukan bahwa ia tidak berdiri sendiri dan semua ini ada yang mengatur. la akan menemukanNya, yang selalu mengayominya, menuntunnya dan kasih-sayang kepadanya. la (Yang Maha Esa) selalu hadir dalam setiap agama dengan bentuk dan versi yang berlainan sesuai dengan kepercayaan masing-masing individu; dalam Hindhu Dharma Ialah Sang Kreshna (Ilahi dalam bentuk manusia), Sang Penuntun jalan kehidupan kita. Camkanlah bahwa untuk mendapatkan penerangan, seseorang melalui jalan takdir biasanya harus mengalami kegelapan dulu. Begitu juga Arjuna dan begitu juga kita manusia, sampai suatu saat nanti, kita pun, seperti Sang Arjuna akan mengucapkan:

Engkaulah yang Terutama,
Engkaulah Tujuan yang Tertinggi,
Dari ujung ke ujung Kau penuhi alam semesta ini,
Oh Dikau Bentuk yang Tanpa Batas (Anantarupam). [XI, 38]

Bab 02 - Dimulailah Ajaran Bhagavat Gita

Berkatalah Sanjaya :
1. Sang Kreshna pun penuh dengan perasaan iba bersabda kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah, dan kedua matanya penuh dengan linangan air mata dan merasa dirinya tanpa semangat dan harapan lagi.

Berkatalah Sang Kreshna Yang Maha Pengasih :
2. Dari manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan krisis seperti ini? Menolak berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan. Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga. Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!

3. Janganlah bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna! Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini. Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu. Bangkitlah, wahai Arjuna!

Berkatalah Arjuna :
4. Bagaimana mungkin, wahai Kreshna, daku menyerang Bhisma dan Drona dengan panah-panahku dalam perang ini? Bukankah mereka sebenarnya layak untuk dijunjung tinggi, oh Kreshna?

5. Lebih baik hidup sebagai pengemis di dunia ini, daripada membantai para guru yang agung ini. Dengan membunuh mereka, yang kudapatkan hanyalah kepuasan yang bergelimang darah!

6. Juga kami tak tahu manakah yang lebih baik - kami mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami. Dengan membunuh putra-putra Dhristarashtra, yang berdiri sebagai lawan, berarti juga menghilangkan sendi-sendi kehidupan (keluarga besar mereka).


7. Seluruh svabhavaku (jiwa-ragaku), serasa sedang dirundung rasa lemas dan rasa iba, dan hatiku bimbang untuk melaksanakan kewajibanku ini. Maka kumohon kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang manakah yang lebih baik. Daku adalah muridMu.* Daku berlindung di dalam diriMu. Ajarilah daku.**

Arjuna terombang-ambing di antara kesedihannya dan rasa tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kshatrya. Dan puncak dari keragu-raguannya ini adalah berpasrah diri kepada Sang Kreshna agar ditunjukkan jalan yang benar dan pasti.

Image* Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari penerangan': inilah kira-kira yang dimaksud oleh Arjuna. Dalam hidup ini ada tiga tahap untuk seorang jignasu (seseorang yang mencari): pertama-tama ia akan masuk dalam tahap "mencari," kedua ia akan menjadi seorang murid, seorang yang ingin sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia menjadi seorang "anak" dari sang Guru untuk kemudian dituntun. Selanjutnya sang jignasu akan masuk kedalam suatu tahap yang "tenang" dan tidak lagi dalam keadaan "depresi."

** 'Ajarilah daku' dalam bahasa Sansekertanya adalah "shadhi mam" yang juga dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru kebatinan tidak saja mengajari muridnya dengan ajaran secara verbal maupun tertulis tetapi juga akan menimbulkan suatu "shakti atau "energi" di dalam diri seorang murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom sampai ke Atman (Inti-Jiwa kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan, dan jembatan ini adalah seorang Guru yang sejati. Carilah dia dan berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan berhasil melalui jembatan ini ke tujuanmu. Tetapi ingat seorang guru bukan untuk berbantah-bantah, seorang guru adalah penuntunmu, dan engkau harus tulus jiwa- dan ragamu dalam pengabdianmu kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka, bukan dengan berdebat kepadanya.

8. Rasa bimbang ini merubah seluruh indraku menjadi layu. Aku tak melihat masa depan, walau seandainya aku berkuasa tanpa batas atas seluruh permukaan bumi ini atau pun atas para Dewa-Dewa.
Berkatalah Sanjaya :

9. Setelah ucapan-ucapan Arjuna ini selesai, Arjuna berkata kepada Sang Kreshna: "Aku tak akan berperang." Dan dengan kata-kata ini Arjuna pun langsung berdiam diri.

Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening sebenarnya adalah salah satu "guru" kita.

10. Kemudian Sang Kreshna penuh dengan senyuman bersabda kepada Arjuna yang masih diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang berada di antara kedua laskar ini.

Kreshna tersenyum karena ia mengetahui bahwa kesedihan Arjuna sebenarnya adalah proses cinta-duniawi yang terpengaruh oleh ilusi Sang Maya. Arjuna sedih karena belum memiliki ilmu pengetahuan yang sejati. Arjuna harus melewati dulu semua rasa egonya baik yang buruk maupun yang baik, untuk mencapai suatu "pengertian" tentang hidup ini.

Sang Kreshna tersenyum karena Ia sadar bahwa Arjuna harus melalui proses "habis gelap terbitlah terang." Arjuna harus disadarkan dan diluruskan jalan pikirannya bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh tetapi sebaliknya harus dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran untuk segalanya. Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang akan menuju ke arah kehancuran total.

Sang Kreshna tersenyum karena apa yang diutarakan oleh Arjuna adalah kulit-luar dari kitab-kitab shastra dan Upanishad. Arjuna lupa akan isi ajaran-ajaran semua itu dalam bentuk yang sebenarnya. Apakah dharma itu sebenarnya? Arjuna alpa akan hal itu, baginya dharma adalah tradisi dan peraturan yang sesuai dengan adat-istiadat ritual; bagi Sang Kreshna dharma adalah suatu peraturan atau tata-cara atau hukum yang menganjurkan/mewajibkan seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai dengan segala kehendakNya, untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa dan diperlakukan tidak adil, dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk apapun juga, tetapi diserahkan kembali kepada Yang Maha Esa.

Berkatalah Sang Maha Pengasih :
11. Dikau bersedih hati untuk mereka yang seharusnya tidak perlu dikau risaukan, tetapi dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana. Seseorang yang bijaksana tak pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun untuk yang telah tiada.

Kesedihan Arjuna adalah berdasarkan kebodohan, Arjuna tidak sadar akan arti hidup dan mati yang sebenarnya, kedua-duanya adalah permainan Sang Maya (Ilusi-Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati. Seseorang yang bijaksana akan terus jalan dalam hidup ini penuh dengan dedikasi akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi yang beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan berbagai cara yang baik maupun yang buruk, baik dengan jalan kekerasan maupun kasih-sayang (moha). Bukankah Columbus yang terserang badai dalam suatu pelayarannya pernah berteriak, Lajulah terus, terus dan terus. Di dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik kita mau atau tidak. Tidak ada jalan lain.
Bab ini disebut Sankhya Yoga yang berarti yoga Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari seluruh Upanishad-Upanishad. Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal kebijaksanaan ini.

12. Tiada waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga engkau, juga mereka-mereka ini, dan juga semuanya, dan kita semua akan selalu terus hadir.

Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati sesuai dengan masa pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari satu raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan penderitaan yang diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus tanpa terkontaminasi sedikitpun. Arjuna dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang "nyata" dengan yang "tidak nyata."

13. Sang Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati masa kanak-kanaknya, masa remaja dan masa tuanya. Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh oleh ilusi ini.

Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana dari satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur. Sedangkan raga itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui berbagai tahap seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa dan Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus seakan-akan tidak ada akhirnya.

14. Setiap hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna, menimbulkan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan. Semua ini datang dan pergi, dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta).

Atman sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga yang ditumpangi Atman. Raga ini setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin dan panas, kesenangan dan penderitaan, dan sebagainya. Semua ini harus kita maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi. Kita harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga tidak menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya.
15. Seseorang yang tenang dalam kesenangan dan penderitaan --tidak terusik oleh kedua-duanya -- ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pernah mati, oh pemimpin diantara anak-anak manusia (Arjuna)!
16. Yang tidak sejati tidak mempunyai bentuk, Yang Sejati tak pernah ada habis-habisnya. Kebenaran kedua hal ini telah dirasakan oleh para pencari Kebenaran.
Yang sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita), yang tidak sejati adalah raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman terus berkelana tanpa ada batas-batasnya. Raga kita berbentuk asat: tidak abadi, dapat rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan. Sedangkan Atman adalah sat: Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa henti-hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama saja dengan Yang Maha Pencipta. Seorang penyair Barat yang terkenal di dunia pernah menulis:
Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu,
Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi hilang berterbangan.
Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan pelangi berwarna- warni,
Sebenarnya bersumber pada warna putih yang abadi. (Percy Bysshe Shelley)
17. Tiada seseorang pun mempunyai kekuatan untuk menghancurkan Yang Tak Pernah Binasa, Yang menunjang semua ini. Ketahuilah Ia tak akan pernah bisa dihancurkan.
Yang dimaksudkan Yang Tak Pernah Binasa di sini adalah Atman (Yang sebenarnya adalah sepercik kecil dari Brahman). Raga kita akan hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan pernah binasa karena Ia abadi.
18. Raga yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan yang tak bisa dihancurkan atau terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak abadi. Jadi berperanglah, oh Arjuna!
19. Seseorang yang berpikir bahwa ia membunuh, atau seseorang yang berpikir ia terbunuh kedua-duanya tidak memahami dengan baik arti dari kebenaran. Tiada seorangpun yang sebenarnya dapat membunuh atau terbunuh.
20. Tak ada seseorangpun yang pernah dilahirkan atau pun suatu saat nanti harus mati. Tak ada seorangpun sebenarnya yang hilang atau terhenti proses hidupnya (eksistensinya). Ia tak pernah dilahirkan, bersifat konstan, abadi dan telah ada semenjak masa yang amat silam. Ia tak pernah mati walau raga habis terbunuh.
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah mengatakan tentang Atman sebagai berikut: "Aku datang, lewat dan berputar lagi." Sedangkan Yesus pernah bersabda kepada orang-orang Yahudi, "Ye are gods" (Engkau semuanya adalah dewa-dewa). "Barangsiapa mengenal dirinya sendiri tahu akan Cahaya ini," kata filsuf terkenal Lao Tse dari Cina, sedangkan seorang sufi terkenal pernah berkata, "Inti dirimu adalah inti Tuhan itu sendiri."
21. Seseorang yang mengenal bahwa Jati Dirinya tak akan dapat dihancurkan dan selalu abadi, tak pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti, bagaimana mungkin orang seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau bahkan mengakibatkan orang lain jadi pembunuh?
"Seseorang yang mengenal Jati Dirinya," sadar Dirinya hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi, inilah arti yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.
22. Seperti seseorang yang mengganti baju usangnya dengan baju yang baru, begitupun Jiwa ini berganti-ganti raga dari yang lama ke yang baru.
Dalam Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata, ada perumpamaan lain dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai seseorang yang pindah dari rumahnya yang usang ke rumahnya yang baru; inilah jalan kehidupan Sang Jiwa dari raga ke raga lainnya. Tetapi harus diingat bahwa yang dimaksud ini bukan raga manusia saja tetapi bisa juga berbagai ragam raga yang ada di alam semesta ini, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan, raga-raga lainnya yang bertebaran di laut, bumi di sistim planet-planet lainnya atau di mana saja di seluruh alam semesta yang tanpa batas ini. Dan bentuk raga ini bisa saja yang berbentuk abstrak, atau pun dewa-dewi, makhluk-halus, dll, semuanya sesuai kehendakNya dan alur karma kita sendiri.
23. Tidak ada senjata yang dapat memisah-misahkanNya, tidak juga api dapat membakarNya, atau air membuatNya basah, bahkan anginpun tak dapat mengeringkanNya,
24. Tak terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia. Tak terbasahkan dan terkeringkan Ia. Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia selalu konstan dan tak tergoyahkan. Ia hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu sama selama-lamanya.
Inilah gambaran dari Atman (Inti Jiwa) kita, yang karena bentuknya yang sangat unik, tak dapat digambarkan secara duniawi, tetapi dapat kita fahami sebagai sesuatu yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi. Tak akan rusak atau pun binasa.
25. Tak terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat diubah-ubah - begitulah Ia disebut. Setelah mengenalNya seperti itu, seharusnya engkau (Arjuna) tak perlu lagi merisaukan hatimu.
Diri ini harus bersih dulu dari segala keterikatan duniawi ini yang aneka-ragam corak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih mengerti akan hadirNya Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik. Selama kita masih diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan duniawi, dan selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita; dan tak pernah menyerahkan semua ini kepadaNya secara tulus, selama itu juga yang dekat akan terasa amat jauh. Sebenarnya la amat dekat di dalam diri kita sendiri. Kenalilah Dia !
26. Pun sekiranya kau pikir Sang Jiwa (Atman) ini bisa mati dan hidup, dan tidak bersifat abadi, wahai Arjuna, tak perlu juga dikau harus risau dan bersedih hati.
27. Karena sudah pasti yang lahir harus binasa dan yang binasa harus lahir. Jadi janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah pasti dan semestinya ini.
Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa berubah, jadi sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, que sera sera, apa yang akan terjadi terjadilah. Mati-hidup kemudian hidup-mati, dan seterusnya sudah semestinya begitu, jadi apa yang harus dirisaukan lagi. Tidak ada jalan lain, yang mau tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan lain, takdir sudah mengaturnya begitu. Yang penting adalah kesadaran untuk menerimanya sebagai kewajiban kita kepada Ilahi, bukan karena terpaksa.
28. Keadaan dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak dapat diterangkan dalam bentuk duniawi ini. Tetapi pada periode antara kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita lihat dan fahami. Setelah mati mereka kembali lagi ke suasana yang tak dapat diterangkan ini lagi. Jadi untuk apa dikau harus bersedih hati, wahai Arjuna?
Jadi sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini hanyalah bentuk kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian kita dan orang-orang disekitar kita saja. Sebelum dan sesudah itu gelap dan tidak terang bagi kita. Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit yang ditengah-tengah saja, ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah tahu. Lalu untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam yang tidak kita ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan ini berlangsung terus tanpa henti-hentinya. Lalu untuk apa risau akan semua masalah yang harus kita hadapi, bukankah kita ini sebenarnya hanya alatNya saja di dunia ini, yang dikirimkan untuk melakukan tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita seharusnya sesuai dengan kehendakNya. Itulah dharma-bhakti yang semestinya.
29. Ada yang mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, ada yang membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, dan ada juga yang mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi tak seorang pun yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan pasti apa Ia sebenarnya.
Kebenaran tentang Atman sebenarnya terbuka untuk kita semuanya; dan mereka-mereka yang merasakanNya menjadi takjub sendiri. Toh tidak semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena sudah tersandung dalam perjalanan sebelum mencapaiNya. Ada yang ragu-ragu, ada yang terhadang oleh kesulitan-kesulitan dan hanya sedikit yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan ini.
Timbul pertanyaan kalau Dia memang mengasihi kita lalu mengapa banyak yang harus tersandung sebelum mencapaiNya? Sebenarnya Yang Maha Kuasa memberikan kita kebebasan untuk memilih. Sering sekali kita-kita ini lebih condong untuk terikat dengan segala unsur-unsur duniawi ini yang seakan-akan sudah jadi milik kita atau sudah menjadi urusan pribadi kita yang tak dapat diganggu-gugat. Seharusnya kita melepaskan semua unsur ego baik yang positif maupun yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk kemudian dibimbing olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah seperti seorang anak kecil yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan jujur dalam segala aspeknya. Dan seperti juga orang-tua kita yang akan selalu membimbing kita dalam suka dan duka, maka Yang Maha Kuasa pun akan selalu menunjukkan jalan kita dalam setiap tindak-tanduk kita. Ia sebenarnya setiap hari mengetuk pintu hati kita dan tersenyum penuh cinta-kasih, yang menjadi masalah adalah kita menganggapNya Ia berada di tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam keheningan, bahkan Ia sebenamya dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi kita masing-masing yang juga adalah DiriNya sendiri. la hadir selalu dalam diri kita, tak usah jauh-jauh mencarinya di hutan atau di laut, di bulan atau di matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.
30. Ia yang bersemayam dalam setiap makhluk - adalah Kehidupan dalam setiap makhluk -- Ia tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi Arjuna, seharusnya dikau tidak bersedih hati untuk makhluk apapun juga.
Yang dimaksud Sang Kreshna di sini, adalah Sang Arjuna boleh saja memikirkan dan memperhatikan semua makhluk di dunia ini, malahan itulah salah satu aspek penting dalam dharma. Tetapi juga harus tahu bahwa yang bersemayam dalam setiap makhluk ini, yang disebut Atman tak akan bisa binasa walau apapun yang terjadi. Jadi sebenamya Arjuna tidak perlu sedih, karena kesedihan itu sia-sia belaka, takdir sudah menentukan jalan hidup setiap makhluk ciptaanNya sesuai kehendakNya dan bukan sesuai kehendak Arjuna atau kita semuanya.
31. Dedikasikan dirimu kepada kewajibanmu dan jangan kau ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk seorang kshatrya, daripada suatu perang demi kebenaran.
Dharma demi kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja, apalagi kalau ia seorang kshatrya yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta negaranya dari segala kezaliman dan angkara-murka. Dalam salah satu kisah Mahabarata tertulis, "Barangsiapa menyelamatkan suatu kehancuran adalah seorang kshatrya" dan juga tertulis di bagian lainnya, "Hanya ada dua tipe manusia yang dapat mencapai alam Brahman setelah melewati konstelasi matahari: yang pertama adalah para sanyasin (orang-orang suci) yang telah dalam ilmu pengetahuannya dan yang kedua adalah para kshatrya yang mati dalam peperangan membela kebenaran." Bukankah itu berarti bahwa kalau kita selamanya berjalan/berperang demi kebenaran maka kita sedang menuju ke arahnya, Yang Maha Pencipta.
32. Berbahagialah mereka para kshatrya, yang harus berperang demi kebenaran -- terbukalah kesempatan ke sorga tanpa mereka minta.
Sang Kreshna di sini menegaskan bahwa berperang/mati demi kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga; ini berarti bahwa berperang demi kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi kita dari Yang Maha Esa. Kalau direnungkan dengan baik-baik bukankah kita dikelilingi oleh berbagai bentuk tidak kebenaran dalam hidup ini, dari segala bentuk nafsu-nafsu pribadi kita yang negatif sampai ke penindasan yang tidak berprikemanusian dalam prilaku manusia. Sesuatu bentuk pcmerintahan, diskriminasi, dan berbagai aspek tidak benar lainnya yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan semua itu bertebaran di sekeliling kita setiap saat.
33. Dan seandainya dikau tak maju berperang di jalan yang suci ini, dikau akan mengabaikan kewajiban dan kehormatan, dan dikau akan dikejar-kejar oleh perasaan salahmu itu.
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan kebenaran harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan harta bendanya tetapi juga nyawanya sendiri. Apalagi untuk suatu tugas yang besar dan suci. Sebagai seorang kshatrya, seandainya Arjuna mengingkari kewajibannya ini, maka ia akan kehilangan segala kehormatannya.
34. Setiap orang akan menghinamu, dan bagi seorang yang terhormat, penghinaaan adalah lebih buruk dari suatu kematian.
35. Para pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau mundur dari peperangan ini karena rasa ketakutanmu. Dan mereka-mereka yang menghormatimu akan memandang rendah padamu.
36. Belum lagi hinaan-hinaan lainnya yang diucapkan oleh musuh-musuhmu, semua itu akan membuatmu lebih lemah lagi. Adakah yang lebih menyakitkan dari semua itu?
37. Seandainya dikau terbunuh, maka dikau akan ke sorgaloka. Sekiranya dikau perkasa dalam peperangan ini, maka dikau akan menikmati bumiloka ini.
Jadi bangkitlah wahai putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah senjata untuk yudhamu ini.
38. Samakanlah rasa nikmat dengan derita, laba dengan rugi, menang dengan kalah, bersiaplah untuk yudha ini. Dengan begitu dikau tak akan tercemar oleh dosa.
Pada sloka-sloka sebelumnya Sang Kreshna menyindir rasa ego dan tanggung-jawab Arjuna pada dharma yang sebenarnya. Di sloka atas ini Sang Kreshna meminta agar Arjuna melaksanakan kewajibannya yang tertinggi yaitu berperang menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan tugas yang amat suci bagi seorang kshatrya demi Yang Maha Esa dan kebenaran.
39. Sejauh ini Aku telah menerangkan tentang ajaran Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (llmu pengetahuan), dengan mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan perbuatanmu.
Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang Sang Jati Diri (Sang Atman). Yang diajarkan adalah hubungan Sang Atman dan raga kita, di sini ditekankan bahwa Sang Atman yang merupakan inti dari jiwa kita itu tak mungkin dapat binasa, walau raga kita hancur sekali pun. Sedang yang dimaksud dengan Yoga di sini, adalah llmu pengetahuan yang sejati. Ajaran Sankhya ini tidak dapat ditelaah begitu saja, melainkan harus disertai atau didasarkan pada yoga tentang dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar. Tetapi semua dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap dua sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau merasa sama akan senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin, dan lain sebagainya.
Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat kesadaran semacam ini? Caranya adalah dengan menggabungkan daya-intelek (budhi) kita dengan jalan pikiran kita. Setelah intelek kita sadar bahwa semua unsur dualisme yang kelihatannya amat berlawanan ini sebenarnya sama saja, dan hanya merupakan permainan pikiran kita belaka, maka secara tahap demi tahap kesadaran kita akan meningkat dan kita akan melaju ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan jadilah kita seorang Buddhi-Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran).
Seorang Buddhi-Yukta yang baik adalah ia yang telah berhasil mengendalikan hawa-nafsunya yang bersifat aneka-ragam. Ia juga adalah seorang yang bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan maupun kegagalan, bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki ambisi pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah menjadi kewajibannya untuk Yang Maha Esa semata. Seseorang semacam ini tidak perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, tetap sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman ini. Seorang Buddhi-Yukta yang sempurna akan selalu tenang tindak-tanduknya, dan stabil jiwanya, akibat dari pengaruh Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya.
40. Di jalan ini tidak ada usaha yang akan sia-sia, dan tak ada rintangan yang akan bertahan lama. Sedikit saja usaha dharma ini akan melepaskan seseorang dari rasa takut yang besar.
Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran) ternyata akan melepaskan kita dari samsara, yaitu penderitaan di dunia ini yang tak ada habis-habisnya. Karena jalan akhir dari dharma adalah kebebasan mutlak dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa Batas.
41. Budhi (Kesadaran Intelektual) ini, Arjuna, sifatnya tegas dan hanya menunjuk ke satu arah saja. Tetapi mereka yang tidak tegas dalam dharma-bhaktinya, maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah seakan-akan tiada habis-habisnya.
Budhi adalah suatu kesadaran total seseorang; yang memilikinya akan selalu bersifat satu arah saja, yaitu bekerja demi Yang Maha Esa semata tanpa pamrih sekecil apapun juga. Sedangkan bagi mereka yang belum sadar, maka cara atau pola berpikirnya pasti didasarkan oleh kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan, selera, ego dan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya dan efek-efeknya, jadi nafsu mereka pasti tidak akan ada habis-habisnya karena didasarkan oleh banyaknya kebutuhan atau tujuan mereka. Budhi bersifat eka sedangkan nafsu bersifat ananta (aneka ragam tanpa habis-habisnya).
42. Kata-kata manis diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat membedakan, yang tidak bijaksana, yang lebih tertarik dan bahagia dengan kata-kata yang terdapat di Veda-Veda yang memuat: "yang ada hanyalah ini saja!"
Disinilah kita harus mencamkan sabda Sang Kreshna di atas ini yang merupakan peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan ritus-ritus atau tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri. Karena semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa. Kata-kata indah dalam weda yang dianggap suci dan indah tidak akan bermakna kalau tidak didasari dengan dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa.
43. Mereka-mereka ini penuh dengan keinginan duniawi. Tujuan akhir mereka adalah sorga. Akibatnya mereka ini akan lahir kembali. Mereka melakukan berbagai upacara keagamaan hanya untuk mendapatkan kesentosaan dan kekuatan duniawi.
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara keagamaan dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing, tetapi tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari samsara, melainkan membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai dengan karma-karma mereka. Sedangkan seorang karma-yogi yang bekerja semata-mata demi Yang Maha Esa, maka karmanya akan merupakan pengorbanan yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa (merupakan yagna, pengorbanan atau sesajen).


44. Budhi ini bukan untuk mereka yang hidupnya hanya untuk agama yang dipraktekkan demi kesenangan duniawi, yang berdasarkan kata-kata Veda, karena pengetahuan ini memerlukan tekad yang keras demi melepaskan unsur-unsur duniawi (seseorang).
45. Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis guna (kualitas atau sifat manusia). Bebaskanlah dirimu, oh Arjuna dari ketiga kualitas ini. Bebaskanlah dirimu dari kedua sifat yang saling berkontradiksi. Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam sifat kebenaran yang abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun: milikilah Dirimu sendiri - Gurumu!
Veda mengajarkan tentang guna, yaitu tiga sifat atau jenis kualitas manusia. Yang pertama sattva, yaitu sifat yang penuh dengan unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian, kejernihan dan berbagai hal-hal lainnya yang penuh dengan unsur kebaikan. Yang kedua disebut sifat raja, yaitu sifat atau aktivitas yang sifatnya menggebu-gebu, juga suatu bentuk sifat yang selalu ingin memiliki atau mengetahui hal-hal yang baru, dan sifat-sifat lain yang pada dasarnya selalu penuh dengan energi dan aktivitas. Sifat ini identik dengan pikiran kita pada umumnya yang selalu menerawang tanpa henti-hentinya, tanpa batas. Sifat yang ketiga disebut Jama, yaitu sifat-sifat manusia yang selalu menjurus ke arah kebobrokan mental seperti sifat-sifat pemalas, peminum, penjudi, seks-maniak, sifat yang penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap sifatnya. Ketiga sifat ini hadir dalam pikiran dan raga kita, sedangkan Sang Atman atau Sang Jati Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya. Sang Atman adalah saksi Ilahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk Kesadaran Ilahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah merasakan atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi.
Sebenarnya di sini Sang Kreshna sedang menganjurkan kita semua agar mencari dan menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing dan menyembah dan memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma bhakti. Caranya adalah dengan membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme yang saling berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita. Juga membebaskan diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari segala perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi, dan hanya memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva, tetapi bukan yang bersifat sattva duniawi tetapi Sattva Ilahi. Dengan kata lain jadilah seorang manusia sejati bagi dirimu sendiri, bagi masyarakat banyak dan yang terutama bagi Yang Maha Esa. Jadilah manusia yang lepas dari segala unsur duniawi dan hiduplah secara cukup dan sederhana saja, puas dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa, puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan DiriNya (Sang Atman), yang hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau hidup demi Ia semata.
46. Kegunaan Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah mendapatkan penerangan Ilahi adalah ibarat sebuah kolam air yang terletak ditengah-tengah genangan air banjir (bah).
Seorang Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah yang dinyatakan secara kastanya, melainkan adalah seorang yang secara sejati menemukan kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih. Bagi orang semacam ini atau yang sudah sampai ke taraf ini, semua ajaran-ajaran Veda termasuk semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual menjadi sekadar simbol saja. Di sloka di atas , diibaratkan seperti sebuah kolam air tawar ditengah-tengah air bah atau banjir. Dengan kata lain bagi seorang Brahmin yang sejati, ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi untuknya karena ia telah melewati semua itu, dan telah mencapai suatu ajaran Ilahi yang sejati atau dengan kata lain telah mencapai penerangan Ilahi yang tak terbatas sifatnya.

47. Engkau hanya berhak untuk bekerja, tidak untuk hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu mengarah ke hasil akhir (imbalan dari pekerjaan ini), dan jangan juga sekali-kali engkau tidak bekerja.
Jangan mengharapkan suatu imbalan/buah/hasil untuk setiap tindakan atau perbuatan atau pekerjaan kita dengan harapan duniawi kita, tetapi pasrahkanlah hasil-akhir atau efek dari semua perbuatan ini kepadaNya semata. Semua hasil atau efek dari perbuatan ini adalah la yang menentukan dan akan terjadi sesuai dengan kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap tindakan atau perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi dan untuk Ia semata. Dengan bekerja untukNya tak mungkin kita diarahkan ke jalan yang salah atau merugikan orang lain. Semua hasil tindakan harus diambil hikmahnya dengan tulus.
48. Lakukan tindakanmu, oh Arjuna! dengan hati yang terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa keterikatan dan bersikaplah sama untuk semua kesuksesan dan kegagalanmu. Hati yang damai dan penuh rasa bimbang adalah suatu yoga.
Yoga di sini jadi lebih terang dan luas artinya. Yoga itu disebut samatvan, yaitu pikiran dan hati yang selalu seimbang dalam setiap situasi baik menghadapi sesuatu kegagalan maupun kesuksesan, buruk atau yang baik dan seterusnya. Seandainya seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya dapat selalu balans atau seimbang dan tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia akan mencapai rasa ketenangan di dalam dirinya dan inilah yang disebut oleh orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.

49. Pekerjaan demi suatu imbalan itu lebih rendah derajatnya daripada Buddhi-yoga, oh Arjuna! Maka selalulah bernaung dibawah buddhi (intelek)mu. Kasihan mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu.
Pekerjaan yang benar dan bersih dari segala unsur-unsur duniawi akan melajukan perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa karena memang itulah yang diajarkan oleh Sang Kreshna. Janganlah seseorang bekerja demi nama, rumah-tangga, dan kedudukannya dalam masyarakat, bekerjalah semua itu tetapi berdasarkan dedikasi kita kepada Yang Maha Esa semata, sebagai bhakti kita kepadaNya. Dan jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari pekerjaan seorang pembersih sampai ke pekerjaan seorang pendeta, tetapi harus bermotifkan dedikasi yang tulus dan bukan didasarkan pada imbalan atau efek yang akan diterima. Semuanya terserah Ia yang menentukan, kita bekerja tanpa pamrih.
50. Ia yang telah menjadikan dirinya seorang Buddhi-Yukta (yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran Ilahi) akan mengesampingkan semua yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini lebih bermanfaat dari suatu tindakan yang penuh harapan akan suatu imbalan.
Seorang yang telah sadar akan peranannya dalam hidup ini suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya hanyalah berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan tugas-tugas maka kita hidup di dunia ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya. dan tentu saja terserah kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang baik atau alat yang buruk. Seorang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang benar akan memandang sama, dengan mata, hati dan pikiran yang sama kepada semua makhluk, semua unsur baik dan buruk pada setiap makhluk. Orang semacam ini akan selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan tindak-tanduk maupun pikirannya akan selalu bersandar pada Yang Maha Esa, dan selalu minta dituntun sesuai dengan kehendakNya semata. Orang semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja: bukan malahan tidak bekerja karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya,
51. Mereka-mereka yang bijaksana dan telah mendapatkan penerangan menyerahkan semua imbalan dari setiap pekerjaan (tindakan) mereka; lepas dari siklus kelahiran, mereka pergi ke alam yang tanpa derita.
Seandainya hati dan pikiran kita telah bersih dari segala nafsu duniawi dan budhi (daya intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau penerangan, maka setiap tindakan kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasan jiwa kita. Dan jiwa kita akan menanjak dalam perjalannya dari bhakti dan gnana (kesadaran) ke arah Berkah Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan jiwa kita dari siklus hidup dan mati di dunia ini (moksha). Di bawah ini terdapat beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci sifatnya:
1. Karma-yoga : menyerahkan semua imbalan/hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatan baik secara mental maupun secara fisik kepadaNya.
2. Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi), dan timbullah kebijaksanaan Ilahi.
3. Lepas dari ikatan lahir dan mati.
4. Mencapai berkah Ilahi, lalu terus ke moksha.
52. Sewaktu kesadaranmu melewati putaran kegelapan (moha), maka dikau akan mencapai suatu kesadaran tentang apa yang telah kau dengar dan apa lagi yang akan kau dengar.
Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di mana segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi artinya, maka di situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti sebenarnya akan semua tradisi, upacara keagamaan, dan lain sebagainya yang dianjurkan di weda-weda.
53. Sewaktu kesadaranmu, yang salah mengerti tentang shruti (ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang kukuh dan tak tergoyahkan dan jiwamu tenang dalam samadi, disitulah dikau akan mencapai yoga (penerangan ke dalam).
Samadi adalah konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa (Sang Atman atau Sang Jati Diri) yang berada di dalam jiwa kita sendiri. Samadi adalah dialog atau pertemuan diantara kita dan Sang Atman. Pertemuan atau sentuhan ini dapat tercapai bila seseorang lepas dari segala keterikatannya dalam melakukan setiap tugas-tugas duniawinya, termasuk di dalamnya tugas-tugas keagamaannya. Semua tugas-tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron atau selaras dengan kehendakNya. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa apa yang kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya; dengan menyerahkan hasil dari perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian terserah Ia akan efek-efeknya kemudian. Orang semacam ini yang menyerahkan hasil pekerjaannya bulat-bulat kepada Yang Maha Esa akan tegak dan kokoh merasakan semua hasil dari pekerjaan atau perbuatannya yang berefek baik atau buruk, negatif atau positif baginya atau bagi yang lainnya sebagai kehendakNya. Ia lebih bertindak sebagai alat atau petugas Yang Maha Esa dan jauh dari hasil perbuatan-perbuatannya. Karena ia tidak mengharapkan pamrih dari pekerjaan/perbuatannya, maka selalu ia berpikir semua terserah kehendak Ilahi. Selamanya ia akan teguh menghadapi apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini, komunikasi atau samadinya dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan amat baik.
Berkatalah Arjuna :
54. Apa saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai kebijaksanaan yang stabil ini, yang teguh dalam segala hal, dan telah bersatu dengan Sang Brahman, oh Kreshna? Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan kesadaran Ilahi ini berbicara? Bagaimanakah cara duduknya? Dan bagaimana cara ia berjalan?
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali mengetahui ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran Ilahi ini. Sang Kreshna pun menjawabnya satu persatu dengan senang hati, misalnya di sloka 55, 61 dan 64 yang mendatang ini diterangkan tentang cara orang bijaksana ini duduk. Di sloka 56 diterangkan tentang caranya berbicara dan di sloka 58 tentang caranya ia bergerak dalam hidupnya.
Berkatalah Sang Maha Pengasih :
55. Sewaktu seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi yang ada di dalam pikirannya dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan ia disebut sthita-prajna, seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar.
Seseorang yang merasa puas dengan DiriNya (Sang Atman) dan semua sentuhan Sang Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah mencapai suatu penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang dihadapinya.
56. Ia yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala duka dan sakit, merasa tenang saja di kala senang, lepas dari nafsu duniawi, dari rasa ketakutan dan marah, adalah seorang yang telah mendapatkan penerangan.
57. Ia yang tak terikat dari sisi mana pun juga, yang tidak pernah benci maupun cinta pada suatu obyek, yang bertindak secara netral terhadap suatu yang adil maupun yang tidak adil, orang semacam itu mempunyai pengertian yang tegar dalam kebijaksanaannya.
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau kesadaran adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan kehidupan di sekitarnya. la berdiri di atas semua faktor baik yang negatif maupun positif. Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan proses dalam kehidupan setiap orang. Bukannya lalu berarti ia sudah lemah jalan pikiran atau tindak tanduknya, tetapi ini justru merupakan ekspresi sejati dari kebebasannya yang tulus, kuat dan penuh dengan semangat dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan apapun yang diberikanNya, dan setiap hal yang menimpanya dianggap biasa-biasa saja baik itu berupa kesenangan maupun kedukaan.
58. Ia yang menarik seluruh organ-organ nafsunya dari semua obyek-obyek nafsunya dari segala jurusan, ibarat seekor kura-kura yang menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurungnya, adalah seorang yang telah tegar rasa pengertiannya dan teguh dalam kebijaksanaan.
Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke dalam tempurung, maka ia tenang-tenang saja menghadapi reaksi atau ancaman dari luar, karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini. Dengan kata lain dapat diibaratkan sebagai "bersemedi di dalam tempurungnya tanpa rasa keterikatan dengan apapun di luarnya."
59. Obyek-obyek sensual akan menjauh dari seseorang yang tidak mau memberikan umpan kepada mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang menyenanginya. Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang telah melihatNya (Yang Maha Esa).
Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa bukan saja berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga berarti menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri seseorang. Bagi yang telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun selera duniawi yang dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah segala-galanya dan Yang Terindah.
60. Oh Arjuna! Organ-organ sensual yang terangsang akan segera menggerakkan pikiran seseorang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan sedang jalan menuju ke arah sempurna.
Walaupun seseorang telah bertahun-tahun berusaha menuju ke arah penerangan dan mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi selama ia masih menyimpan selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka setiap waktu ia bisa saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini. Maka janganlah heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap bijaksana atau suci tersandung oleh hal-hal yang berbau duniawi, karena organ-organ sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah dipermainkan oleh Sang Maya.
61. Dengan mengendalikan semua organ-organ sensualnya, ia harus duduk secara harmonis dan menjadikan Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir. Seorang yang telah berhasil mengatasi semua organ-organ sensualnya, akan segera mencapai kesadaran yang tegar.
Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan semua unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun batin, dan selalu memfokuskan pikiran dan tindak-tanduk kita ke Yang Maha Kuasa secara konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau kesadaran Ilahi yang tegar. Semua ini memerlukan disiplin pribadi yang kuat dan salah satu cara untuk membentuk disiplin ini adalah dengan bermeditasi secara tekun.
62. Seandainya seseorang mengarahkan pikirannya ke arah obyek-obyek sensual, maka ia akan menghasilkan keterikatan pada obyek-obyek ini. Dari keterikatan ini timbullah hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbullah rasa amarah.
Seseorang yang berpikir senantiasa akan hal-hal yang duniawi akan terikat kepada hal-hal ini, dan sekali terikat akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan ini kalau sekali-kali tak didapatkannya akan menimbulkan rasa amarahnya, rasa-kesal, dan memuncak menjadi angkara-murka. Jadi yang penting bukan saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai keinginan kita tetapi juga pikiran-pikiran kita, karena di dalam pikiranlah sebenamya terdapat benih atau asal dosa.
63. Dari marah timbullah angkara-murka, dan keangkara-murkaan akan menghilangkan akal-sehat, dan dengan hilangnya akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan kesadaran (buddhi) kita, dan dengan hilangnya buddhi ini maka ia akan binasa.
Kalau pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan pengalaman-pengalaman pahit kita yang lampau, karena hilang sudah akal-sehat kita dan rasio kita porak-poranda jadinya. Lupalah kita akan hal yang baik dan buruk, dan pada skala besar kalau kita jadi tersesat karenanya, maka lupalah kita akan tujuan kita lahir ke dunia ini. Itu berarti binasalah kita secara spiritual.
64. Tetapi seseorang yang penuh dengan disiplin, yang bergerak di tengah-tengah obyek-obyek sensual tanpa suatu keterikatan kepada obyek-obyek sensual ini dan dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan pergi ke suatu kedamaian yang luhur.
Bhagavat Gita menganjurkan kita semua untuk mengendalikan (bukan menghentikan) semua organ-organ sensual (indra-indra) kita dengan mengendalikan jalan pikiran kita melalui suatu proses disiplin. Ini berarti belajar mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan dunia ini (hal-hal yang bersifat duniawi) adalah percuma atau sia-sia saja, jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah obyek-obyek duniawi ini dengan mengendalikan diri kita sendiri, maka akan sampailah rasa perdamaian atau ketenangan yang luhur. Rasa perdamaian ini akan timbul dari suatu hati yang penuh dedikasi kepadaNya semata, hati yang betul-betul luhur dan bersih.
65. Setelah mencapai kedamaian, maka berakhirlah derita seseorang, dan seorang dengan kedamaian semacam ini akan segera mencapai keseimbangan yang stabil.
Bagi yang tak mau atau takut mengendalikan dirinya, maka jalan ke arah damai atau ketenangan tidak akan pernah terbuka. Sedangkan bagi yang penuh disiplin, daya-juang dan tekad, yang penuh dengan kendali, maka mereka ini akan menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena konsentrasinya ini maka mereka ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk kedamaian yang abadi dan tak tergoyahkan. Dalam suka dan duka mereka ibarat timbangan yang stabil dan tidak condong menurun ke satu arah.
66. Untuk yang tak pernah mengendalikan diri, tak akan ada buddhi, untuk yang tak pernah mengendalikan diri tak akan ada konsentrasi. Dan kalau tak ada konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang tak memiliki kedamaian maka bagaimana mungkin ia akan memiliki kebahagiaan?
67. Sewaktu pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka pergi jugalah prajna (kebijaksanaan, kesadaran), ibarat arus yang menyeret sebuah perahu di lautan.
68. Jadi, oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah terkendali dari obyek-obyek sensual, maka buddhinya telah mencapai keteguhan.
69. Apa yang merupakan malam bagi semua insan, bagi seorang yang penuh disiplin dirasakan sebagai pagi hari. Dan apa yang merupakan pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni (seorang yang telah mencapai kesadaran penuh).
Semua manusia mungkin atau sedang larut dalam tidurnya Sang Maya, tetapi seorang muni akan tegar terbangun dan bernafas dalam kesadarannya. la acuh saja terhadap ilusi Sang Maya. Sebaliknya ia akan tertidur untuk hal-hal yang bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan merupakan kebutuhan yang amat vital, karena mereka mengikuti indra-indra mereka tanpa kendali. la terpejam untuk duniawi tetapi matanya terbuka selalu ke arah Ilahi dan cinta-kasihNya Yang Agung, yang tak pernah kunjung habis.
70. Seseorang yang kemauan-kemauan indranya, ibarat sungai-sungai mengalir ke lautan yang selamanya tenang-tenang saja menerima aliran-aliran sungai ini. Orang ini akan mencapai kedamaian, bukan ia yang memeluk erat-erat nafsu-nafsunya.
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan yang lepas, tetapi sang lautan tak pernah mengeluh atau goncang karenanya dan selalu dengan tenang dan tegar menerima semua aliran-aliran air yang telah tercemar ini, bahkan dikembalikannya dalam bentuk uap yang bersih untuk dijadikan hujan oleh alam itu sendiri. Begitu pun pikiran seseorang yang telah tegar jiwa-raganya demi dedikasinya kepada Yang Maha Esa. la akan selalu kuat menghadapi semua cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang abadi.
71. Seseorang yang melupakan semua keinginannya dan bertindak lepas dari segala hasrat, tanpa rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki apapun ia pergi ke arah damai.
72. Inilah daerah suci (brahmishiti), oh Arjuna! Setelah mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya. Barangsiapa, bahkan pada detik-detik akhir hayatnya mencapai daerah (kondisi) ini, maka ia akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat Berkah Sang Ilahi.
Yang dimaksud dengan daerah ini sebenamya adalah kondisi atau status seseorang. Dalam kondisi atau status yang dimaksud ini seseorang pemuja dan Sang Brahman telah mencapai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Seseorang yang telah mencapai kondisi ini akan kehilangan semua ilusi duniawi dan Sang Atman akan bersinar di dalam dirinya, dan sampailah manusia ini ke arah sempurna dan kesucian. Bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Atman) berarti lepas sudah semua kemauan duniawi kita, dan kalau seseorang dapat bertahan dalam status semacam ini, atau bahkan baru saja mencapainya, dan langsung berakhir hidupnya di dunia ini, maka ia langsung akan menuju ke Yang Maha Esa, yang menjadi tujuan akhirnya, dan perlu kembali lagi ke dunia yang penuh dengan penderitaan ini.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, llmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab kedua
yang disebut Sankya Yoga atau yoga mengenai ilmu pengetahuan.

Bab 03 - Jalan Aksi (atau Tindakan)

Berkatalah Arjuna :
1. Sekiranya Engkau berpikir, oh Kreshna bahwa kesadaran (atau pengetahuan) itu lebih baik daripada suatu tindakan (aksi), lalu mengapa pula Dikau menyarankan aku untuk berperang?

ImageDi sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan ajaran Sang Kreshna, pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan pikiran yang ada di benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab permulaan ini biasanya timbul pikiran mengapa ajaran Sang Kreshna ini nampak berkontradiksi. Arjuna berpikir bahwa kesadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman adalah lebih baik daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif seperti peperangan. Arjuna lupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sang Kreshna akan dharma-bhakti setiap orang kepadaNya dan masyarakat pada umumnya.

2. Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang jelas, dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik.

Menjawab pertanyaan di atas ini Sang Kreshna pun lalu mengajar ajaranNya mengenai jalan dari aksi atau tindakan, sebagai berikut:


3. Di dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan semenjak masa yang amat silam, oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka yang penuh dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran mengenai tindakan (aksi, perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga), jalannya para yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan aksi.

Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan tentang ajaran Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya adalah ilmu pengetahuan tentang Ilahi, sedangkan Yoga adalah ajaran tentang perbuatan, pekerjaan atau yang disebut aksi. Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini seperti halnya Arjuna, tetapi sebenarnya intisari atau tujuan dari keduanya adalah satu, yaitu Yang Maha Esa. Jadi sebenarnya sama saja, tergantung pemakainya saja.
Ilmu pengetahuan (gnana) dan karma-yoga sebenarnya selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya. Yang ada hanyalah masalah disiplin. Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana dan yang satu lagi condong ke arah karma. Mereka yang menganut gnana disebut penganut Sankhya atau Sankhya Yogi dan mereka yang jalan di nishkama-karma (tindakan bukan untuk diri pribadi) disebut Karma-yogi. Gnana yoga disebut juga sanyasa yoga (yoga-disiplin), karena ilmu pengetahuan yang sejati sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar Acharya, seorang filsuf Hindu yang besar pernah berkata tentang Bhagavat Gita sebagai berikut: "Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (gnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus," tetapi menjadi seorang sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus menanggalkan kewajiban duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang hidupnya sebagai seorang sanyasi dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari. Yang dimaksud adalah kendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya bisa dilakukan sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan status kita dalam masyarakat. Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang Maha-Raja yang amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak pernah merasa memiliki apapun juga. la bertindak sebagai raja karena sudah merupakan kewajibannya pada Yang Maha Esa dan masyarakatnya. Raja Janaka di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, atau dengan kata lain menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi.
Dengan kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan Sankhya-yoga adalah sininimus, atau sama saja artinya. Menurut para guru agama Hindu, gnana tidak berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan dari buku-buku. Seorang gnani bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca banyak buku bahkan mengutip dari buku-buku suci, tetapi belum tentu ia menghayati isi buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani. Gnana atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung, bukan dari buku-buku. Seorang gnani sejati adalah seorang pertapa, seorang yang dapat melihat kebenaran. la bukan seorang penyair atau pengarang yang berbicara atau menulis dari apa yang ia dengar atau lihat. la berbicara atau menulis karena ia merasakan dan melihat kebenaran itu secara langsung dan sendiri. la memiliki sakshatkara, yaitu persepsi atau intuisi langsung.
Tidak ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari buku-buku begitu saja, tetapi harus melalui proses di dalam hidup kita ini. Gnana berarti menyadari diri kita sendiri. Hargailah ketenangan dan keheningan, karena kesadaran atau kebijaksanaan biasanya datang pada waktu-waktu yang hening. Makin banyak ketenangan dan keheningan di dalam diri kita, makin banyak timbul kesadaran dan kebijaksanaan.

4. Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan dengan hanya berpasrah diri.


Idealnya seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga adalah bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara duniawi. Dan kondisi semacam ini tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan atau menelantarkan pekerjaan itu sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat Gita, tetapi tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga. Yang penting bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada nafsu-nafsu indra kita yang serakah dan tidak terkendali. Bekerjalah, berproduktiflah dalam setiap hal, tetapi janganlah kita menciptakan kekacauan atau hal-hal yang buruk atau negatif. Ciptakanlah sesuatu yang indah, yang positif untuk dirimu dan semua di sekitarmu dan semua perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan selama tidak bermotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya.
Siddhi adalah kesempurnaan, dan kesempurnaan biasanya tercapai dari suatu ketenangan atau keheningan. Dan ciri-ciri khas seorang yang penuh dengan siddhi ini adalah:
a. la memiliki disiplin yang kuat sekali dalam mengendalikan keinginan indra-indranya, bahkan sampai ke hal-hal yang terkecil sekali pun.
b. la telah belajar dan sadar bahwa "egonya harus dibunuh, apapun bentuk ego itu." Ada dua jalan ke arah siddhi ini:
i. tidak mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan
ii. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi.
Agar pikiran kita selalu tenang dan tak tergoyahkan, maka perlu sekali untuk mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di sekitar kita. Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada dirinya: uang, rumah, keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa hormat dan lain sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi, hanya Sang Atman yang abadi. Dan pikiran semacam ini harus betul-betul dihayati dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari.
Seseorang yang stabil meditasinya tak akan terganggu oleh berbagai pikiran yang keluar masuk dalam kepalanya. Semua itu dipikirkannya secara santai dan tenang dan tidak secara serius. Meditasi yang benar akan menghasilkan seseorang yang selalu gembira, bercahaya roman-mukanya, penuh dengan enersi dan dinamik tindak tanduknya. Pikiran-pikiran yang negatif tak akan membantunya sama sekali, tetapi positif dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan tak terpengaruh duniawi akan menghasilkan energi yang positif bagi seorang yang gemar bermeditasi.
Bagi seorang yang ingin mencapai ketenangan, maka dianjurkan untuk belajar bermeditasi pada seorang guru yang telah mencapai suatu kesempurnaan, karena dari sang guru ini akan terpancar keluar getaran yang amat positif bagi sang murid. Tanda-tanda seorang spiritual yang telah mencapai ketenangan jiwa ini adalah selain jiwanya betul-betul telah tenang tak tergoyahkan, juga ia tak akan pernah berpengaruh oleh semua kejadian-kejadian di dunia ini.

5. Tak seoranq pun dapat lepas dari suatu aksi, walaupun hanya sejenak; karena setiap orang tanpa dikuasainya harus bertindak sesuai dengan guna-guna (sifat-sifat alami pembawaannya) yang lahir dari prakriti (alam).

6. Seseoranq yang nampak tenang, tidak bertindak apapun dengan organ-organ sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang terpikir justru obyek-obyek sensual, orang yang kacau dan dalam kegelapan ini disebut orang yang munafik.

Aksi perbuatan atau karma adalah suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi manusia yang hidup; manusia bahkan tak bisa hidup dengan baik kalau tidak bertindak atau bekerja. Hidup berarti bekerja, bertindak atau berbuat atau berpikir. Tidak-bekerja yang sejati adalah dengan tidak berpikir tentang hal-hal yang negatif mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego kita pribadi yang selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan "aku" dan "punyaku." Menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala keterikatan kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja. Mengelak dari pekerjaan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Mata kita tak dapat bekerja selain melihat, kuping tak dapat bekerja lain selain mendengar, dan badan kita tak dapat bekerja selain merasakan, dan otak kita tak dapat bekerja selain berpikir. Jadi mau tak mau seseorang harus bekerja atau bertindak sesuai dengan karmanya. Seandainya kita tidak mau bekerja dan ingin duduk diam saja sebagai patung, maka bukankah kita juga telah bertindak sebagai patung? Dengan mengelak dari tindakan/aksi, kita tak akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan, tetapi kembali ke "alam" (prakriti) dan tindakan alami.
Dalam "alam" ini ada tiga chakra atau tiga pusat energi. Dari ketiga pusat ini datanglah pekerjaan-pekerjaan untuk badan kita secara otomatis tanpa kita sadari. Ketiga chakra ini dengan kata lain disebut sifat sattva, raja dan tama yang merupakan pusat-pusat dari aksi kita masing-masing. Dan sekiranya diluar badan kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur indra kita, tetapi dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera duniawi ini, maka orang semacam ini disebut oleh Sang Kreshna sebagai manusia yang munafik. Contoh: seorang yang dianggap suci seperti pendeta, misalnya, yang sehari-hari nampak bertindak suci, tetapi sekali melihat gadis cantik langsung terangsang gairah seksualnya. Walaupun mungkin ia tidak bertindak lebih lanjut, tetapi itu sudah menunjukkan betapa tindak-tanduknya sudah tidak sesuai dengan hati dan pikirannya, dan inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur pada diri dan masyarakat sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa. Organ-organ sensual kita (indra-indra) adalah sebagian dari prakriti, begitu pun pikiran-pikiran kita; untuk menjalani hidup yang sejati ini kita harus dapat menaklukkan bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita, dan itu berarti menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung.
Salah satu contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini adalah dengan tinggal bersama-sama dengan seorang suci. Juga sebaiknya setiap orang tidur dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan gambar-gambar orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci. Mengoleksi buku-buku suci dan membakar wewangian untuk pujaan. Sebelum tidur bermeditasilah, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang positif dan suci seperti mantra-mantra suci, atau pada suatu dewa tertentu, atau pada sang guru, dan lebih baik lagi kalau dapat memfokuskan diri pada Sang Atman, Sang Kreshna atau Sang Brahman secara langsung (Yang Maha Esa).
7. Tetapi barangsiapa yang mengendalikan indra-indranya dengan pikirannya, oh Arjuna, dan tanpa keterikatan mempekerjakan organ-organnya demi karma-yoganya (aksi atau pekerjaannya), maka ia disebut berhasil.
Dalam karma-yoga (pekerjaan kita), lakukanlah karma atau pekerjaan kita sesuai dengan kewajiban kita tetapi tanpa keterikatan secara duniawi. Kita bekerja sebenarnya karena demi dan untukNya dan tanpa pamrih, tanpa rasa memiliki, atau ego atau imbalan, dan sadar bahwa apapun yang dikerjakan adalah manifestasi dari Yang Satu itu, Yang Abadi selama-lamanya.
8. Lakukan pekerjaan yang telah menjadi kewajibanmu, karena bekerja adalah lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu saja tak mungkin stabil tanpa suatu aktifitas.
Aktifitas adalah lebih baik daripada bermalas-malas tanpa suatu pekerjaan. kita duduk tanpa bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit karenanya.
9. Pekerjaan merupakan suatu keterikatan di dunia ini, kecuali kalau dilakukan demi pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa). Seyogyanyalah, oh Arjuna, dikau aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari segala keterikatan.
Setiap manusia di dunia ini telah terkurung oleh pekerjaan, dan setiap orang sibuk dan menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk penggantinya, maka dianjurkan agar kita tidak menjadi budak dari pekerjaan-pekerjaan ini, yaitu dengan bekerja demi Yang Maha Esa semata. Dengan kata lain secara mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau kewajiban sebenarnya hanyalah untuk Dia semata. Dengan demikian kita bisa bekerja dan merencanakan sesuatu secara tanpa keterikatan duniawi. Dengan ini akan timbullah suatu rasa kebebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi, karena semua hasil akhir juga diserahkan kepadaNya untuk diolah dan ditentukan akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya.
Di sloka diatas ada kata-kata, lakukan pekerjaanmu demi pengorbanan ini, yang dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yagna. Menurut Shankara, ahli dan filsuf Hindu yang terkenal di masa silam, yagna dapat berarti Vishnu, Sang Maha pengasih. Yagna dengan demikian disimpulkan sebagai Yang Maha Esa dan juga pengorbanan untuk Yang Maha Esa. Kemudian mungkin timbul pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati? Semua pekerjaan yang bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa adalah pekerjaan yang sejati. Pengorbanan selalu berarti "mengorbankan diri sendiri untuk orang atau hal lain," dan berkorban berarti menemukan diri sendiri yang sejati; tuluskah diri ini, atau masih tertutup oleh hawa-hawa nafsu dan ego?
10. Pada masa yang lalu, Prajapati, Dewanya para makhluk-makhluk, menciptakan" manusia dengan suatu itikad yang penuh dengan pengorbanan dan berkatalah dewa ini: "Dengan pengorbanan ini engkau akan sejahtera. Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamakhuk (sapi kemakmuran yang beranak-pinak yang akan menghasilkan kemauan-kemauanmu).
Dewanya para makhluk yang dalam epik-epik Hindu kuno disebut Prajapati, yang menciptakan para makhluk di dunia ini; sewaktu menciptakan makhluk-makhluk ini ia mendasarkan pekerjaan ini pada suatu sifat pengorbanan yang tulus demi Yang Mata Esa karena Sang Dewa ini sadar bahwa semua tugas atau pekerjaan sebenarnya adalah kehendak dan demi Yang Maha Esa semata. la mengibaratkan pengorbanan ini sebagai Kamadhuk, yaitu seekor sapi yang dianggap suci dan terkenal sekali karena selalu beranak-pinak tanpa hentinya. Sang Dewa ini selalu menganjurkan manusia agar dalam segala tindak-tanduk manusia apakah itu suatu pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan yang lain, agar selalu mendasarkan setiap tindakan manusia itu dengan rasa pengorbanan yang tulus. Jadi tidak bekerja demi diri semata tetapi demi suatu kehendak yang tersembunyi, demi suatu rahasia yang ada di belakang setiap tindakan kita, dan rahasia atau kehendak ini tidak lain dan tidak bukan adalah la semata. Setiap pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital untuk perkembangan hidup kita, karena akan membersihkan jiwa-raga kita, dan hal ini betul-betul merupakan suatu tindakan spiritual yang tidak disadari oleh pelakunya. Secara lambat laun pelaku yagna ini akan dijauhkan dari segala mara-bahaya dan hal-hal yang bersifat negatif, dan banyak hal-hal diluar dugaan dan pikirannya akan terjadi pada seseorang yang aktif dan tulus beryagna ini. Tetapi ingat ini bukan untuk digembar-gemborkan, tetapi harus dilakukan dengan tulus dan tanpa banyak cerita!
Yagna sebenarnya bukan untuk mendapatkan harta-benda duniawi, inilah kesalahan, sementara orang yang lebih aktif beryagna secara duniawi, tetapi lebih bersifat untuk melajukan seseorang ke arah Yang Maha Esa. Semakin banyak yagna kita yang spontan dan tulus sehari-hari semakin dekat kita kepadaNya dan menyatu denganNya. Dan pengorbanan ini bukan satu jenis saja, misalnya dalam gnana-yoga yang dikorbankan adalah ketidak-tahuan kita. Dalam karma-yoga yang dikorbankan adalah imbalan atau hasil kerja dan aktivitas kita. Dalam bhakti-yoga yang dikorbankan adalah keterikatan atas dua rasa atau sifat yang saling berlawanan seperti senang-susah, suka-duka, benci-cinta, panas-dingin, dsb.

11. Dengan yagna, atau pengorbanan, berikanlah kepada para dewa, dan para dewa akan memberikannya kembali kepadamu yang kau pinta. Dengan saling memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang Utama.
12. Dengan mendapatkan pengorbanan, para dewa akan memberkahimu dengan yang kau pinta. Dan barangsiapa yang menerima berkah dari para dewa tanpa berkorban kembali kepada mereka adalah betul-betul seorang pencuri.
Di salah satu kitab suci Hindu Kuno yang disebut Vishnu Purana, dapat kita baca suatu kisah di mana para dewa menurunkan hujan kepada manusia yang melakukan upacara korban kepada dewa-dewa ini. Hal yang sama masih kita lakukan juga pada waktu-waktu tertentu dewasa ini di mana ada kepercayaan agama Hindu. Para dewa ini sebenarnya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi pelindung atau partner dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja dewa-dewa ini dengan tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada dewa-dewa ini. Dengan ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa dan manusia demi langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya. Para dewa tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi juga dapat dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau untuk meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi ingat dari dewa untuk dewa, dari Yang Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap tindakan untuk Yang Maha Esa berarti lebih dekat lagi denganNya. Juga terdapat makna lain dari pengorbanan ini yaitu, agar apa yang kita lakukan itu hasilnya dapat kita bagi juga untuk yang lainnya dan tidak hanya untuk diri sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis: "Seseorang hanya memakan dosa, sekiranya la memasak untuk dirinya sendiri!"
Sekiranya sewaktu kita makan, alangkah baiknya kalau dimulai dulu dengan doa dan kita serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan kemudian kita bagi juga bagi sesama makhluk lain, misalnya dengan membuang sedikit nasi yang kita makan untuk semut-semut di halaman rumah, atau untuk anjing dan kucing piaraan di rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan dibagi kepada fakir-miskin atau orang lain yang membutuhkannya. Memberikan sesuatu yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang lain yang membutuhkannya. Dan ingatlah setiap orang yang kikir selalu kehilangan sebagian dari harta-bendanya atau kebahagiannya karena hukum alam akan berlaku atas orang yang berlebih-lebihan miliknya baik itu dalam bentuk materi atau yang bersifat abstrak seperti pikiran atau rasa.
13. Mereka yang baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari yang telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari dosa-dosa. Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka makan hanyalah dosa!
Dengan membagi makan atau kelebihan harta-benda kita kepada sesamanya yang membutuhkannya dan menyerahkan setiap tindakan dan posesi kita kepadaNya, maka lambat laun akan terjadi proses pembersihan dan pemurnian diri kita pribadi.
14. Dari makanan terbentuklah makhluk-makhluk, dari hujan terbentuklah makanan; hujan terbentuk dari yagna atau pengorbanan; dan pengorbanan lahir dari aksi (karma).
Di sini terlihat bahwa roda kosmik berputar secara sistimatis berdasarkan yagna atau pengorbanan. Dengan ini kita seharusnya sadar bahwa betapa besarnya sebenarnya nilai dari suatu yagna atau amal yang tulus, yang demi Ia semata-mata tanpa mengharapkan pahala atau pamrih.
15. Ketahuilah oleh dikau bahwa karma (aksi) timbul dari Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang Tak Terbinasakan). Jadi Sang Brahma yang selalu ada selalu hadir pada setiap pengorbanan.
Dunia diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang Brahma) dengan penuh pengorbanan besar yaitu dirinya sendiri. Tangan-tangan dan kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam semesta). Berkat pengorbanan inilah dunia diciptakan dan berkat pengorbanan-pengorbanan dari berbagai dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan, manusia-manusia suci sepanjang masa, maka dunia ini sampai sekarang masih bisa bertahan. Lihatlah di sekitar kita, kalau ada yang berbuat jahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik untuk menetralisir keadaan ini. Ini berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap pengorbanan yang mengorbankan dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha menstabilkan alam dan unsur-unsur yang ada di alam ini sendiri.
16. Seseorang yang hidup di dunia ini tanpa mau menggerakkan roda-roda pengorbanan, adalah seorang yang penuh dengan dosa dan nafsu-nafsu duniawi. Orang semacam ini, oh Arjuna, hidup secara sia-sia.
Seorang yang hidupnya adalah untuk diri-pribadinya sendiri, sebenarnya kehilangan nilai-nilai kehidupan yang berarti. Yang rugi sebenarnya adalah dirinya sendiri.
17. Tetapi seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya sendiri, yang merasa cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya untuk orang semacam ini sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Seseorang yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian di dalam Sang Atman (Jati Dirinya sendiri), yang bersemayam di dalam dirinya sendiri, tidak perlu menyelesaikan pekerjaannya, ujar Sang Kreshna penuh makna. Maksudnya di sini bukan lain orang semacam ini lalu bermalas-malasan tanpa kerja. Tetapi semua aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang membahagiakan dan menimbulkan rasa damai baginya, karena ia berpikir sebagai alat ia dipakai oleh Yang Maha Kuasa, dan setiap pekerjaan atau problema bukanlah jadi beban lagi tetapi kewajiban yang ditunggu-tunggu olehnya. Secara mental ini berarti sama saja tidak ada pekerjaan untuknya semata. Bukankah Yang Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya sendiri untuk menjadi seorang manusia, yaitu Sang Kreshna agar dapat secara langsung dan pribadi mengajarkan Bhagavat Gita kepada kita semuanya. Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi yang telah menemukan Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang Atman sesuai dengan kehendakNya.
18. la tidak punya kepentingan pribadi di dunia ini baik ia melakukan sesuatu maupun ia tidak melakukan sesuatu. la tidak bersandar kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan) sesuatu dalam hidupnya.
Orang yang telah mencapai taraf kejiwaan ini benar-benar adalah seorang manusia yang amat bebas hidupnya. Baik ia melakukan sesuatu maupun tidak, ia tidak pernah merasa rugi atau untung karena tindakan itu, benar-benar alat sifat dan statusnya, karena semua tindakan tidak disangkut-pautkan dengan pribadinya. la bebas dari segala beban duniawi dan tidak bersandar pada siapapun maupun pada suatu keadaan atau benda-benda dan sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang Maha Esa semata. Baginya sehari-hari apa saja yang dimakan atau disandangnya walau hanya sedikit sudah terasa amat cukup. Hidupnya sudah menyatu dengan Yang Maha Kuasa, dan segala kejadian-kejadian duniawi seperti huru-hara, peperangan, musibah dan lain sebagainya, walaupun di perhatikannya secara manusiawi sekali sebenarya tidak lagi berpengaruh terhadapnya. Tanpa disadarinya maupun disadarinya lepas sudah kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya terhadap Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak sama saja baginya, tetapi ia akan selalu bekerja terus tanpa henti dan tanpa pamrih, karena setelah mengenal Sang Atman, ia akan sadar bahwa semua adalah satu, dan apapun yang dilakukannya atau dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia semata.
19. Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan kewajibanmu tanpa rasa keterikatan, karena dengan bekerja tanpa pamrih seseorang akan mencapai Parama Yang Tertinggi.
Bekerjalah selalu tanpa pamrih, inilah pesan inti dari Bhagavat Gita yang tidak bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sang Kreshna bagi kita semua. Dengan dedikasi yang berkesinambungan, yang secara konstan dilakukan oleh seseorang terhadapNya, maka suatu saat pasti orang atau pemuja ini akan mencapai kebenaran Yang Sejati, Yang Tertinggi sifatnya. Janganlah ragu dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, mereka yang bekerja secara murni untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang diperolehnya. Orang semacam ini tidak akan memaksakan suatu pekerjaan tertentu, tetapi selalu akan bekerja sesuai dengan kehendakNya, dan bekerja tanpa keterikatan akan sukses atau tidaknya pekerjaan itu, bahkan tanpa pamrih. Dan bekerja tanpa pamrih ini akan melepaskan kita dari ikatan-ikatan duniawi ini, dan bebaslah kita sesungguh-sungguhnya bebas.
20. Janaka dan juga yang lain-lainnya benar-benar mencapai kesempurnaan dengan bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan dasar kesejahteraan dunia ini.
Raja Janaka Dari Mithila, adalah seorang raja yang amat kaya-raya dan agung sifatnya. la juga adalah seorang karma-yogi yang ideal, karena ia memerintah kerajaannya demi Yang Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya pribadi. la berhasil menguasai egonya dan pernah berkata, "Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada sesuatu pun punyaku yang hilang." Raja Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir hayatnya karena ia merasa bekerja demi yang lainnya dan menjadi contoh atau model untuk raja-raja yang lainya agar bekerja demi Yang Maha Kuasa semata. Suatu saat kemudian Sang Raja ini mencapai kesempurnaannya dengan bekerja terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa. Boethius seorang filsuf Barat pernah berkata: "Seseorang tak akan pernah pergi ke sorga kalau hanya ia sendiri yang ingin ke sana."

21.Apapun yang dilakukan oleh seorang pemimpin, maka masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan meniru sama kaidah-kaidah yang dilaksanakan oleh pimpinan itu.
Masyarakat selalu cenderung untuk meniru tingkah-laku dan kehidupan seorang pemimpin bangsa. Seandainya seorang pemimpin atau pemuka masyarakat bertindak religius, bijaksana, rendah-hati, hidup sederhana dan tidak serakah pada kekuasaannya, maka masyarakat akan menghormatinya dan bertindak sama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tetapi seandainya seorang pemimpin mulai bertindak serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya, memerintah dengan angkara-murka, dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan para bawahan-bawahan menteri sampai ke pamong-praja dan masyarakat akhirnya, akan bertindak sama. Karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan oleh sang pemimpin, yang lambat laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa oleh para pelaku-pelakunya.
22. Tidak ada sesuatu apapun di ketiga loka ini yang Kukerjakan, oh Arjuna, atau pun ingin mencapai sesuatu yang belum tercapai, tetapi Aku selalu aktif bekerja.
Yang Maha Kuasa sebenarnya tidak perlu bekerja untuk menunjang alam semesta ini beserta seluruh isinya, tetapi la memberikan contoh yang baik dengan menitis menjadi Sang Kreshna dan mengajarkan Bhagavat Gita kepada manusia agar jalan lurus ke arahNya.
23. Karena, kalau Aku tidak aktif, maka mereka-mereka yang aktif dan penuh pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna!
Sekali lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang amat agung, agar mereka-mereka yang bekerja demi dan untukNya semata makin aktif saja untuk bekerja demi sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di sini terlihat bahwa Bhagavat Gita tidak menganjurkan siapa saja untuk berdiam diri tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa. Tetapi sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi harus tanpa pamrih.
24. Seandainya Aku berhenti bekerja, maka dunia ini akan runtuh, dan Aku jadi penyebab kekacauan, dan semua manusia-manusia ini akan binasa.
25. Ibarat seorang bodoh yang bekerja demi hasilnya, oh Arjuna, maka seyogyanyalah seorang yang bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa pamrih, dan dengan tujuan untuk kelangsungan hidup di dunia ini.
Kontradiksi antara yang bodoh (jurang pengetahuannya) dan yang bijaksana jelas sekali di sloka atas ini. Yang pertama bekerja demi suatu motif dan untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang bijaksana bekerja tanpa pamrih dan untuk sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.
26. Janganlah seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran mereka-mereka yang terikat kepada pekerjaan mereka. Tetapi bertindaklah berdasarkan ilmu pengetahuan ini sesuai dengan kehendakKu dengan begitu memberikan inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak yang betul.
Jangan mengusik atau mengkritik mereka-mereka yang terikat pada kehidupan dan pekerjaan mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang dari hati-nurani mereka sendiri. Kewajiban seorang yang bijaksana adalah memberikan contoh-contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan begitu menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau hidup ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk kepentingan diri pribadi sendiri. Dengan bertindak begitu seorang yang bijaksana akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kehendak Yang Maha Kuasa yang tak pernah memaksakan kehendak atau keinginanNya untuk diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk memuja atau tidak memujaNya, untuk berperi-laku baik atau buruk.
Jangan sekali-kali kita meremehkan kepercayaan orang-orang lain, apapun kepercayaan dan keyakinan mereka, bahkan seharusnya kita harus menghormatinya dan kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang Maha Esa dan bertugas demi Yang Maha Esa. Setiap simbol yang dipuja atau tindakan atau kepercayaan seseorang sebenarnya merupakan suatu proses atau tindakan atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha Esa juga, tetapi karena "kebodohan" seseorang maka ia berjalan atas konsep atau pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah kekuatan Yang Abadi juga. Dan setiap individu ini suatu saat secara perlahan tetapi pasti akan menuju ke Yang Maha Esa juga. Jadi sebaiknya seorang yang bijaksana memperbaiki dan membantu mengarahkan orang-orang ini ke jalan yang benar, dan tidak sekali-kali memaksa atau menertawakan kepercayaan orang lain.
27. Sebenarnya semua tindakan (aktifitas) dilakukan berdasarkan sifat-sifat alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh dengan rasa egois (ahankara) akan berpikir: Akulah yang melakukannya."
28. Tetapi seseorang, oh Arjuna, yang sadar benar akan perbedaan antara Sang Jiwa dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat alam ini, tak akan terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang bekerja sebenarnya adalah sifat-sifat alam ini.
Seseorang yang bijaksana sadar bahwa Sang Atman (yang bersemayam di dalam diri kita), tak akan tercemar oleh pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang tersebut. Seperti juga halnya Sang Atman ini tidak dapat dibakar, dibunuh atau dihancurkan. Orang bijaksana ini pun sadar bahwa yang bertindak dengan aktif sebenarnya bukan Sang Atman tetapi adalah ketiga sifat alam yang disebut guna, dari Sang Prakriti. Sedangkan seseorang yang tidak bijaksana atau yang kurang pengetahuannya merasa semua tindakan yang dilakukannya berasal dari dirinya semata. Secara sadar seorang yang bijaksana mengorbankan segala tindakannya kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia akan selalu bekerja melawan segala dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih dan dapat lepas dari segala kegelapan, penderitaan dan kekotoran duniawi ini. Jalan ini menuju ke jalan "tanpa-pamrih." Karena seseorang yang bijaksana sadar bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman tetapi sifat-sifat prakriti yang menimbulkan berbagai ragam aktivitas atau tindakan. Sifat berinteraksi dengan sifat, dan benda berinteraksi dengan benda, Sang Atman sendiri selalu teguh sebagai saksi.
29. Mereka-mereka yang di dalam kegelapan akibat sifat-sifat alam ini terikat pada pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat ini. Seorang yang sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran seseorang lain yang hanya mengerti sebagian kecil.
Seseorang yang bijaksana akan membantu tanpa pamrih kepercayaan atau tindakan positif orang lain yang kurang mengerti ini, dan tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan dalam hati orang yang ditolongnya ini. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik seseorang yang bijaksana akan membantu orang yang lain sesuai pengabdiannya kepada Yang Maha Esa.
30. Serahkan semua tindakan-tindakanmu kepadaKu, dengan pikiran-pikiranmu bersandar pada Yang Maha Esa, lepas dari segala kemauan dan egoisme, sadarlah dari penyakit (mental) mu, berperanglah dikau, oh Arjuna!
Dengan menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala tindakan-tindakan kita kepada Yang Maha Esa, maka seyogyanyalah seseorang berdoa kepadaNya agar Ia memberkahi alam semesta beserta segala isinya ini dengan segala karuniaNya. Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi berkorbanlah selalu demi sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada hakikatnya. Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa yang penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya karunia Ilahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan semua yang menjadi milikmu, apapun bentuknya, baik secara mental maupun harta duniawi dan sadarlah bahwa Ia juga yang hadir di setiap benda dan makhluk di alam semesta ini, dan Yang Maha Esa pun akan turun kepada diri kita dan lengkaplah lalu diri kita ini. Dalam setiap tindakan selalulah berdoa, "Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa."

1. Barangsiapa menjalankan ajaran-ajaranKu ini penuh dengan kepercayaan dan lepas dari mencari-cari kesalahan (ajaran ini) maka mereka juga akan lepas dari keterikatan kerja.
32. Tetapi mereka yang mencari-cari kesalahan dalam ajaranKu ini dan tidak bertindak seharusnya; ketahuilah mereka-mereka ini buta tentang kebijaksanaan, sesat dan tak berpikiran sehat.
Bhagavat Gita mengharuskan kita untuk menjalankan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini dengan konsekuen dan penuh kesadaran, bukan dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran ini. Bukan juga dengan menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi tertentu. Mengetahui saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus dihayati, dipraktekkan dan dipelajari secara tekun dan berulang-ulang karena selalu merupakan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya bagi diri kita, dan kemudian selalu diamalkan untuk sesamanya. Tidak berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini lambat laun malahan akan menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau ajaran Sang Kreshna ini.
33. Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai dengan sifat-prakritinya. Setiap makhluk mengikuti sifat-sifatnya masing-masing. Menentang sifat-sifat ini tidak akan berarti apa-apa!
34. Keterikatan dan rasa-dualistik yang bertentangan pada obyek-obyek selalu hadir di setiap hal. Janganlah seseorang terbius oleh kedua hal ini. Karena kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam perjalanannya,
Adalah kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang dominan. Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu dikaitkan dengan keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering misalnya kita menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai kewajiban-kewajiban tertentu karena terasa tidak menyenangkan untuk dikerjakan. Semua ini dapat di atasi secara lambat laun kalau mau kita mendisiplinkan dan belajar secara bersama dengan orang-orang lain tentang hal-hal yang spiritual dan dengan penuh dedikasi bertindak dan melihat kedalam diri kita sendiri, Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu kekuatan yang dinamik. Memang betul dalam kehidupan ini prakriti memainkan peranan yang amat penting dan kuat pengaruhnya pada kita semua, tetapi selama kita mau menceburkan diri di dalamnya dan mau terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan terbenam di dalam prakriti ini. Tetapi sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran untuk mengatasinya. Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti ini, karena sukar untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita yang terbenam ini menjadi ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi masih dengan prakriti juga karena memang tidak bisa lepas darinya selama kita masih hidup, tetapi sudah tidak terseret lagi tetapi malahan berlayar dengannya sampai ketujuan. Sekali sudah menyeberang maka selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu mengibaratkan prakriti, sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak perlu ditentang tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita, yaitu Yang Maha Esa.
Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita yang harus dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga, kuasailah rasa dualistik seperti suka dan tak suka. Organ-organ sensual atau indra-indra kita dapat dikalahkan oleh tekad yang kuat. Tetapi jangan menelantarkan atau menjadikan indra-indra kita ini lapar. Tanpa terganggu oleh rasa dualistik ini, yang hadir dalam berbagai bentuk apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu. Kita bukanlah boneka-boneka ditangan sang prakriti. Prakriti hanya bisa menghambat kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita kecuali itu mau kita sendiri. Setiap orang memang hanya bisa mengikuti alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi seyogyanyalah seseorang meneliti dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja yang dimilikinya, karena setiap manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi negatif dan positifnya. Kembangkanlah yang positif dan kurangilah yang negatif. Sia-sia saja melawan semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu, kemudian merubahnya secara perlahan tetapi pasti.
35. Lebih baik mengerjakan kewajiban atau pekerjaan (svadbarma) seseorang, walaupun mengerjakannya kurang sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun pelaksanaannya sempurna. Lebih baik mati dalam mengerjakan kewajiban seseorang. Mengerjakan kewajiban orang lain itu penuh dengan mara-bahaya.
Adalah lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang sudah jadi kewajiban kita walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak sempurna, daripada melakukan kewajiban orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya mungkin sangat sempurna. Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah sesuatu hal yang agung dan sebaliknya dharma yang seharusnya menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita, seandainya kita memaksakannya juga. Jadi seorang yang bersifat brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya, dan begitupun sebaliknya.
Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi-rendahnya nilai suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya. Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri, dan secara spiritual berkatanya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga. Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah dengan bijaksana. Jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.
Berkatalah Arjuna:
36. Oleh sebab apakah seseorang tertarik untuk berbuat dosa padahal itu bertentangan dengan pikirannya, oh Kreshna, seakan-akan dihela oleh daya yang amat kuat?
Arjuna bertanya seperti juga yang sering kita tanyakan pada diri-sendiri maupun kepada guru-guru kita, mengapa seseorang berbuat dosa padahal di dalam hatinya mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut? Apa yang ada dibalik semua rahasia ini? Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang dahsyat yang menarik manusia untuk terjerumus ke dalam dosa. Apakah manusianya yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak terlihat oleh mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan?
Dalam jawabannya di sloka-sloka mendatang, Sang Kreshna menunjuk bahwa manusia ini sebenarnya bukan mesin-otomatis. Dharma atau kewajiban seseorang telah digariskan berdasarkan kehidupan atau karmanya semasa lampau. Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi, pedagang, tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada fakir-miskin, dan sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus menemukannya sendiri sesuai dengan bisikan hati nurani kita. Sedangkan kesucian atau perbuatan dosa seseorang, kedua hal ini tidak digariskan, jadi terserah kepada orang atau individu yang bersangkutan untuk memilihnya sendiri, mau berbuat dosa atau hal yang baik-baik saja. Memang karma dan kehidupan sebelumnya akan cenderung untuk menentukan jalan yang kita pilih, tetapi Yang Maha Kuasa pun memberikan kita kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini dapat menentukan jalan apa yang harus kita ambil. Kalau seseorang maunya tersandung terus, lama kelamaan ia harus jatuh juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan lurus, ia tak akan pernah jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih berhati-hati selanjutnya.
Arjuna bertanya, "mengapa seseorang berbuat dosa padahal belum tentu ia mau melakukannya," Sebenarnya hal tersebut tidak benar, setiap orang yang berbuat dosa sebenarnya di dalam hatinya sudah kalah lebih dahulu dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya, baru kemudian ia terjerumus ke dosa itu. Seseorang yang dasarnya memang terikat-erat pada benda-benda dan nafsu-nafsu duniawi ini akan mudah jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya jika ia penuh tekad untuk bertindak suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka ia akan menang. Dengan kata lain semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
37. Keinginan (kama), kemarahan (krodha), yang lahir dari rajoguna (berbagai ragam nafsu dan keinginan), semua ini serba penuh dengan keserakahan dan penuh dengan pencemaran. Inilah musuh kita di bumi ini.
Ada dua musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu: kama atau nafsu dan keinginan, dan yang kedua kemarahan (krodha). Kedua-duanya ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya adalah musuh yang mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah terhadap mereka!
Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang duniawi yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya pikiran selalu terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan ini, maka akan timbul suatu pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan nafsu atau keinginan kita, kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek tersebut dan, menguasainya secara total, dan jatuhlah kita ke dalam cengkraman sang Maya. Dan seandainya sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai atau kita tidak puas akan hasil yang tercapai, maka akan timbul rasa amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak terkendali dapat menghancurkan segala-galanya. Cara yang terbaik untuk keluar dari cobaan kama ini adalah dengan mengembangkan tekad kita ke jalan yang penuh disiplin dan dedikasi kepada Yang Maha Esa. Bekerja aktif sesuai kewajiban kita kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad itu sendiri, dan tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri kita.
38. Seperti bara-api yang terbungkus oleh asap, seperti cermin yang terlapis oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus oleh kulit perut--- begitu juga ini terbungkus oleh itu.
Asap selalu melingkup bara-api, debu selalu menutupi permukaan kaca atau cermin, dan sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit perut ibunya semasa ia masih belum dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus Sang Atman kita sehingga tak nampak cahayaNya dari luar.
39. Kebijaksanaan, oh Arjuna, juga terbungkus oleh api nafsu yang tak terpuaskan ini yang jadi musuh tetap orang-orang yang bijaksana.
Nafsu atau kama yang lapar dapat menjadi musuh dari mereka-mereka yang bijaksana, karena sering sekali nafsu ini dapat menutupi sinar Sang Atman yang bersemayam di hati seseorang yang tidak kuat imannya. Salah satu ucapan Sang Manu (manusia pertama) yang terkenal adalah: "Nafsu tidak pernah puas oleh obyek-obyek sensual yang didapatkannya. Semakin banyak yang dicapainya semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api yang tersiram minyak."
40. Indra-indra, pikiran dan intelegensia (buddhi) adalah tempat-tempat nafsu itu bersemayam. Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu menggelapkan sang jiwa yang ada di dalam tubuh.
Apa saja yang dilakukan oleh kama? Kama atau nafsu ini mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita, kemudian kama ini meruntuhkan benteng pikiran kita dan kemudian masuk ke daerah buddhi (intelegensia) dan menghancurkan kekuatan batin dan tekad kita. Seorang yang bijaksana akan selalu menjaga baik-baik gerbang indranya dari segala cobaan. Setiap kenikmatan indra kita baik itu dari mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun sedikit sebaiknya menjadi lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang musuh yang akan menyelip masuk di saat-saat kita lengah. Begitu kama menguasai segala indra-indra kita, pikiran kita dan ratio kita, maka seseorang akan menuju ke arah kehancuran dirinya. Itulah nafsu yang telah menghancurkan banyak pahlawan-pahlawan besar, orang-orang bijaksana yang tercatat dalam sejarah baik di Asia, Eropa maupun di mana saja di dunia ini.

41. Seyogyanyalah, oh Arjuna, kendalikan indra-indramu dan bantailah nafsu berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana,
Gnana dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab yang lalu dengan berbagai arti. Disini yang penting adalah bahwa jalan pikiran kita harus bersih dan murni dalam setiap tindakan yang kita ambil. Jalan pikiran atau buddhi kita harus dikendalikan dengan baik,atau sang nafsu keinginan akan segera menghancurkan pengetahuan dan kebijaksanaan (gnana dan vignana) yang telah kita bina sedikit demi sedikit.
42. Indra-indra kita itu besar kadarnya. Tetapi pikiran itu lebih besar kadarnya dibandingkan dengan indra-indra itu. Lebih besar lagi kadar buddhi. Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang Inti Jiwa kita).
Jadi bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan saja yang lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat. Lepaskan semua itu dan berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah seperti yang selalu dianjurkan Bhagavat Gita secara berulang-ulang yaitu: Jangan sekali-kali jatuh pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan seperti suka-duka, senang-susah, dsb. Dan bertindaklah selalu dalam setiap hal karena rasa kewajibanmu kepada Yang Maha Esa semata. Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari tangga yang pertama yaitu indra-indra kita dulu, lalu ke pikiran kita, dan lambat laun dari buddhi ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa. Sekali kita tak terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih dari segala kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah jernih maka akan terjadi peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk menyatu dengan Yang Maha Pencipta.
43. Dengan mengetahui Dirinya (Sang Atman) lebih agung dari buddhi, maka kuasailah dirimu (strata yang lebih rendah) dengan Dirimu (Sang Atman, yang lebih tinggi). dan bunuhlah musuhmu yang bernama nafsu ini, musuh yang sukar untuk dikalahkan.
Musuh dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja, tetapi juga harus dihancurkan. Kalau tidak ia akan kembali sewaktu ia kuat lagi untuk menyerang kita. Maka jangan sekali-kali lengah begitu anda mengira bahwa anda sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar untuk dikalahkan. Pasrahkan dan serahkan dirimu kepadaNya dan bertindaklah selalu tanpa pamrih; tanpa suatu usaha atau tindakan yang positif maka hidup ini akan gagal. Yang harus diperhatikan dari sabda-sabda Sang Kreshna ini adalah bahwa sang musuh ini selalu hadir sebagai musuh dalam selimut dan akan menyerang kita di saat kita lengah atau merasa kuat. Bersatulah dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk membantai musuh nomor wahid ini, dan Ia akan menuntunmu ke jalan yang benar.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ketiga yang disebut Karma yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang tindakan (atau pekerjaan).

Bab 04 - Doktrin (ajaran) Rahasia


Berkatalah Yang Maha Pengasih:
1. Ilmu pengetahuan yang tak dapat habis ini Kusabdakan pada Vivasvan; Vivasvan menyabdakannya kepada Manu; dan Manu menyabdakannya kepada Ikshvaku.


2. Begitulah pada masa yang silam para guru (resi) agung mengenal ilmu pengetahuan ini, dari satu ke yang lainnya, tetapi dalam kurun waktu yang lama kemudian, ilmu pengetahuan ini hilang (dilupakan) dari dunia, oh Arjuna.

Sri Kreshna menyatakan di sini, bahwa Beliaulah Adiguru yang Pertama yang mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada mereka-mereka yang pantas menerimanya di masa-masa yang lampau. Yang pantas menerima disebut adhikari, dan adhikari yang pertama adalah Vivasvan (Batara Surya), Dewa Cahaya. Dari Vivasvan ajaran ini turun ke Manu (manusia yang pertama) yang dianggap menjadi cikal-bakal bangsa Aryan. Manu kemudian menurunkan ajaran ini kepada Ikshvaku, seorang raja Hindu di India pada masa yang amat silam. Ajaran sejati ini amat kuno sifatnya, tetapi amat relevan sampai masa kini, dan hanya diajarkan kepada para adhikari yang terpilih. Itu sudah suatu ketentuan spiritual Ilahi. Para guru atau resi-resi yang agung dan suci, para pemikir atau filsuf dan raja-raja di masa silam menjadikan ajaran ini sebagai pegangan hidup mereka, sampai suatu saat dimana manusia melupakan ajaran ini.

3. Dan yoga (ilmu pengetahuan) yang sama ini Kubukakan kepadamu hari ini, karena dikau adalah pemujaKu dan sahabatKu. Inilah rahasia yang amat agung sifatnya.
Berkatalah Arjuna:

4. Kelahiran Dikau berlangsung kemudian, sedangkan Vivasvan terlahir lebih awal. Lalu bagaimana mungkin daku dapat memahami bahwa Dikaulah yang pertama kali menyabdakan yoga ini pada masa awal dunia ini dibentuk?


Tentu saja Arjuna kebingungan, karena menurut pengetahuan duniawinya Sang Kreshna yang sebenarnya adalah pamannya sendiri berasal atau lahir pada kurun waktu yang sama dengannya, sedangkan Vivasvan atau Batara Surya lahir berjuta-juta tahun yang silam. Lalu bagaimana mungkin Sang Kreshna mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada Vivasvan pada awal mula terbentuknya sistim tata-surya itu. Sebagai balasan atas pertanyaan ini, Sang Kreshna pun mengajarkan mengenai inkarnasi (avatarvad) dalam ajaranNya yang agung di bawah ini.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:

5. Banyak kelahiran yang telah Kualami dan juga olehmu, oh Arjuna! Aku mengetahui semua itu, tetapi engkau tak pernah tahu akan kelahiran-kelahiran itu.


Kelahiran Sang Kreshna tidak seperti kelahiran manusia biasa, kelahiranNya bebas dari segala nafsu dan keinginan duniawi, dari segala karma dan selalu dimaksudkan untuk suatu tujuan yang agung dan suci, yaitu penyelamatan makhluk-makhluk dan dunia ciptaanNya. Sebaliknya jiwa manusia selalu dibatasi oleh hadirnya ketiga guna (sifat prakriti), dan akibatnya tak pernah bisa ingat akan masa atau kehidupannya yang lampau. Dilain sisi, raga kita ini harus menjalani karmanya. Tetapi bagi Yang Maha Esa, tak ada masa lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang. Baginya semua adalah sekarang, karena Ia hadir sepanjang waktu, dan kelahiranNya sebagai manusia atau makhluk di bumi ini selalu karena terdorong faktor KasihNya pada makhluk-makhluk yang harus dilindungiNya.

6. Walaupun Aku tak pernah dilahirkan dan DiriKu tak terbinasakan, dan walaupun Akulah Pencipta (Penguasa) semua makhluk; menghadirkan DiriKu kedalam SifatKu, Aku lahir melalui kekuatanKu.


Ia tak pernah lahir dan tak dapat dibinasakan. la juga Pencipta semua makhluk dan alam semesta ini, dan la juga yang mengendalikan Sang Maya dan bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas, dengan kekuatanNya semata. Yang Maha Pencipta ini sempurna dalam segala hal, tetapi mau juga Ia bereinkarnasi sebagai manusia yang sifat-sifatnya tidak sempurna dan penuh dengan keinginan-keinginan duniawi. Sebenarnya tidak pantas ditinjau dari sudut duniawi untukNya menjadi manusia tetapi Ia melakukannya juga demi makhluk-makhluk dan manusia yang dikasihNya. Inilah kebesaranNya.
Di dalam salah satu pustaka kuno Hindu yang disebut Bhagavatta dapat kita baca kelahiran Sang Kreshna sebagai manusia itu ibarat terbitnya bulan purnama di ufuk timur. Jadi seperti sesuatu episode yang sudah direncanakan secara khusus dan indah, dan bukan karena suatu efek karma.

7. Pada saat-saat dharma (kebenaran) turun ke titik yang rendah, dan kezaliman (tindakan adharma) menanjak mencapai puncaknya, maka Kuproyeksikanlah DiriKu.


Dikala adharma mengalahkan dharma, dan suatu saat manusia mencapai puncak dari kejahatannya, dan dunia penuh dengan kezaliman dan rasa keangkara-murkaan, maka Yang Maha Pengasih pun lalu memanifestasikan DiriNya, dalam bentuk manusia atau makhluk lainnya untuk kemudian meluruskan lagi jalannya Sang Dharma dengan ajaran-ajaran atau tindakan-tindakannya. Contoh-contoh ini banyak terdapat dalam pustaka-pustaka Hindu Kuno, seperti Sang Rama yang menghancurkan keangkara-murkaan sang Rahwana, dan lain sebagainya. Semua ini dilakukan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran moral secara total.
Dalam sloka ini Sang Kreshna mengucapkan kata, "Kuproyeksikan DiriKu . . . ," ini berarti Sang Kreshna atau Yang Maha Esa turun ke bumi ini, yang lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan tempat la bersemayam. Karena kasihNya kepada kita agar dapat bangkit lagi ke jalan yang benar, jalan dharma yang lurus dan suci. la turun sebagai titisan dari Sang Hyang Vishnu dari masa ke masa. Inilah Kasih-Ilahi yang selalu tulus untuk manusia dan segala makhluk-makhlukNya di alam semesta ciptaanNya ini. Om Tat Sat.

8. Demi membela kebaikan, demi hancurnya yang zalim, dan demi teguhnya kebenaran, Aku selalu lahir dari masa ke masa.


Ia selalu menghukum yang jahat dan yang zalim dari masa ke masa, tetapi hukumanNya ini pun penuh dengan hikmah, penuh dengan kasih-sayangNya, karena sebenarnya dengan menghukum ini Ia menginginkan agar mereka-mereka yang tersesat ini kembali ke jalan dharma yang lurus dan suci. Hukuman dariNya sebenarnya dapat disiratkan sebagai suatu karunia yang terselubung bagi yang berdosa. Karena seyogyanyalah setelah selesai menjalani masa-hukumannya maka seseorang seharusnya sadar dan kembali ke jalan yang benar. Bayangkan kalau seseorang tidak dihukum untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan-kesalahannya, atau dihukum secara abadi tanpa ampun, maka habislah harapan orang tersebut untuk bertobat atau kembali ke jalan yang benar.
Berbeda mungkin dengan ajaran-ajaran yang lain, maka dalam agama Hindu, Yang Maha Esa selalu hadir dari masa ke masa untuk menyelamatkan evolusi manusia ini dan mengarahkan lagi umat manusia ke jalan yang benar, baik itu dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Bhagavat Gita sebenarnya kalau ditelaah dengan baik adalah suatu ajaran yang penuh dengan harapan untuk mereka-mereka yang salah jalan; penuh dengan pengampunan dan Kasih-Ilahi yang tak terbatas. Om Tat Sat.

9. Barangsiapa mengetahui hal ini (Maksud Sang Kreshna: Kelahiran dan PekerjaanNya yang Suci ini) secara benar, maka ia tak akan lahir kembali setelah meninggalkan raganya, tetapi ia datang kepadaKu, oh Arjuna!

10. Bebas dari nafsu, ketakutkan dan kemarahan; penuh dengan DiriKu, berserah total kepadaKu, bersih oleh kebijaksanaan yang penuh disiplin dan dedikasi... maka banyak orang-orang semacam ini yang telah mendapat DiriKu.


Setiap menitis (atau reinkarnasi) misiNya sudah jelas, yaitu mengajak kita manusia untuk bersatu lagi dengan Yang Maha Esa, agar lepas dari beban lahir dan mati di dunia ini. Seseorang yang sudah lepas dari nafsu dan rasa amarah adalah yang jiwanya sudah penuh dengan Kenikmatan Ilahi. Orang semacam ini kalau melepaskan raganya akan lepas dari perputaran karma, dan langsung menyatu dengan PenciptaNya (madbhava magatah).

Sang Kreshna tidak saja lahir sebagai manusia, sering sekali Ia pun datang kepada kita pada saat-saat tertentu dalam hidup setiap individu yang membutuhkanNya, yang memujaNya secara tulus dan tanpa pamrih. Ia datang dan berbisik, menuntun ke arah yang benar, sering sekali jalan dan cara menuntunNya ini terasa aneh, misterius dan tak masuk akal, tetapi dibalik itu semua selalu tersembunyi hikmah dan akhir yang baik untuk sang pemuja ini. Bagi yang menyayangiNya dan yang disayangiNya maka bersihlah jiwa orang ini lambat laun dan akhirnya bersatu dengan DiriNya. Om Tat Sat.

1. Jalan apapun yang diambil seseorang untuk mencapaiKu, Kusambut mereka sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang di setiap sisi adalah jalanKu juga, oh Arjuna!


Jalan kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untuk mencapai Yang Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi setiap manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yang diinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan itu berdiri Yang Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan itu akan berakhir pada suatu ujung. Jadi tidak ada agama yang dibeda-bedakan oleh Sang Kreshna atau Yang Maha Esa, karena tujuannya baik, yaitu ke arahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salah mengartikannya.
Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang Maha Esa dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dan tidak ada alasan lain untuk merubah atau mempengaruhi orang yang beragama atau berkepercayaan lain untuk masuk ke agama Hindu. Seorang Hindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempat pemujaan agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuan yang Satu, yaitu jalannya Yang Maha Esa.

12. Mereka yang mengingini sukses di muka bumi ini memberikan pengorbanan kepada para dewa (dan merekapun mendapatkan imbalan dari para dewa), karena di dunia ini sesuatu tindakan itu cepat mendapatkan tanggapan (hasil).


Tidak semua orang mau maju ke arah Yang Maha Esa, banyak yang memuja para dewa agar dipenuhi keinginan duniawi mereka, dan para dewa ini pun segera memberikan tanggapan atau respons kepada para pemuja-pemuja mereka ini dan memenuhi permintaan mereka. Sebenarnya para pemuja ini secara tidak langsung dan tidak sadar memujaNya juga melalui proses yang panjang. Suatu waktu kemudian di dalam hati mereka nanti akan timbul suatu kesadaran akan perlunya Yang Maha Esa dan mereka pun mencari dan memujaNya secara tulus dan penuh kesadaran. Yang Maha Esa dalam Bhagavat Gita tidak melarang seseorang untuk memuja para dewa, karena para dewa juga datang dan berasal dariNya. Semua ini hanya merupakan suatu proses panjang dalam tahap-tahap evolusi kehidupan manusia itu sendiri, bermula pada pemujaan kepada para dewa untuk maksud-maksud tertentu dan setelah itu berakhir dengan kesadaran penuh dan tulus bahwa seharusnya yang dipuja adalah Yang Maha Esa itu sendiri tanpa perlu melalui jalan yang panjang. Seharusnyalah Bhagavat Gita menyadarkan kita semua agar tidak lagi melalui dedikasi yang tulus, sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini kita bisa langsung menuju ke arahNya.

13. Kuciptakan keempat sistim kehidupan (chaturvarnyam), sesuai dengan pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma (aksi dan kerja). Walaupun Aku yang mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapi ketahuilah bahwa Aku tidak bekerja dan tak pernah berganti-ganti (sifat).
Keempat varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih menjadi seorang buruh. Semua ini sebenarnya adalah manifestasi dari karma, pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra, dan semua ini bukanlah seperti anggapan atau tradisi yang salah yang berlaku selama ini, yaitu seorang ditentukan kastanya karena status atau garis keturunnya, tetapi kastanya ditentukan kemudian setelah ia menentukan dengan sadar garis dan tujuan hidupnya dan sebagai apa ia akan bekerja sesuai dengan bakat dan kemauannya yang sejati.
Sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat. Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan orang-orang luar. Di satu pihak orang-orang Hindu menjunjung tinggi nilai-nilai Sang Atman dan yakin terdapat satu Atman yang sama di dalam semua makhluk, di lain sisi banyak orang Hindu yang memutar-balikkan fakta-fakta tentang kasta ini dan menimbulkan diskriminasi sosial yang rawan. Sistim yang sebenarnya diciptakan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat ini seharusnya dijalankan secara sejati dengan membiarkan seseorang untuk memilih profesi kesukaannya secara sama derajatnya dengan profesi-profesi lainnya. Konsep Sang Kreshna bukanlah meninggi atau merendahkan derajat seseorang tetapi secara demokratis membiarkan setiap individu berkehendak masing-masing. Karena bisa saja seseorang yang lahir dengan kasta Brahmana secara duniawi ini mempunyai jiwa patriotik dan ingin mengabdi sebagai seorang keshatria dan begitu pun sebaliknya. Semua manusia didasarkan pada karma, sifat-sifat prakriti dan jalan hidupnya, bukan berdasarkan pada sistim kasta yang diskriminatif, atau jenis kelamin yang berbeda. Yang Maha Esa sendiri di sloka ini menegaskan bahwa la sendiri walaupun sebagai pencipta sistim kasta ini tidak terlibat pada sistim ini maupun pada sifat-sifat prakriti.
14. Tidak ada tindakan yang dapat mengotoriKu; dan tidak pula Aku mengingini suatu imbalan dari suatu tindakan. Barangsiapa yang mengenalKu seperti itu tak akan terikat oleh karma (aksi).
Sang Kreshna menerangkan sebuah paradox di sloka ini, yaitu tanpa bekerja pun Ia tetap saja mampu menciptakan karma dan guna. Tetapi setiap tindakanNya tidak seperti tindakan manusia yang selalu mengharapkan sesuatu pamrih untuk setiap tindakannya. Bagi Sang Kreshna setiap tindakan adalah cetusan dari rasa Kasih-SayangNya terhadap manusia atau makhluk-makhluk lainnya. Dan tidak ada satu pun dari tindakanNya ini yang dapat mengikatnya ke jalur karma karena Ia memang tidak terikat oleh karma yang diperuntukkan untuk manusia dan makhluk-makhluk di dunia ini. Dan barangsiapa menyadari akan status Sang Kreshna yang unik ini, maka orang yang sadar ini akan lepas juga dari lingkaran karma (hidup dan mati) ini. Sebenarnya Yang Maha Kuasa adalah dasar dari setiap tindakan kita, tetapi di mata manusia Ia tak pernah terlihat bahkan sukar untuk disadari kehadiranNya di dalam diri kita karena kegelapan yang menyelubungi diri dan jiwa kita. Walaupun Ia bertindak melalui diri kita, Ia sendiri sebenarnya tidak terlibat atau terpengaruh oleh tindakan-tindakan ini, yang merupakan tindakanNya Sendiri.
15. Mengetahui akan hal ini maka orang-orang dahulu kala telah bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maka seyogyayalah dikau pun bertindak seperti orang-orang di masa silam ini.
16. Apakah aksi (tindakan) itu? Dan apakan tidak bertindak (akarma)? Kaum yang bijaksana pun kalut memikirkannya. Dengan ini akan Kuberitahukan kepadamu apakah aksi itu; dengan mengetahuinya engkau dapat terhindar dari dosa (kesalahan).
17. Seseorang seharusnya tahu apakah aksi itu (perbedaan antara satu aksi dengan yang lainnya), dan aksi apakah yang salah sifatnya (vikarma) dan apakah non-aksi (akarma) yang sebenamya.
Ketiga bentuk hal tersebut di atas harus diketahui secara benar agar tidak terjadi penyalahgunaan tindakan oleh yang tidak mengerti atau yang tidak mau mengerti dan memutar-balikkan ajaran-ajaran Sang Kreshna ini. Pekerjaan atau aksi apa saja yang benar dan harus dilakukan seseorang dalam hidupnya, dan apa saja yang harus dihindarkannya, dan bagaimanakah seseorang harus bertindak agar mencapai suatu bentuk aksi dalam non-aksi misalnya?
18. Seseorang yang melihat non-aksi di dalam aksi, dan aksi di dalam non-aksi, maka diantara manusia orang ini disebut bijaksana (buddhiman). Hidupnya penuh dengan keharmonisan (yutkah), walaupun ia selalu penuh dengan berbagai aksi (atau perbuatan dan tindakan).
Seseorang yang tenang ditengah-tengah aktivitasnya, dan aktif dalam ketenangannya adalah seorang yang bijaksana. Dalam setiap tindakannya ia selalu secara stabil dan tenang bersandar pada Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan untuk setiap pekerjaan atau tindakannya ia tak pernah mengharapkan sesuatu pamrih, jadi walaupun bekerja ia sebenarnya "tidak bekerja." Karena setiap tindakan atau perbuatannya sekecil apapun juga selalu menjadi sembahan bagi Yang Maha Esa, ia selalu melakukan pengorbanan atau pekerjaan demi dan untukNya semata (ini disebut yagna atau aksi yang sebenarnya).
Acapkali kalau kita naik kereta-api atau kendaraan lain, maka pepohonan di kiri dan kanan kita seakan-akan bergerak padahal yang bergerak adalah kendaraan yang kita tumpangi. Jadi yang nampak adalah ilusi. Sebaiknya kita pun dalam setiap tindakan kita berprinsip bahwa pekerjaan yang kita lakukan itu sebenarnya adalah ilusi, dan kita sendiri sebenarnya tidak bekerja.
Dalam aksi marilah kita lihat non-aksi, dan dalam non-aksi kita praktekkan aksi. Non-aksi (akarma) sejati tidak berarti tidak bekerja sama-sekali. Misalnya kalau ada tetangga yang amat miskin sedang membutuhkan sesuatu bantuan, dan walaupun ia tidak memintanya, seharusnya kita tidak diam-diam saja tidak berbuat sesuatu kalau memang kita mampu melakukan sesuatu untuknya; berdiam-diam saja tak mau tahu itu bukan non-aksi tetapi adalah vikarma (aksi yang salah). Akarma atau non-aksi yang sejati itu penuh dengan keharmonisan jiwa sang pelaku, orang semacam ini selalu nampak tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap tindakannya. Akarma yang sejati selalu penuh dengan kepasrahan total yang tulus kepadaNya, dan ciri-ciri khas dari tindakan akarma yang sejati ini selalu merupakan tindakan yang positif bagi sesamanya, walaupun secara duniawi bisa saja ia disalahkan. Tetapi secara moral tindakan manusia semacam ini selalu bermotifkan kemanusiaan yang agung sifatnya.
Raja Janaka dan Suka adalah contoh dari dua orang manusia agung di masa yang silam, yang betul-betul mempraktekkan ajaran ini, dan selalu melihat aksi dalam non-aksi dan non-aksi dalam aksi. Non-aksi yang sejati akan melepaskan diri seseorang dari semua nafsu-nafsu dan cinta duniawinya, juga dari rasa egoisme pribadi tanpa kehilangan tanggung-jawab untuk setiap kewajiban dan pekerjaannya. Inilah yang disebut pasrah total kepadaNya secara spiritual.
19. Seseorang yang bertindak bebas dari segala bentuk nafsu (kama sankalpa), seseorang yang setiap tindakannya terbakar bersih oleh api kebijaksanaan (gnana-agni) -- orang semacam inilah oleh orang-orang yang bijaksana, disebut seorang pandita (seorang yang suci, yang sadar akan pengetahuan yang sebenarnya).
Sankalpa adalah rasa egoisme, dan merupakan dasar dari kama dan nafsu. Pandit atau pandita adalah seorang yang bekerja demi dunia dan sesamanya (loka-sangraho) di dunia ini, dan hanya merasa cukup dengan apa yang didapatkannya untuk dirinya, sekedar untuk pakai dan makan saja, itu pun sebagai kelangsungan hidupnya demi Yang Maha Esa.
Gnana-agni adalah api ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan apakah itu ? Ilmu pengetahuan yang mengatakan bahwa setiap tindakan sebaiknya dikerjakan tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi dan berdasarkan pada penerangan Sang Atman yang ada dalam diri kita sendiri. Api dari ilmu pengetahuan ini akan membersihkan semua tindakan kita dan membunuh nafsu-nafsu duniawi kita yang selalu butuh imbalan atau pamrih. Pandita semacam ini amat bijaksana, karena ia melihat aksi dalam non-aksi. Raga dan pikirannya selalu bekerja demi Yang Maha Esa dan sesamanya, tetapi untuk dirinya sendiri ia tak pernah bekerja.
20. Seseorang yang telah menanggalkan rasa-keterikatannya pada setiap tindakannya, selalu merasa cukup dengan apa adanya, tidak bersandar pada orang lain, orang semacam ini tidak melakukan apa-apa walaupun ia selalu aktif bekerja.

21. Tidak mengharapkan apapun juga, hati dan dirinya terkendali, menanggalkan semua keserakahannya, dan bekerja dengan raganya saja - orang semacam ini tidak bertindak dosa.
22. Selalu merasa cukup dengan yang didapatkannya, bebas dari rasa dualisme yang bertentangan (dvandas), tanpa rasa iri atau cemburu, bersikap sama (balans) untuk setiap sukses atau kegagalan - walaupun ia bekerja ia tak terikat.
Orang semacam ini menerima apa saja dalam hidupnya dengan rasa tentram, tenang, damai dan selalu merasa cukup dengan apa adanya. Suka dan duka, sukses dan kegagalan, rugi dan untung, lahir dan mati, dianggap sama saja olehnya. Tak pernah ia merasa iri, dengki atau cemburu melihat kesuksesan atau kekayaan atau pun kejayaan orang lain. Baginya apa saja yang diberikan oleh Yang Maha Esa terasa cukup dan selalu ia haturkan terima-kasih kepadaNya untuk segala-galanya baik suka maupun duka. Semua tindakan orang semacam ini tak akan mengikatnya lagi ke dunia yang fana ini, karena orang semacam ini telah mendapatkan Karunia Ilahi yang tak terhingga dalam bentuk ketentraman batin dan spiritual.
23. Seorang yang keterikatannya telah mati, yang telah bebas dari duniawi (mukta), pikirannya telah teguh berdiri dalam kebijaksanaan, yang mengerjakan pekerjaannya sebagai persembahan -- maka mencairlah semua tindakan orang semacam ini.
Sang Kreshna berulang-ulang menekankan di Bhagavat Gita bagaimana seseorang dapat lepas dari kegelapan duniawi ini, yaitu dengan melakukan suatu atau setiap tindakannya berdasarkan rasa tanpa pamrih. Atau dengan kata lain semua pekerjaan yang kita lakukan haruslah berbentuk persembahan bagiNya. Rasa ego kita selalu mengatakan ini punyaku dan itu pekerjaan hasil kerjaku, sehingga yang tercipta selalu adalah suatu keterikatan duniawi, dimana kita sendiri terikat dengan ke-aku-an ciptaan kita sendiri. Padahal semua ini bukan milik kita, karena dari mana kita datang dan kemana kita akan pergi pun sebenarnya tidak ada manusia yang mengetahuinya secara pasti. Yang hadir hanyalah ilusi, dan tanpa kehendakNya tak ada yang mungkin bisa terjadi. Jadi sebaiknya secara sadar bekerjalah selalu secara aktif, tetapi jadikanlah pekerjaan itu sebagai suatu yagna (persembahan atau ibadah pengorbanan) baginya.
24. Seseorang yang terpikir bahwa tindakan pengorbanan itu Tuhan adanya. Yang dikorbankannya juga Tuhan. Dan oleh Tuhan pengorbanan itu dikorbankan ke Api Tuhan. Maka ke Tuhan jugalah pergi orang yang sadar akan Ketuhanan dalam pekerjaannya.
Sloka di atas ini merupakan suatu pesan yang amat dalam artinya. Secara amat sederhana dapat diartikan bahwa apa yang kita kerjakan, yang kita lihat, yang kita korbankan adalah Ia juga. Jadi semuanya di dunia ini berasal dari Ia, untuk Ia, dan oleh Ia. Jadi dalam segala hal sebenarnya hadir Yang Maha Esa, dan tanpa la tak ada apapun di dunia ini. Secara langsung menurut Bhagavat Gita, semua itu Ia juga adanya. Seorang yang secara sejati bekerja demi Yang Maha Esa akan dapat melihat fakta ini dalam setiap tindakannya. (Biasanya sloka di atas ini dipakai oleh orang-orang Hindu sebelum menyantap makanan mereka).
25. Sementara yogin (para pemuja) mempersembahkan sesajen kepada para dewa, (tetapi) ada juga sementara yogin yang mempersembahkan "diri" mereka ke Api nan Agung.
Ada pemuja-pemuja yang membakar sesajen di bara-api, menaikkan puja-puji bagi para dewa agar diberikan kepada mereka imbalan-imbalan tertentu. Tetapi ada juga pemuja-pemuja yang mempersembahkan ego diri mereka sendiri ke Api Abadi Sang Maha Kuasa (Sang Brahman). Para pemuja ini mempersembahkan semua tindakan mereka kepada Yang Maha Esa dengan tulus dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan. Mereka berkata terjadilah kehendakNya sesuai dengan kehendakNya.
26. Ada pemuja yang mempersembahkan pendengaran dan indra-indra lainnya ke api pengorbanan (menjauhi kontak-kontak sensual indra-indra mereka dari obyek-obyek indra-indra ini). Ada yang mempersembahkan suara dan obyek-obyek sensual mereka ke api indra-indra mereka.
Banyak pemuja yang mengorbankan pendengaran mereka dan juga indra-indra lainnya dari kontak-kontak sensual indra-indra ini dengan obyek-obyek kontaknya. Usaha ini sebagai disiplin pribadi mereka dalam mengekang atau mengendalikan kegiatan-kegiatan indra-indra mereka seperti mulut, hidung, kuping, dan organ-organ seksual mereka. Disiplin ini dimaksud untuk pemujaan kepada Sang Atman yang bersemayam di dalam diri mereka masing-masing.
27. Ada juga pemuja yang mempersembahkan semua tindakan-tindakan indra-indra mereka dan semua fungsi tenaga vital (prana) mereka ke api yoga pengendalian yang diterangi oleh ilmu pengetahuan (gnana).
28. Tetapi ada juga yang mepersembahkan harta-benda mereka atau, dengan menyakiti diri mereka sendiri, atau dengan disiplin yoga; sedangkan mereka yang mempunyai tekad (atau iman) yang kuat mempersembahkan pengetahuan dan ajaran mereka sebagai pengorbanan mereka.
29. Ada lagi mereka yang penuh dedikasi dalam pengendalian nafas (pranayama), yang mengendalikan jalan prana (nafas) yang dikeluarkan dan jalan apana (nafas yang dimasukkan), dan mengalirkan prana ke apana dan apana ke prana, sebagai persembahan mereka.
30. Ada lagi yang sangat membatasi makanan mereka dan mengalirkan nafas kehidupan (prana) mereka ke dalam prana mereka sebagai persembahan. Mereka semua ini tahu apa arti dari pengorbanan, dan dengan pengorbanan mereka menghapus dosa-dosa mereka.

31. Mereka-mereka yang memakan sisa-sisa makanan suci yang tersisa dari suatu persembahan (atau pengorbanan) akan mencapai Sang Brahman Yang Abadi (Tuhan). Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu pengorbanan, apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna.
32. Begitulah banyak ragam cara pengorbanan yang dipersembahkan dihadapan Yang Maha Abadi (cara-cara untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa). Dan ketahuilah dikau bahwa semua itu lahir dari tindakan (atau perbuatan). Dengan mengetahui hal ini dikau akan bebas.
33. Lebih baik dari pengorbanan materi adalah gnana-yagna, yaitu pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan, oh Arjuna! Karena semua tindakan, tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan (pengetahuan).
Sang Kreshna menyebut berbagai cara persembahan atau pengorbanan yang dilakukan manusia kepadaNya. Semua yagna ini timbul berdasarkan tingkat kesadaran manusia-manusia itu sendiri berdasarkan evolusi manusia itu sendiri dalam hidup ini. Setiap manusia berdasarkan sifat-sifat prakritinya membentuk varna (tujuan hidupnya sendiri) secara pribadi masing-masing dan kemudian mempersembahkan pengorbanan kepada Yang Maha Esa sesuai dengan kondisi-kondisi yang disandangnya ini.
Ada yang mengendalikan pendengaran mereka dengan tapasya (displin diri berupa tapa atau meditasi) yang ketat. Ada yang melepaskan semua selera-selera indra mereka dan menjauhi obyek-obyek duniawi ini. Ada yang mempersembahkan harta-benda mereka, ada juga yang mempersembahkan berbagai tindakan atau kegiatan spiritual seperti meditasi, swadhaya (membaca secara hening), ilmu, prananyama (pengendalian nafas), dan ada yang mengendalikan cara makan mereka dengan berpuasa atau berpantang sesuatu seperti daging atau benda hidup, dan lain sebagainya. Semua pengorbanan ini kalau dilaksanakan secara tulus akan mengantar seseorang ke arah jalan yang benar, dan semua pengorbanan ini merupakan tangga-tangga ke arah kebebasan karma-karma kita. Semua tindakan pengorbanan ini lahir dari karma (aksi) dan oleh orang-orang sadar banyak dilakukan untuk upaya pembersihan diri guna mencapai Yang Maha Esa. Dan barangsiapa dengan jujur, tulus dan tanpa pamrih bekerja demi Yang Esa maka lambat laun seluruh upaya-upayanya akan terpusat kepadaNya semata. Seluruh tindak-tanduk maupun perbuatannya kemudian akan dikerjakannya secara otomatis dan tanpa sadar demi Yang Maha Esa, dan sesudah itu secara sadar.
Tetapi pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan (gnana-yoga) adalah dianggap sebagai pengorbanan yang suci untuk Yang Maha Esa, dan pengorbanan ini nilainya lebih tinggi dan luhur dibandingkan dengan pengorbanan-pengorbanan bentuk lainnya. Tetapi jangan menganggap remeh atau rendah bentuk-bentuk pengorbanan yang lainnya, karena semua itu hanya merupakan tangga-tangga dalam evolusi seorang pemuja ke arah spiritual yang lebih tinggi sifatnya. Secara otomatis, bagi seorang pemuja yang tulus semuanya akan diatur olehNya.
Lalu pasti ada yang bertanya mengapa gnana lebih tinggi dari karma? Karena karma selalu menghasilkan imbalan atau pamrih, sedangkan gnana (pengetahuan atau kebijaksanaan) sekali tercapai akan menuju ke Yang Maha Esa, karena gnana yang lulus itu berdasarkan tanpa pamrih. Dalam kebijaksanaan terdapat kebaikan atau kebebasan dari duniawi ini untuk kita semuanya. Orang-orang bijaksana tak akan mcnyimpan ilmu pengetahuannya untuk dirinya saja, tetapi akan membagi-bagikannya kepada yang lain-lain agar tercapai kesentosaan untuk semuanya, dan semua itu dilakukannya tanpa pamrih. Karena sudah merupakan kewajiban orang-orang bijaksana ini untuk membantu sesamanya untuk menyeberangi lautan luas duniawi ini ke ujung pantainya Yang Maha Esa. Inilah gnana-yagna, yaitu pengorbanan agung dan suci ilmu pengetahuan sejati mereka demi Yang Maha Esa.
34. Pelajarilah kebijaksanaan dengan merendahkan-diri, dengan bertanya (studi) dan dengan bekerja demi seorang guru yang bijaksana). Orang-orang yang bijaksana yang telah melihat Kebenaran - akan mengajarimu dengan penuh kebijaksanaan.
Kebijaksanaan akan diajarkan oleh mereka-mereka yang telah mencapai kebijaksanaan ini, yang penting bagi seorang yang ingin mempelajarinya adalah dengan mengikuti tiga faktor berikut ini: pertama, harus memiliki rasa rendah-diri (pranipaia) dalam segala hal, dan ia akan dapat banyak belajar dari seorang guru yang bijaksana. Kedua disebut pariprashna, yaitu dengan studi atau penyelidikan yang seksama. la harus mencari sendiri kebijaksanaan ini dengan aktif dan dengan rajin mempelajari ajaran-ajaran para gurunya. Untuk mengerti sendiri arti dari kebijaksanaan ini haruslah menghayatinya secara pribadi. Ketiga, Seva, yaitu bekerja demi sang guru spiritual ini, yaitu sifatnya melayani segala kebutuhan hidup sang guru dengan bekerja untuknya tanpa pamrih, dan menganggap sang guru ini sebagai orang-tuanya sendiri yang harus diperhatikan segala bentuk kehidupannya. Seorang guru yang baik dan tulus sebaliknya akan selalu menolak bakti dari muridnya secara halus, tetapi sang murid harus sadar akan kewajibannya, karena inilah salah satu tangga dari bakti kepada Yang Maha Esa dan sesamanya di dunia ini.
Sebenarnya Guru yang sejati yang disebut Adhi Guru ada dan bersemayam di dalam diri kita masing-masing, tetapi sebagai manusia kita lebih condong kepada bentuk duniawi daripada mendengar suara hati nurani kita sendiri, sehingga selalu diperlukan seorang guru spiritual pada awalnya untuk kita semua agar kita dapat lebih memahami apa yang sedang kita pelajari. Pada tahap lanjut nanti seorang guru spiritual hanya berfungsi sebagai jembatan, dan mengantarkan kita ke Sang Adhi Guru yang sebenarnya tidak jauh berada dari kita semua.
Sebenarnya dalam kepercayaan agama Hindu, seorang yang tulus dan ingin menuju ke jalan Yang Maha Esa, tidak perlu kesana-kemari secara mati-matian untuk mencari seorang guru spiritual baginya. Yang penting adalah menyiapkan diri dan batinnya secara tulus dan memohon kepada Yang Maha Esa agar dituntun jalannya, maka pada bentuk seorang guru dan membimbingnya kearah Yang Maha Esa. Percaya atau tidak, tetapi seorang guru spiritual pasti akan datang atau bertemu sendiri dengan murid pilihannya sendiri pada suatu waktu yang tepat. Seorang pemuja yang tulus dengan ini bukan berarti lalu diam-diam saja; tidak, ia harus berusaha dengan tulus untuk menemukan guru ini, tetapi semuanya akan terjadi pada saatnya yang tepat. Kemudian kalau ini terjadi belajarlah sang murid dengan tulus dan penuh dengan kerendahan hatinya, dan pada suatu waktu yang tepat sang guru ini akan menurunkan kebijaksanaannya kepada sang murid ini. Ada guru-guru yang begitu luar biasa kharismanya sehingga dalam sekejap dapat membuka pintu hati sang murid dengan satu sentuhan spiritual saja. Semua ini tentunya berdasarkan persiapan mental yang tulus dari sang murid dan atas berkah Yang Maha Esa semata. Sebenarnya semuanya sudah diatur olehNya juga, tidak lebih dan tidak kurang. Om Tat Sat.
35. Dan setelah mengenal kebijaksanaan ini (gnana) dikau, oh Arjuna, tak akan jatuh lagi kedalam kekalutan. Karena dalam kebijaksanaan ini, dikau akan melihat semua makhluk, tanpa kecuali, berintikan pada Sang Atman, dan lalu dalam DiriKu.
Kebijaksanaan ini sebenarnya adalah ilmu pengetahuan spiritual, ilmu pengetahuan yang sejati yang membuka kenyataan tentang kesatuan antara kita dengan Yang Maha Esa. Kesatuan antara semua makhluk dengan Sang Atman, dengan jiwa kita, dengan Yang Maha Esa. Dan kalau suatu waktu kita betul-betul sadar sendiri akan kesatuan ini, maka tercapailah kesadaran-diri atau kesadaran akan hadirNya dan kesatuanNya Yang Maha Esa dengan diri kita.
Kebijaksanaan ini adalah melihat atau mengerti dalam arti yang sebenarnya, bahwa semua di dunia ini jatuh dalam satu garis atau suatu kesatuan, yaitu Yang Maha Esa. Kita tidak hanya harus percaya atau merasa atau mengerti, tetapi setelah mencapai kebijaksanaan ini seseorang akan melihat bahwa semua makhluk, benda, susunan kosmos atau alam semesta ini beserta seluruh isinya berada dalam suatu kesatuan yang Esa, yaitu kesatuan Sang Atman. Para ilmuwan mengatakan bahwa setiap benda ada dan bergerak di alam semesta ini. Seseorang yang sadar melihat bahwa setiap benda ada dan bergerak dalam suatu kesatuan Ilahi.
36. Walaupun dikau ini adalah seorang yang paling berdosa di antara mereka-mereka yang berdosa, tetapi dikau dapat menyeberangi semua dosa-dosa ini hanya dengan berperahu kebijaksanaan saja.
Kata-kata atau sabda Sang Kreshna ini penuh dengan pesan-pesan harapan bagi kita, manusia, coba bayangkan bahkan seorang yang paling berdosapun dapat langsung mencapai Yang Maha Kuasa dengan dedikasi yang tinggi. Kalau dipikir-pikir siapa di dunia ini yang tak pernah berdosa atau pernah sesat dalam hidupnya, dan tak seorangpun ini harus kehilangan harapannya, selama ia mau mengoreksi kehidupannya dan berjalan penuh dedikasi dan kesadaran kepadaNya. Ia akan mengangkat kita semua dari lembah dosa dan menuntun tangan kita kearahNya selalu. Semua rasa keterikatan duniawi adalah dosa, dan bukan saja keterikatan pada hal-hal yang tidak baik, tetapi keterikatan pada hal-hal yang dianggap baik seperti dharma itu sendiri, atau pada rasa egoisme yang dianggap positif. Seseorang yang merasa dirinya adalah orang berdosa. Jadi sebelum meneliti seseorang lain, sebaiknya hilangkan dulu rasa egoisme pribadi kita.
37. Ibarat api yang membara membakar kayu-kayu menjadi abu, oh Arjuna, begitu pun api kebijaksanaan membakar semua aksi (tindakan) menjadi abu.
Gnana (kebijaksanaan) membakar semua karma kita yang telah terkumpul maupun yang akan datang menjadi abu, maksudnya gnana itu begitu tinggi nilainya sehingga semua karma kita termasuk yang akan datang dapat tumpas karenanya. Dan hanya karma yang telah membuahkan hasil saja yang harus dilewati.
38. Sebenarnya tidak ada yang lebih menyucikan diri selain kebijaksanaan. Seseorang yang telah sempurna dalam yoga (ilmu pengetahuan)nya, akan menemukan kebijaksanaan ini di dalam dirinya sendiri -- Sang Atmannya, sesuai dengan waktunya.
39. Seseorang yang mempunyai iman dan telah bersatu dalam kebijaksanaan dan telah menguasai indra-indranya - ia akan mendapatkan kebijaksanaan ini. Dan setelah mencapai kebijaksanaan ini maka segera ia menuju ke Kedamaian Yang Abadi (Ketenangan Ilahi, dimana tidak ada kematian lagi.)

40. Tetapi barangsiapa yang tidak tahu, tidak memiliki kepercayaan, yang selalu ragu-ragu sifatnya, akan pergi ke kehancuran. Untuk seseorang yang ragu-ragu tak akan ada dunia ini atau dunia yang lebih tinggi iagi, bahkan baginya tidak ada kebahagiaan.
Kepercayaan yang sifatnya penuh dengan keragu-raguan pada yang akan menyesalkan seseorang dalam perjalanannya mencari kebenaran. Rasa ragu-ragu mengisi jiwa seseorang dengan keputus-asaan, dan terhambatlah sinar yang menerangi orang ini.

41. Seseorang yang telah menyerahkan semua aksi atau tindakan-tindakannya dalam yoga (bekerja tanpa pamrih), yang telah menebas keragu-raguannya dengan kebijaksanaannya, dan selalu memiliki Sang Atman (yang selalu dibawah raungan atau perintah Sang Atman) - maka untuk orang semacam ini tidak ada aksi yang mengikatnya, o Arjuna!
Seseorang yang sesuai dengan karma-yoga bekerja tanpa pamrih walau apapun statusnya dalam masyarakat, dan telah bulat tekadnya ke arah Yang Maha Esa, dan telah hilang sama sekali keragu-raguannya, maka orang semacam ini hanya bekerja demi Yang Maha Esa sesuai dengan bisikan Sang Atman; untuk yang telah mencapai status ini tak ada karma atau aksi yang mengikatnya. Orang semacam ini dikatakan telah mempersembahkan karmanya kepada Yang Maha Esa sebagai persembahan kasih-sayangnya pada Ilahi. Dan ia pun akan memiliki Sang Atman dalam dirinya secara sadar. Ia akan dituntun dalam segala aksinya, dijauhkan dari kegelapan duniawi. Secara benar dan sadar ia akan merasakan semua bisikan dan tuntunan Sang Atman di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu tahap yang sangat tinggi dalam kehidupan spiritual seseorang. Dan tidak ada lagi tahap yang lebih tinggi dalam kehidupannya sebagai manusia, karena ia telah mencapai status yang terpilih olehNya.
42. Dengan demikian, tebas dan buanglah jauh-jauh keragu-raguan dalam hatimu, yang timbul dari kekurang-pengetahuanmu, teguhkan dirimu dalam yoga (ilmu pengetahuan sejati) dan berdirilah, oh Arjuna!
Seseorang yang penuh dengan kebijaksanaan adalah seorang manusia yang bebas dan tak ada aksi atau tindakan yang dapat mengikatnya lagi, karena setiap ia bertindak ia selalu menyerahkannya kepada Yang Maha Esa secara sadar dan tulus; orang semacam ini telah menebas habis keragu-raguannya dengan imannya yang tebal terhadap Yang Maha Esa.
Pesan Sang Kreshna untuk Arjuna di atas ini sebenarnya berlaku untuk kita semua dan bermakna bangkitlah dan maju berperang, dikau prajurit-prajurit Yang Maha Esa, bangkitlah dan bekerja demi kewajibanmu sebagai seorang karma-yogi, bekerjalah tanpa pamrih. Adalah kewajibanmu (dharma) untuk berperang melawan angkara-murka, nafsu dan keinginan duniawi yang sebenarnya adalah kegelapan yang melilitmu dari jalan kembali ke Yang Maha Pencipta.
Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan yang abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keempat yang disebut Gnana Yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang Kebijaksanaan.

Bab 05 - Jalan Penyerahan

Page 1 of 3


Berkatalah Arjuna:
1. Dikau memuji karma-sanyasa (penyerahan total sesuatu aksi kepada Yang Maha Esa) oh Kreshna, dan juga Dikau menganjurkan bekerja secara benar (karma-yoga). Di antara keduanya ini yang manakah yang lebih baik? Beritahukanlah daku akan kepastiannya.


Arjuna mulai ragu-ragu lagi akan ucapan-ucapan Sang Kreshna dan dengan jujur ia mengemukakan keragu-raguannya ini kepada Sang Kreshna. Di bab-bab yang telah lalu, Sang Kreshna berbicara tentang gnana dan karma, yaitu tentang ilmu pengetahuan sejati dan tentang cara bekerja yang baik dan benar. Bagi Arjuna kedua hal ini nampak saling bertentangan sifatnya, karena baginya doktrin atau ajaran tentang ilmu pengetahuan yang sejati dianggapnya menganjurkan pekerjaan atau dharma yang benar. Bagi Arjuna ini nampaknya dua jalan yang berbeda, bagi Sang Kreshna kedua-duanya adalah sama. Tetapi bagi Arjuna rupanya semua keterangan Sang Kreshna terasa masih belum memuaskan batinnya, dan ia masih memerlukan pengarahan yang lebih pasti.

Kembali ke Sang Kreshna, maka kedua ajaran ini kalau dilakukan dengan benar dan tulus maka akan mengangkat si pemuja ke strata spiritual yang lebih tinggi, tetapi bagi Arjuna yang masih kurang pengetahuannya ini malahan merupakan tanda-tanya. Dan ini wajar sekali! Arjuna menanyakan apakah ia harus melepaskan karmanya sebagai seorang kshatria dan mengabdi seterusnya ke jalan sanyasa (ajaran Sankhya) atau ia harus bekerja sesuai dengan karmanya sebagai seorang kshatria dan berperang sampai tuntas (seperti ajaran yoga!). Yang mana yang harus dipilihnya? la menjadi ragu-ragu sendiri. Banyak orang-orang Hindu beranggapan bahwa kehidupan sanyasa (lepas dari segala aksi) dapat menghasilkan kebebasan. Dan dalam hal ini Arjuna berpikir kalau ia tetap jadi seorang kshatria maka ia akan terhambat dalam perjalanan spiritualnya, dan ia bersiap-siap untuk berubah haluan menjadi seorang sanyasin (pertapa), tetapi sebelumnya ia ingin minta kepastian dulu dari Sang Kreshna, Sang Adhi Guru.
Berkatalah Sang Maha Pengasih:


2. Sanyasa (lepas dari segala aksi) dan karma-yoga (bekerja tanpa pamrih), kedua-duanya menuju ke Yang Maha Esa. Tetapi diantara keduanya, karma-yogalah yang lebih baik daripada sanyasa.


Sebenarnya inti kedua ajaran ini tidak berbeda, dan menurut Sang Kreshna karma-yoga lebih baik. Seorang karma-yogi sebenarnya di dalam batinnya adalah seorang sanyasi, karena secara mental ia telah dan selalu memasrahkan (mempersembahkan) setiap aksi atau pekerjaan dan perbuatannya kepada Yang Maha Esa semata, walaupun ia sibuk bekerja seaktif apapun juga. Dan dengan jalan ini ia lepas dari segala ikatan mati dan hidup, dan lebih cepat mencapai yang Maha Esa. Sedangkan jalan sanyasa atau gnana-marga (jalan ilmu pengetahuan) itu sifatnya sulit dan berbelit-belit, jadi menurut Sang Kreshna lebih baik untuk berjalan menganut ajaran karma-yoga yang lebih mudah.


3. Seseorang yang tidak membenci atau bernafsu (menginginkan segala sesuatu) adalah seorang sanyasi yang konstan. Karena seorang yang telah lepas dari dvandas (dua rasa yang saling berlawanan), akan cepat lepas dari keterikatan duniawi, oh Arjuna!


Dvandas seperti yang sudah disebut dan diterangkan pada bab-bab yang lalu, adalah dua sifat atau rasa yang berlawanan yang mengikat setiap manusia. Kedua rasa atau sifat ini adalah musuh-musuh besar seorang manusia. Seorang karma-yogi tidak akan mengacuhkan kedua-duanya lagi dan memasrahkan semua yang dialaminya kepada KehendakNya semata, dan sekiranya ini dilakukan penuh kesadaran dan dengan jiwa yang tulus maka ia pun terlepaslah dari keterikatan karma-karmanya. Seorang sanyasi yang konstan, adalah seorang yang tidak pernah menginginkan sesuatu ataupun tidak bernafsu akan sesuatu, dan sifatnya ini konstan, jadi terus-menerus ia akan berpikir dan bertindak demikian karena sudah menjadi itikadnya yang tegas dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi. Hidupnya adalah suatu hal yang netral, semua suka dan duka, untung dan rugi sama saja harkat atau artinya, dan baginya semua ini selalu datang dan pergi tidak pernah abadi, jadi ia selalu tidak acuh lagi kepada dua sifat yang berlawanan ini. Dengan begitu lepaslah ia dari semua ilusi duniawi ini karena memang ia secara sadar tidak mau terikat olehnya, walaupun sebenarnya ia tinggal dan bekerja di dunia ini yang penuh dengan segala aktivitas yang tak kunjung habis-habisnya.

4. Hanya anak-anak, dan bukan orang-orang bijaksana, yang mengatakan bahwa ajaran Sankhya dan ajaran yoga sebagai dua hal yang berbeda. Seseorang yang telah mapan dalam salah satu ajaran ini mendapatkan imbalan dari kedua-duanya.

5. Tingkat tertinggi yang dicapai oleh para penganut Sankhya juga dicapai oleh penganut ajaran Yoga. Barangsiapa melihat (menyadari) bahwa ajaran Sankhya dan Yoga adalah satu benar-benar melihat dengan mata yang terang.
Ilmu pengetahuan yang sejati dan aksi atau tindakan tanpa pamrih sebenarnya bagi Sang Kreshna adalah dua hal yang sama saja arti dan maknanya, dan lebih dari itu satu saja tujuannya, yaitu Yang Maha Esa. Ambillah salah satu jalan yang berkenan di hati dan sesuai dengan keinginan pribadi kita yang tulus, dan berjalanlah di jalan tersebut dengan tulus dan pada suatu saat nanti kita akan mendapati bahwa ujung jalan ternyata berakhir pada titik yang sama. Kedua penganut masing-masing jalan yang nampak berbeda ini pada hakikatnya sama-sama bebas dari nafsu-nafsu duniawi ini dengan segala ikatan-ikatan dan ilusi-ilusinya.
6. Tetapi tanpa Yoga, oh Arjuna, penyerahan diri (secara total) itu sukar dicapai
Seorang yang suci yang telah terbiasa dengan Yoga (jalan aksi), segera
mencapai Sang Brahman, Yang Maha Esa.
Penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai seseorang. Tetapi harus dengan kerja keras, dan proses ini berlangsung secara progresif (maju terus) bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan berdedikasi kepada Yang Maha Esa. Ego pribadi adalah salah satu elemen yang paling sukar dikendalikan dalam diri kita dan selalu hadir pada setiap orang dalam bentuk yang berganti-ganti dan beraneka-ragam, seakan-akan tidak ada habis-habisnya. Dan semua itu butuh kesabaran dan dedikasi dan proses yang lama, baru dapat dikurangi tahap demi tahap dan kemudian sama sekali dihilangkan. Dan tanpa karma-yoga, sabda Sang Kreshna, jalan kearah Sanyasa atau gnana-marga ini akan jadi lebih sulit karena bisa-bisa seseorang jatuh sebelum mencapainya. Jalan karma-yoga menyucikan dan melicinkan langkah kita ke arah Yang maha Esa, semuanya kemudian menjadi lebih cepat untuk mencapaiNya.
Seseorang boleh saja berpikir bahwa ia sudah sadar, bahwa semua di dunia ini hanya ilusi Sang Maya, dan ia sendiri sudah mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan. Tetapi kalau ia tidak mempraktekkan dan menghayati karma-yoga dengan baik dan benar, maka ia akan jatuh karena egonya, atau karena nafsu-nafsu dan kemarahannya. Dan Sang Maya kemudian menjadi lebih kuat lagi baginya. Tetapi sekali ia tersucikan oleh karma-yoga, maka cepat ia akan lepas-landas ke arah Yang Maha Esa. Jadi seyogyanyalah seseorang selalu berjalan dijalannya karma-yoga dengan teguh.
7. la yang penuh dedikasi dalam tindakannya dan suci jiwanya, yang merupakan tuan bagi dirinya sendiri dan telah menguasai indra-indranya, yang sadar bahwa Dirinya adalah Diri yang sama dalam setiap makhluk - walaupun ia bekerja (bertindak), ia tak akan tersentuh sedikit pun oleh pekerjaan atau tindakan itu.
Mengapa ia tak tersentuh sedikitpun oleh tindakan-tindakannya? Karena ia tidak kerja untuk diri pribadinya sendiri. Sang Atman, Sang Jati Diri -- Sang Kreshna yang ada di dalam jiwalah yang melakukannya. Ia melihat, mendengar, menyentuh, mencium., makan, bergerak, tidur, bernafas, berbicara, tetapi Ia sadar semua itu hanya tindakan-tindakan alamiah ke obyeknya masing-masing. Ia sadar sebenarnya ia tidak melakukan apa-apa, ia hanya alatNya saja, dan dipakai olehNya sesuai dengan KehendakNya.
8. Seseorang yang telah bersatu dengan Yang Maha Suci, yang sadar akan Kebenaran akan selalu berpikir, "aku tak melakukan apa-apa." Karena dikala melihat, mendengar, menyentuh, mencium, memakan, bergerak, tidur, bernafas.
9. Dikala berbicara, memberi, mengambil, membuka dan manutup-mata, ia sadar bahwa yang bergerak hanyalah indra-indranya dan diantara obyek-obyek indra-indra itu sendiri.
10. Seseorang yang bertindak (bekerja), sambil melepaskan keterikatannya, menyerahkan semua tindakan-tindakannya kepada Yang Maha Esa, tidak akan tersentuh oleh dosa, ibarat bunga teratai yang tak tersentuhkan oleh air.
Di sloka delapan dan sembilan di atas diterangkan dengan baik mengenai disiplin pribadi seseorang yang melakukan gnana-yoga. Orang semacam ini tidak pernah merasa bahwa ialah "pelaku semua tindakan." Di sloka sepuluh di atas, diterangkan sekali lagi bahwa seorang karma-yogi sejati akan selalu bekerja tanpa pamrih, karena semua tindakannya adalah demi Yang Maha Esa.

11. Para yogi, sambil melepaskan keterikatannya, bekerja mempergunakan tubuh, pikiran, intelektual (buddhi), atau dengan indra-indra mereka demi penyucian jiwa mereka.
Seorang karma-yogi yang sejati merasa bahwa tindakan-tindakan raganya, pikirannya, intelektualnya dan indra-indranya bukanlah tindakan atau perbuatan dirinya, melainkan hanyalah ekspresi dari dirinya, yang sebenarnya adalah alat saja dari yang Maha Esa. Kemudian ia sadar bahwa ia sebenarnya bukan raga, bukan pikiran, bukan intelektual, bukan indra-indra tetapi dirinya sendiri sebenarnya adalah Sang Atman, Sang Jati DiriNya Yang Sejati. Dengan menyadari hal tersebut dan bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih, maka ia selalu gembira dan dapat bekerja demi Yang Maha Esa tanpa merasa bosan atau tanpa habis-habisnya.
12. Seseorang yang telah bersatu denganNya, yang telah mengesampingkan semua imbalan dari tindakan-tindakannya, mencapai ketenangan yang abadi. Tetapi seseorang yang jiwanya tidak bersatu denganNya, didorong oleh nafsu-nafsunya dan terikat pada pamrih-pamrihnya, maka terbelenggulah ia.
Sekali mencapai persatuan dengan Yang Maha Esa, maka seseorang langsung mendapatkan ketenangan yang abadi, karena lepas sudah ia dari beban-beban imbalan kerjanya. Tetapi seseorang yang tidak dapat bersatu denganNya, akan selalu terkurung atau terpenjara oleh aksi dan hasil dari aksi ini, yang dilakukannya berdasarkan dorongan nafsu dan keinginannya yang beraneka-ragawi. Hasilnya pun tentu beraneka-ragam.
13. Melepaskan semua tindakan secara mental, jiwa yang memiliki raga ini bersemayam secara tenang di kota yang memiliki sembilan pintu gerbang, tidak bekerja maupun memerintahkan suatu pekerjaan.
Untuk mencapai status "yang bersemayam di dalam tubuh kita tanpa kerja atau memerintahkan suatu pekerjaan," adalah seseorang yang jiwanya telah mencapai suatu tahap tertinggi dalam kebijaksanaannya. Ia tidak terlibat akan suatu pekerjaan dan ia pun tak mau melibatkan orang lain -- ia hidup dan bekerja tanpa suatu nafsu atau keinginan pribadi, dengan kata lain semuanya dilakukannya tanpa pamrih - ia adalah seorang karma-yogi yang sejati.
Kota yang berpintu gerbang sembilan adalah raga kita sendiri, yaitu dengan dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, satu lubang anus dan satu lubang kemaluan, semuanya berjumlah sembilan lubang atau pintu gerbang raga kita.
14. Sang Maha Kuasa Pemilik Seluruh Alam Semesta ini (Sang Prabhu) tidak menciptakan manusia sebagai agen-agen DiriNya, tidak juga Ia bertindak. Tidak juga Ia mengaitkan pekerjaan dengan imbalannya. Semua ini dilakukan oleh Svabhaba (alam).
Sang Prabhu adalah Diri Yang Sejati dari setiap hal di dunia ini. Diri Yang Sejati ini adalah Sinar yang bersemayam di raga setiap makhluk. Ia tidak bekerja maupun mengakibatkan sesuatu pekerjaan manusia atau makhluk, juga tidak tersentuh kebaikan maupun keburukan. Dan di dalam Sinar inilah para pencari Kebenaran Sejati atau Kebenaran Hidup ini mencari perlindungan demi melawan segala cobaan Sang Maya yang selalu hadir menghadang. Di dalam sinar ini kemudian timbullah kesadaran seseorang yang mencari kebenaran yang sejati bahwa hidup ini sebenarnya adalah persembahan demi Yang Maha Kuasa oleh sekalian makhluk-makhluk ciptaanNya.
15. Yang Maha Pengasih tidak mengambil baik maupun buruk untuk DiriNya sendiri. kebijaksanaan itu terbungkus oleh kekurangan-pengetahuan, dan para makhluk pun jadi kalut karenanya.
Yang Maha Esa itu hadir dimana saja dan selalu sempurna adaNya. Ia tak pernah tersentuh oleh dosa-dosa dan perbuatan baik manusia, karena Ia bersemayam jauh dari dosa dan kebaikan ini. Ia lah Sang Atman, Sinar Ilahi. Ini terbungkus oleh kegelapan yang ditimbulkan oleh ilusi, dan kalut atau bingunglah manusia karenanya. Dibawah pengaruh ilusi (bahwa kita ini terpisah dari Yang Maha Esa), maka jiwa kita senantiasa berpikir bahwa jiwa kita atau tubuh kitalah yang bertindak dalam segala sesuatu hal. Dan kalau pengaruh ilusi ini dapat disingkapkan, maka para pencari kebenaran hidup ini, akan masuk ke dalam ruang-dalam nurani kita di mana bersinarlah kebijaksanaan ~ Kebijaksanaan Sang Atman. Disinilah seorangjignasu (pencari kebenaran hidup ini) sadar bahwa ia sebenarnya satu dengan semuanya, dan kepadanyalah akan terlihat Yang Maha Esa, Yang Tanpa Nama dan Abadi (Tat), yang tidak pernah tersentuh oleh kebaikan maupun keburukan yang diakibatkan oleh pekerjaan manusia.
16. Seseorang yang kekurang-pengetahuannya (kegelapannya) telah dihancurkan oleh kebijaksanaan Sang Atman, maka di dalam diri mereka, kebijaksanaan ini bersinar laksana Sang Surya, mamancarkan keagungan Yang Maha Esa.
Berbahagialah mereka yang telah mencapai tahap kebijaksanaan, yaitu ilmu pengetahuan mengenai Sang Atman, Sang Jati Diri, Sang Kreshna sendiri yang bersemayam di dalam diri mereka sendiri, karena kebijaksanaan ini memancarkan cahaya Ilahi di dalam diri mereka laksana terangnya Sang Surya, menyibak semua kegelapan duniawi, dan menerangi jiwa mereka.
17. Mereka yang intelektual (buddhi) dan pikirannya sudah bersatu utuh denganNya, yang selalu berada dalam naungan Yang Maha Esa, dan akhirnya menyatu denganNya --- orang-orang semacam ini pergi ke tempat dimana mereka tak kembali lagi, karena dosa-dosa mereka hapus oleh kebijaksanaan.
Para yogi yang sejati ini selalu hidup dalam naungan Yang Maha Esa dan mendasarkan setiap tindakan mereka sesuai dengan kehendak Ilahi -- hidup mereka selalu dalam Ilahi, begitupun jalan pikiran dan tujuan mereka tak pernah lepas dariNya. Sewaktu orang-orang semacam ini meninggalkan raga mereka (meninggal-dunia) maka mereka pergi ke tempat dimana mereka tak kembali lagi kedunia ini, lepas dari kehidupan dan kematian selanjutya.
18. Orang-orang suci ini memandang secara sama pada seorang Brahmin yang terpelajar dan yang penuh rasa rendah-diri, atau pada seekor sapi, atau pada seekor gajah, bahkan pada seekor anjing dan pada seorang pariah (kasta yang dianggap terendah diantara semua kasta).
Para yogi yang sejati yang telah suci ini tidak mempunyai diskriminasi sedikitpun; bagi mereka semua makhluk ciptaan Tuhan itu sama saja derajatnya, karena dalam setiap makhluk sebenarnya bersemayam Sang Atman yang Tunggal. Bagi mereka diskriminasi kasta adalah tidak wajar, bahkan seekor anjing pun bagi mereka derajatnya sejajar.
19. Bahkan di sini (di bumi ini) semua hal-hal duniawi dapat teratasi bagi mereka-mereka yang jiwanya telah bersatu dalam suatu kesamaan. Yang Maha Esa adalah nirdosha, yaitu tak tersentuh oleh dosa, dan Ia sama bagi semua makhluk. Mereka yang sadar hal ini telah bersatu denganNya.
20. Dengan inteleknya yang teguh dan tidak terombang-ombing, bersatu dengan Yang Maha Esa, maka seseorang yang telah mengenal Sang Brahman tidak akan gembira dikala senang dan tidak akan bersedih dikala dilanda kesusahan.

21. Tidak terikat pada kontak-kontak eksternal (luar) dan mendapatkan kebahagiaan di dalam DiriNya (Sang Atman), seorang yoga-yukta yang tak bersatu dengan Yang Maha Esa, merasakan keberkahan tanpa habis-habisnya.
22. Kesenangan yang lahir dari kontak-kontak (dengan obyek-obyeknya) sebenarnya permulaan (asal) dari penderitaan. Kesenangan-kesenangan ini ada awalnya dan juga ada akhirnya, oh Arjuna! Seorang yang bijaksana tak akan bergembira dengan kesenangan-kesenangan ini.
Para yogi yang bijaksana tak akan bergembira dengan hal-hal duniawi yang menyenangkan (priyam) ataupun bersedih dengan hal-hal keduniawian yang penuh dengan penderitaan atau kesedihan. Karena semua kebahagiaan mereka sudah terpusat sepenuhnya pada Sang Atman, pada Sang Kreshna yang bersemayam di dalam diri mereka. Mereka sadar kesenangan dan kesedihan duniawi bersifat sementara saja semua itu datang dan pergi, sedangkan Yang Maha Esa sifatnya abadi dan tak ada habis berkahNya.
Dan mereka ini pun sadar bahwa semua kesenangan duniawi itu sebenarnya adalah awal atau asal dari berbagai penderitaan yang beraneka-ragam sifatnya, seperti kehilangan seseorang yang amat disayangi, sakit atau penderitaan ragawi, masa tua, dan banyak hal lainnya, yang kalau ditelaah merupakan kesenangan pada awalnya tetapi selalu berakhir dengan kesedihan atau penderitaan. Dan semua penderitaan ini kemudian akan menimbulkan kama (nafsu) dan krodha (kemarahan), dan masuklah seseorang kemudian ke dalam lingkaran setan dari penderitaan ini, yang nampaknya tak ada habis-habisnya.
23. Seseorang yang di dunia ini (di bumi ini), sebelum meninggalkan raganya berhasil menahan gejolak nafsu dan kemarahannya, maka ia telah bersatu dengan Yang Maha Esa. Orang ini adalah orang yang bahagia.
Seorang yogi yang bahagia secara murni, adalah orang yang penuh dengan kendali diri. Dan pengendalian diri ini dipelajari di bumi ini, karena memang bumi-loka ini tempatnya setiap manusia belajar berbagai aspek Ketuhanan dan mengenal dirinya sendiri secara spiritual, bukan di tempat lain. Dan sekali pengendalian diri ini tercapai secara utuh dan tulus, maka akan didapatkan berkahNya yang tak kunjung habis-habisnya. Maka seyogyanyalah setiap manusia belajar untuk mengendalikan nafsu dan keinginan-keinginannya, pertahankanlah tekad ke arah ini dan bangkitlah lagi setiap tersandung jatuh, kemudian tegak maju lagi secara lebih tegar. Di mana ada tekad di situ pasti ada jalan. Perangilah nafsu dan kemarahan dan pada suatu saat yang tepat, dengan tekad yang kuat, dikau pasti akan berhasil mandapatkan kebijaksanaan ini.
24. Barangsiapa memiliki kebahagiaan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki kegembiraan di dalam dirinya, barangsiapa memiliki sinar di dalam dirinya, maka yogi semacam ini berubah sifatnya menjadi suci dan mencapai keindahan Yang Maha Esa (Brahmanirvana).
Seseorang yogi yang sejati selalu mencari kebahagiaan di dalam diriNya (Sang Atman) dan merasa bahagia dengan apa saja yang didapatkannya dari Sang Atman. Yogi semacam ini sudah berdiri di atas ketiga guna (sifat-sifat alami atau prakriti) dan telah mencapai suatu sifat yang suci yang merupakan karunia Ilahi yang tak ternilai sifatnya. Ia langsung berasimilasi dengan Yang Maha Esa. Brahma nirvana adalah suatu status dimana meleburlah semua nafsu-nafsu pribadi seseorang dalam sinarNya Yang Maha Esa, dan seorang yogi yang telah mencapai tahap ini menjadi seorang resi (seorang yang dianggap suci), yang jiwanya sudah dipasrahkan secara total kepadaNya, Yang Maha Abadi.
25. Para Resi (orang-orang suci) yang dosa-dosanya telah hapus, yang keragu-raguannya (rasa dualismenya yang bertentangan) telah tertebas habis, yang pikirannya penuh dengan disiplin, dan yang bahagia dalam kesejahteraan semua makhluk, mencapai Brahma nirvana.
Para orang-orang suci yang dosa-dosanya telah tertebas habis, begitupun dengan keragu- raguannya mereka akan hal-hal yang menyenangkan maupun yang sebaliknya, yang indra-indranya telah terkendali dengan baik; maka setiap tindakan mereka adalah demi kesejahteraan semua makhluk di dunia ini. Mereka ini bersatu dengan Yang Maha Esa (Sang Brahman) dan mereka ini mengenal yang disebut nirvana, yaitu Kedamaian Yang Abadi (Keindahan Ilahi).
26. Keindahan Ilahi terletak dekat dengan mereka yang suci, yang telah lepas dari nafsu dan kemarahan, yang telah mengendalikan pikiran mereka dan telah sadar akan DiriNya.
27. Menutup diri dari kontak-kontak eksternal (luar), memusatkan pandangan pada sela kedua alis-mata, dan menyelaraskan nafas yang masuk dan keluar dari lubang-lubang hidung.
28. Dengan mengendalikan indra-indranya, pikirannya dan intelektualnya, seseorang yang yang suci yang berkeinginan bebas dan telah berhasil menyingkirkan nafsu, ketakutan dan kemarahan, akan benar-benar terbebas.
29. Dan mengetahui Aku sebagai Yang Menikmati semua persembahan dan pengorbanan, sebagai Yang Maha Memerintah seluruh isi alam, Yang Mencintai semua yang hidup, maka orang suci semacam ini akan menuju ke kedamaian.
Setiap insan yang mengenal Sang Jati Diri (Sang Atman), akan menemui Kedamaian Yang Abadi (Brahma-nirvana). Pengetahuan tentang hal ini disebut kebijaksanaan, yang mengusir semua nafsu dan keinginan-keinginan kita dan membuat seorang berubah sifatnya menjadi sederhana dan stabil jalan pikirannya (terkendali, atau dalam kendali). Proses ini menjadi lebih mudah lagi kalau ditambah dengan latihan pranayama (yaitu pernafasan yang terkendali atau meditasi). Dan yang ingin mencoba pranayama atau meditasi ini harus:
1. Membebaskan atau mengeluarkan atau menjauhkan semua bentuk pikiran-pikiran yang datang mengganggu. Jadi tidak memikirkan apapun juga selain Sang Atman yang ada di dalam dirinya. Dapat dimulai dengan membayangkan wajah seorang Dewa atau sang guru yang dihormatinya. Ini yang dinamakan menjauhi kontak-kontak eksternal.
2. Memusatkan pandangannya pada titik yang terletak di tengah-tengah kedua alis mata, dan
3. Menyelaraskan masuk dan keluaraya nafas dari dan ke lubang hidung kita. Baik irama, panjang dan lama nafas yang masuk dan keluar ini harus seimbang mungkin, Sebaiknya perlahan-lahan saja, setelah lama berlatih, maka masuk-keluar nafas ini membebaskan indra-indra, pikiran dan intelektual kita dari kekuasaan nafsu dan berbagai keinginan, dari rasa takut dan berbagai pikiran yang selalu silih-berganti. Lebih dari itu seorang yang melakukan meditasi ini harus sadar bahwa Yang Maha Esa adalah sebagai Asimilator atau Sang Penerima semua bentuk yagna dan tapa, dan juga orang atau pemuja ini harus mengenal Yang Maha Esa sebagai Yang Maha Memiliki alam semesta ini beserta seluruh isinya, mengenalnya sebagai Yang Maha Pengasih semua makhluk-makhluk ciptaanNya, mengenal Yang Maha Esa dalam bentuk manusiaNya sebagai Sang Kreshna.
Dan barang siapa yang mengenal Dirinya yang tinggi (Sang Atman) dan melalui Sang Atman mi dapat menguasai dirinya yang rendah yaitu indra-indra, pikiran dan intelektualnya, maka orang semacam ini akan mendapatkan suatu bentuk kedamaian yang abadi.
Dari ajaran-ajaran di atas terulang lagi, bahwa yang paling penting bagi kita ini adalah mengendalikan semua indra kita, pikiran kita dan juga buddhi kita. Seseorang tanpa kendali tidak mungkin dapat menghayati ajaran Bhagavat Gita atau pun mencapai Yang Maha Esa. Ia boleh saja bermeditasi dengan aktif, boleh saja ia menguasai berbagai ajaran atau teori-teori dan teknik-teknik spiritual, tetapi kalau belum berhasil mengendalikan indra, keinginan, nafsu, pikiran dan buddhinya dengan baik maka sia-sia saja upayanya, bahkan dapat merusak atau menyesatkan dirinya. Tanpa penghayatan dan perbuatan nyata, maka sia-sia atau rusaklah orang semacam ini. Teori saja tidak perlu dalam peningkatan spiritual, yang paling penting adalah praktek atau usaha-usaha pengendalian hawa-nafsu kita secara sejati dan total, karena semua pengetahuan spiritual ini akan menjadi mentah sifatnya tanpa penghayatan yang tulus dan sejati, tanpa dedikasi dan disiplin yang penuh dengan tekad yang kuat. Semua ini butuh waktu dan tak dapat dicapai dalam sekejap mata, maka dari itu dibutuhkan kesabaran yang luar biasa.
Dan apakah yang akan terjadi seandainya seseorang memaksakan dirinya ke jalan yoga, padahal dirinya masih mentah atau belum siap untuk itu? Meditasinya yang prematur akan membawanya ke jalan atau arah yang berbahaya. Membawanya ke situasi yang neurotik, membawanya ke pemecahan jiwanya (personalitasnya) dan bahkan kekacauan jiwanya yang dapat menghasilkan gangguan jiwa (menjadi gila misalnya). Seyogyanyalah meditasi diajarkan dan dibimbing dan ditentukan oleh seorang guru yang bijaksana, yang dapat menilai sudah sejauh manakah kadar dari sang murid ini. Tanpa pembersihan ego pribadi, pengendalian indra-indra dan pikirannya, maka jalan meditasi akan berbahaya sekali.
Meditasi yang matang sifatnya, kemudian akan menghasilkan suatu pertemuan antara sang pemuja dengan Sang Atman, Sang Kreshna Yang Abadi Yang bersemayam di dalam jiwa sang pemuja ini, Yang juga adalah Kuasa dari alam semesta ini, Yang juga adalah Pengasih semua makhluk. Ia bukan saja jauh dari jangkauan kita tetapi juga merupakan Teman kita yang benar-benar sejati dan dekat dengan kita dan bersifat Maha Penolong kapan dan dimana saja. Teman yang membantu kita mengatasi segala situasi yang kita hadapi. Seseorang yang pintu imannya telah berbuka lebar, maka pintu kebijaksanaannya pun akan terbuka lebar-lebar dan ia pun akan mencapai kedamaian yang abadi yang menjadi dambaan setiap pencari kebenaran. Kedamaian Nan Abadi ini, yang penuh dengan Sinar llahi, disebut Brahmanirvana.

Demikianlah dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahltan yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Sang Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ke lima, yang disebut Karma Sanyasa Yoga atau Yoga Tentang Penyerahan Tindakan (Aksi).

Bab 06 - Jalan Meditasi

Page 1 of 5

Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
1. Seseorang yang mengerjakan kewajiban yang harus dilakukannya, tetapi tanpa menuntut keuntungan, tanpa pamrih, maka orang itu adalah seorang sanyasi dan seorang yogi; bukan ia yang tak mau menyalakan api pengorbanan dan tak mau melakukan upacara apapun.

ImageSang Kreshna mengulang lagi sebuah fakta kebenaran bahwa seorang sanyasi yang sejati adalah seorang yogi sekaligus karena telah mempersembahkan (mengorbankan) semua pekerjaan dan hasil-hasil dari pekerjaannya kepada Yang Maha Esa. Sanyasa sendiri juga berarti tidak terikat atau tidak berkeinginan. Seseorang yang hidupnya selalu berkeinginan tanpa habis-habisnya dan selalu terikat pada obyek-obyek duniawi dianggap tidak pernah berkorban untuk Yang Maha Esa (tidak menyalakan api pengorbanan) atau berbuat suatu apapun demi Yang Maha Esa.

2. Sebenarnya, Sanyasa yang sejati (penyerahan total) itu adalah Yoga, oh Arjuna! Dan seseorang bukanlah yogi yang sejati kalau belum mengesampingkan sankalpa-sankalpanya (keinginan-keinginannya yang bermotifkan sesuatu atau suatu tekad untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat duniawi di masa depan).

Segi-segi penting dari sanyasa juga terdapat di dalam karma-yoga. Seorang sanyasi yang sejati sama halnya dengan seorang yogi yang sejati tidak akan terganggu oleh nafsu. Seorang karma-yogi yang sejati tak akan terusik oleh imbalan apapun untuk setiap perbuatan atau tindakannya.

Sankalpa harus dikesampingkan. Semua rencana yang bermotifkan keserakahan pribadi, rencana yang penuh dengan nafsu-nafsu egoisme harus dikesampingkan, karena rencana-rencana semacam ini timbul dari avidya (kekurang-pengetahuan), lahir dari suatu perasaan bahwa "akulah" pelakunya. Seorang karma-yogi yang sejati akan melenyapkan rasa "akunya" (egoisme dan ahankara) dari dirinya Yang dimaksudkan Sang Kreshna di atas bukannya mengesampingkan pekerjaan seseorang, tetapi sebaliknya bekerja dengan mengesampingkan tekad-tekad atau rencana dan itikad yang punya motif atau tujuan yang tertentu untuk kepentingan diri atau egonya; biasanya setiap pekerjaan kita selalu disertai dengan pengharapan akan suatu hasil dan imbalan, bukan saja dari Yang Maha Esa, dari dewa-dewa tetapi dari orang-orang lain, maupun dari pekerjaan itu sendiri. Seyogyanyalah semua pekerjaan dilakukan dengan tekad untuk Yang Maha Esa semata, itu berarti kesatuan dengan Sang Atman dalam segala tindak-tanduk kita sehari-hari dan dalam hidup kita ini. Seorang yogi yang sejati tidak akan berjalan seirama dengan sankalpa-sankalpanya tetapi selalu bekerja tanpa pamrih selama hidupnya dan meditasi (atau dhyana) baginya adalah suatu faktor penunjang yang amat membantunya.

3. Untuk seorang suci yang ingin mencapai yoga, maka jalannya adalah dengan bertindak, untuk orang suci yang sama ini sekali ia telah mencapai yoga, maka ketenangan adalah jalannya.

Untuk mencapai yoga, maka seseorang yogi yang sejati harus bekerja selalu tanpa pamrih, dan setelah ia berhasil menyatu denganNya, maka tindakan sudah tidak penting baginya karena yang bertindak kemudian adalah kehendak Ilahi, dan ia hanyalah alatNya saja. Orang semacam ini akan bekerja dengan dan dalam segala ketenangan dan bagi kesejahteraan semua makhluk. la tak akan mempunyai sankalpa atau rencana-rencana formatif untuk dirinya. Semua pekerjaan atau tindakannya akan selalu sinkron atau sesuai dengan dhyana (meditasiNya), dengan kehendak Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya, dan ini bukan suatu hal yang fiktif atau penuh dengan imajinasi, tetapi betul-betul akan terjadi pada seorang yogi semacam ini dalam kehidupan ini sebenarnya. Om Tat Sat.

4. Seseorang yang sudah lepas dari obyek-obyek sensualnya atau dari tindakan-tindakan dan telah mengesampingkan semua sankalpa-sankalpanya, maka orang ini dianggap telah bersemayam dalam yoga (yogarudha).

Sankalpa adalah dasar dari semua aktivitas yang penuh dengan rencana-rencana egoistik, dalam bab IV/10 Sang Kreshna bersabda: "Seseorang yang pekerjaannya bebas dari nafsu dan sankalpa disebut seorang suci." Maka seyogyanyalah seorang yogi yang baik mengesampingkan semua sankalpanya dan tetap bekerja demi kewajibannya yang benar, tanpa nafsu, tanpa rasa egoisme, dan tanpa rasa keterikatan pada dua rasa atau sifat yang berlawanan. Bekerjalah dan terimalah apa saja yang dihasilkan oleh pekerjaan itu sebagai pemberian dari Yang Maha Kuasa. Rantailah ego pribadi dengan memasrahkan diri kepada kehendak Sang Ilahi. Dalam Mahabarata tertulis sebagai berikut: "Oh nafsu, aku tahu akar-akarmu. Engkau lahir dari Sankalpa atau pikiran-pikiran egoistik. Aku tak akan memikirkan engkau, dan kau akan mati karenanya."

5. Sebaiknya seseorang mengangkat dirinya sendiri dengan Dirinya (Sang Atman), dan jangan sampai ia menjatuhkan dirinya. Karena sebenarnya, Dirinya adalah temannya sendiri, dan Dirinya juga adalah musuhnya sendiri.

Angkatlah dirimu sendiri oleh Diri Mu (Sang Atman), bagaimana caranya? Dengan mengejar atau menjalani ajaran-ajaran spiritual seperti karma-yoga atau gnana-yoga atau bhakti-yoga. Jangan kau jatuhkan dirimu ke dalam nafsu-nafsu duniawi yang gelap. Sekali anda mau memperbaiki dan mengangkat diri sendiri, maka jalan ke arahNya akan terbuka lebar. Sang Atman yang bersemayam dalam diri kita ini dapat menjadi musuh atau pun teman dari ego kita sendiri. Sang Atman jadi sahabat kalau kita menjalin hubungan denganNya dan mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi kita. Sang Atman yang universal sifatNya ini lalu menjadi sahabat, penuntun, penunjuk jalan dan guru kita (Adhi Guru). Tetapi kalau kita jauh dariNya, maka Sang Atman pun jadi "musuh" dan jauh dari kita. Tanpa tuntunan dan jauh dari kasih-sayangNya, kasih-sayang Sang Atman ini, maka apalah arti kehidupan ini.

6. Diri (Sang Atman), adalah teman bagi seseorang yang dirinya (yang rendah) telah dikalahkan oleh Dirinya (yang Tinggi). Tetapi bagi diri yang belum terkendali, maka Sang Diri (Sang Atman) akan bertindak tidak ramah, ibarat seorang musuh.

Yang disebut diri yang rendah adalah indra-indra dan pikiran kita. Seseorang yang berhasil menaklukkan semua ini telah mencapai tahap kesadaran-diri. Kalau diri kita sudah terkendali dengan baik dan menyatu dan bekerja sebagai alatnya Sang Atman, maka Sang Atman pun menjadi sahabat baik kita, menjadi sumber ilham, inspirasi, intuisi, dan guru kita secara spiritual (guru spiritual) dalam segala hal. Tetapi kalau diri kita tetap saja bersifat egois, sombong dan bertahan pada keinginan-keinginan duniawi, maka Sang Atman tidak akan menjadi sumber inspirasi atau penerangan hidup kita melainkan menimbulkan ketidak-harmonisan dalam diri kita, karena hati nurani akan selalu bertentangan dengan tindak-tanduk yang tidak baik dan tidak mengikuti dharma atau kewajiban-kewajiban kita di dunia ini.
7. Seseorang yang telah menguasai dirinya (yang rendah) dan telah mencapai ketenangan dalam mengendalikan dirinya, maka Sang Dia Yang Agung yang bersemayam di dalam dirinya akan bersemayam dengan penuh keseimbangan. la (orang ini) akan selalu merasa damai baik dalam panas maupun dingin, dalam kesenangan dan penderitaan, dan baik dihormati atau tidak dihormati.
Orang yang telah dapat mengendalikan dirinya adalah orang yang tenang dan damai jiwanya dalam arti yang sesungguh-sungguhnya. la adalah orang yang sadar bahwa ia hanyalah alat bagiNya dan sebuah alat fungsinya adalah sama saja baik sewaktu dipakai maupun sedang tidak dipergunakan. Bagi suatu atau sebuah alat, panas dan dingin, dihormati atau tidak adalah sama saja, tidak lebih dan tidak kurang karena ia hanya sebuah alat.
8. Seorang yogi, yang jiwanya telah puas dengan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan (gnana dan vignana) dan tidak terombang-ambing, yang indra-indranya telah dikalahkan (terkendali), yang merasa bahwa segumpalan tanah-liat, sebuah batu dan sebongkah emas adalah sama saja nilainya, maka orang ini disebut yukta (seorang yang harmonis pengendalian yoganya).
Gnana adalah pengetahuan tentang Nirguna, yaitu Yang Tak Terlihat, sedangkan vignana adalah pengetahuan tentang Saguna, yaitu Yang Terlihat. Seseorang yang telah sadar dan penuh dengan kedua ilmu pengetahuan ini (gnana dan vignana), merasa puas dengan kebenaran Sang Brahman sesuai dengan pengalamannya selama ini, sehingga ia tergoyahkan atau terombang-ambing oleh pengalaman-pengalaman duniawi yang nampak dan terasa sehari-hari. Baginya tanah-liat, batu ataupun emas itu sama saja nilainya. la sudah mencapai keharmonisan dalam hidupnya. Orang semacam ini disebut yukta.
9. Seseorang yang memandang sama terhadap teman-temannya, sahabat-sahabatnya dan terhadap musuh-musuhnya, terhadap orang-orang yang tak dikenalnya dan terhadap pihak-pihak yang netral, terhadap orang-orang asing dan sanak-saudaranya, terhadap orang-orang suci dan terhadap orang-orang yang berdosa - orang ini telah mencapai kesempurnaan (kebaikan).
Orang yang telah mencapai kesempurnaan melihat Satu Pencipta (Tuhan) di dalam setiap benda, makhluk dan manusia. Ia bebas secara total dari rasa diskriminasi karena ia sadar bahwa semua ciptaan Yang Maha Esa sebenarnya adalah alat-alatNya belaka.
10. Sebaiknya seorang yogi duduk di suatu tempat yang tenang dan tersendiri, dan secara konstan mengkonsentrasikan pikirannya pada (Jati Dirinya Yang Agung), dan dengan mengendalikan dirinya, lepas dari segala nafsu dan rasa memiliki.
Sang Kreshna menerangkan sebagian teknik meditasi kepada Arjuna. Sebenarnya seluruh proses teknik meditasi tak dapat diterangkan dalam bentuk tulisan. Prosesnya berbeda dari satu orang ke orang lain dan sebaiknya dipelajari dari seorang guru yang bijaksana. Ibarat belajar melukis yang tidak dapat dipelajari begitu saja, maka yoga pun tak dapat dipelajari dari buku-buku meditasi saja. Garis besar atau yang terpenting dalam metode meditasi haruslah disertai dengan kendali atas pikiran kita, sehingga setiap saat pikiran kita dapat diperintahkan untuk diam sesuai kehendak atau tekad kita. Sangat baik kalau seseorang yang ingin belajar meditasi dapat melakukannya di tempat yang tersendiri dan lepas dari gangguan-gangguan suara dan sebagainya. la harus lepas dari pikiran-pikiran egois dan rasa memiliki harta-benda, keluarga dan hal-hal duniawi lainnya, juga ia harus lepas dari keinginan-keinginan indra-indranya. la harus secara konstan setiap harinya menyisihkan sejumlah waktu tertentu dan berusaha dengan tekad yang tulus untuk mengkosentrasikan diri dan pikirannya kepada Sang Atman, dan sebaiknya waktu yang disediakan untuk meditasi ini tidak terganggu oleh kesibukan-kesibukan lainnya, agar meditasi berjalan tanpa gangguan secara mental maupun secara psikis, juga tempat bermeditasi haruslah bersih dan tidak terganggu oleh suara, bau busuk dan gangguan nyamuk dan sebagainya.

1. Di tempat yang bersih sebaiknya ia duduk secara tetap, tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah, tertutup oleh rumput-rumput kusha, kulit menjangan dan kain, yang satu melapisi yang lainnya.
12. Di situ, duduk secara tegak di tempatnya, mengarahkan pikirannya pada suatu titik dan mengekang pikiran dan indra-indranya, sebaiknya ia berlatih yoga demi pembersihan jiwanya.
Sang Kreshna secara langsung mengajarkan teknik-teknik bermeditasi:
1) Carilah suatu tempat bermeditasi yang baik dan bersih dari segala kotoran, dan juga hal-hal yang kurang baik. Suatu tempat dekat sungai, di gunung, di pura, di taman bahkan di dalam kamar pribadi yang resik dan tenang suasananya akan amat bermanfaat untuk bermeditasi, karena memberikan suasana yang tenteram dan nyaman dalam hati sanubari kita.
2) Tempat duduk untuk bermeditasi ini boleh dibuat atau terdiri dari batu yang rata, atau sepotong papan yang rata, atau bantal dan apa saja yang cukup nyaman sebagai alas duduk. Tetapi harus diusahakan letaknya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, karena kalau terlalu tinggi bisa saja ia terjatuh kalau meditasinya memasuki trans atau tertidur sewaktu melakukan meditasi ini, dan kalau jatuh bisa-bisa melukai dirinya secara serius. Juga diusahakan tidak terlalu rendah agar tidak diganggu oleh serangga yang berbisa, atau nyamuk dan semut. Ini tentu saja berlaku untuk tempat di alam bebas atau di tempat-tempat yang banyak serangganya. Di dalam kamar pribadi yang tenang, sebenamya semuanya dapat diatur dengan baik.
3) Kusha adalah sejenis rumput. Kusha, kulit menjangan dan kain diperlukan pada zaman dahulu. Kusha diletakkan terbawah, kemudian di atas dilapisi dengan kulit menjangan, dan kemudian kain diletakkan teratas. Kalau menggunakan kulit harus diperhatikan bahwa kulit ini berasal dari seekor binatang yang meninggal dunia atau mati secara alami dan bukan terbunuh oleh manusia. Semua ini untuk memberikan rasa nyaman di masa-masa yang lalu. Sekarang ini dapat disesuaikan dengan keadaan; yang penting sederhana dan jauh dari keperluan duniawi yang serba luks, dan cukup kalau sudah terasa nyaman dan baik. (Contoh: kain yang tebal dan hanya selembar pun sebenarnya sudah cukup.)
4) Pikiran harus tenang dan lepas dari nafsu, ego, dan keserakahan. Bermeditasi sebenarnya berarti masuk ke dalam keheningan diri kita sendiri.
13. Tegakkanlah tubuh, kepala, leher, dan pandangan dipusatkan pada ujung hidung, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri.
14. Tenang dan tanpa rasa takut, teguh dan jauh dari perasaan seksual (brahmacharya), dengan mengendalikan diri dan duduk secara harmonis, pikirannya terpusat padaKu dan mencariKu terus.
Seseorang yang ingin bermeditasi kepadaNya harus duduk tegak, tanpa bergerak dan sebisa mungkin meluruskan kepala dan lehernya secara tegak dengan badannya, dan memusatkan pikirannya seakan-akan memandang ujung hidungnya. Tanpa menoleh ke manapun juga, tanpa rasa takut dan dengan hati yang tenang dan stabil; lepas dari segala macam pikiran harus memusatkan pikiran dan dirinya kepada Yang Maha Esa tanpa henti-hentinya.la harus lepas dari pikiran seksual pada waktu bermeditasi. Bahkan untuk seorang yang ingin menjadi bramacharya ada kriteria-kriteria tertentu yang harus diikutinya, dan kriteria-kriteria ini telah digariskan oleh Manu (manusia yang pertama di bumi) seperti berikut ini:
Seorang bramachari (yang menganut ajaran tidak melakukan hubungan seksual) harus mandi untuk membersihkan dirinya, dan ini harus dilakukannya sccara konstan. Harus pantang memakai perhiasan dan tidak ikut-ikutan dansa-dansi dan pertunjukan musik yang penuh dengan hura-hura. Pantang berjudi dan harus belajar tidur di lantai dan tidak memandang ke arah wanita. la harus sederhana cara makannya dan tidak mengenakan baju-baju yang mewah seperti sutra atau kain-kain yang lembut dan halus yang berkesan mahal, dan selalu harus memuja Yang Maha Esa dan hormat kepada para resi dan berdedikasi kepada guru-gurunya. la harus pantang berdebat dan berdiskusi dengan siapa saja atau mencampuri urusan orang-orang lain. la juga harus selalu berbicara yang jujur dan tidak menghina siapapun. la harus menganut ajaran ahimsa (tidak merusak atau membunuh atau melukai siapa dan apapun dengan cara apapun juga). la harus mengendalikan dirinya sampai lenyap semua rasa nafsu, amarah dan egonya. la harus menjaga agar spermanya tidak terpancar keluar, dan sebisa mungkin tidur seorang diri. Sperma yang terjaga baik di dalam badan seseorang akan menimbulkan sejenis aliran yang misterius di dalam tubuhnya dan cahaya dari aliran ini akan membuat prana dan pikiran orang tersebut itu menjadi stabil, dan akibatnya pikiran pun secara otomatis menjadi terarah dengan baik dan stabil ke arah Yang Maha Esa.
Obyek dan meditasi (dhyana-yoga) adalah meditasi kepadaNya (Yang Maha Pengasih) dan bertujuan mencapai kesatuan denganNya. Dalam melakukan meditasi seseorang harus secara teguh beraspirasi kepadaNya atau bisa-bisa (sering sekali ini terjadi) pikiran kita terbawa oleh ilusi yang aneh-aneh dan menyesatkan. Yang penting adalah menyatukan atau memfokuskan diri pada Sang Atman, "melihat Sang Atman melalui Sang Atman." Pikiran harus terang, tetapi itu saja tidak cukup. Pikiran juga harus selalu dipusatkan kepadaNya. Dan pemusatan pikiran ini harus tulus dan bersih.
15. Sang Yogi ini akan selalu harmonis jiwanya, bersatu dengan Sang Atman, dengan pikiran yang terkendali, menuju ke Damai - ke Nirvana atau Berkah Yang Agung yang ada di dalam DiriKu.
Yang disebut Nirvana, atau Kedamaian, atau Berkah (Kebebasan) ini adalah pemberian atau karunia dari Yang Maha Esa untuk seorang yogi yang penuh dedikasi kepadaNya. Tidak ada kesatuan yang dapat dicapai dengan Yang Maha Esa tanpa ada tekad yang kuat dari sang jiwa itu sendiri, dan Yang Maha Kuasa akan datang menolong mereka yang mencariNya dan membawa mereka ke arah Nirvana ini (kedamaian yang suci). Maka seyogyanyalah seseorang terus menerus berusaha dengan kepasrahan total kepadaNya dan dengan penuh disiplin dan dedikasi ke arahNya. Dan berkahNya akan turun dan menyatukan diri kita dengan DiriNya, dan kesatuan atau persatuan inilah yang disebut moksha (pembebasan).
16. Yoga ini sebenarnya bukan untuk seseorang yang makan terlalu banyak, dan juga bukan untuk seseorang yang terlalu menghindari makanan. Yoga ini pun bukan untuk seseorang yang tidur terlalu banyak atau yang tidak terlalu banyak tidur, oh Arjuna!
17. Yoga ini menghapuskan semua penderitaan seseorang yang berimbang (temperamen) dalam cara ia makan dan berekreasi, yang terkendali tindakan-tindakannya dan teratur bangun-tidurnya.
Seseorang yang mempunyai kebiasaan bermeditasi harus ingat bahwa ia harus hidup secara teratur dan seimbang dalam segala tindak-tanduknya sehari-hari. Adalah salah kalau ia makan terlalu banyak, karena bukannya ia akan makin kuat karenanya tetapi malahan fungsi pernafasannya dalam meditasi akan menjadi kacau, dan bagi seorang bramacharya kelebihan gizi malahan akan merusak semua usahanya untuk mengekang hasrat-hasrat seksualnya. Terlalu banyak makan dan (atau) kekurangan makan selalu akan menghasilkan kekacauan dalam fungsi-fungsi tubuh kita dan hilanglah keharmonisan dalam raga dan usaha spiritual kita. Semua yang kita lakukan sebaiknya tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, cukup-cukup sajalah, yang wajar-wajar dan tidak melebihi porsi maupun menguranginya secara drastis. Ini namanya harmonis dalam segala-galanya.
Makanan yang dimakan pun sebaiknya yang sesuai dengan kebutuhan tubuh kita dan cocok dengan pencernaan setiap individu secara masing-masing, tidak ada yang boleh dipaksakan ataupun memakan makanan yang sebenarnya tidak perlu untuk tubuh kita. Juga secara mental dan spiritual harus diperhatikan dengan amat sangat agar tidak memakan sesuatu hasil dari perbuatan tidak baik atau negatif, seperti hasil dari korupsi atau uang haram lainnya, tetapi betul-betul harus hasil keringat yang halal dan suci.
Puasa yang amat berkepanjangan harus dicegah, puasa itu perlu tetapi harus teratur dan tidak merusak tubuh kita, puasa yang teratur akan meningkatkan vitalitas dan tingkat spiritual jiwa dan raga kita. Begitupun dengan rekreasi, ini pun penting untuk kita asal yang sehat dan teratur, untuk pikiran, mental dan raga kita agar segar dan penuh dengan dinamika yang sehat. Rekreasi dalam bentuk olah-raga, perjalanan ke alam bebas seperti ke hutan, gunung, ke sungai dan lain sebagainya ini amat menyehatkan dan sangat menyegarkan tubuh dan pikiran kita, tetapi semua ini harus dilakukan secara teratur dan konstan, sehingga tidak merugikan diri kita maupun lingkungan kita dalam arti yang seluas-luasnya.
Cara-cara kehidupan lainnya seperti berdagang, bekerja, berdoa, memuja Yang Maha Esa, berbuat amal, menolong yang harus ditolong, menghormati orang-tua dan yang pantas dihormati, dan lain sebagainya harus dilakukan dalam batas-batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan. Bangun-tidur pun harus diatur yang seimbang, tidur sebaiknya cukup enam jam saja, tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan usia seseorang. Seorang yang ingin tekun bermeditasi harus selalu jalan ditengah-tengah, maksudnya penuh disiplin dan seimbang dalam segala perbuatannya. Setiap aksi atau perbuatannya sebaiknya tidak berlebihan, terkendali dan wajar-wajar saja. Tidak usah terburu tetapi juga tidak lambat. la selalu stabil dan berimbang baik dalam bertutur-kata maupun dalam setiap pekerjaannya. la dengan demikian secara lambat laun akan bebas dari segala penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatannya sendiri yang terlalu banyak atau yang terlalu sedikit, dan juga oleh akibat-akibat dari perbuatan itu sendiri seperti rasa kurang puas, marah, kesukaran, ketakutan, keresahan dan banyak lainnya.
18. Sewaktu pikiran yang penuh disiplin dipusatkan pada Jati DiriNya (Sang Atman) sendiri (dan tidak pada hal-hal yang lainnya), bebas dari semua nafsu, maka disebutlah orang ini harmonis dalam yoganya.
Inilah intisari dari meditasi, seseorang yang menyerahkan dirinya secara total atau penuh kepada Sang Atman, maka ia akan mengenal Sang Atman secara lebih jelas, dan seperti yang kita ketahui dari Bhagavat Gita maka Sang Atman yang bersemayam di dalam diri kita ini merupakan saksi dari setiap tindakan kita, bahkan dari pikiran dan pancaindera kita sendiri. la mengetahui semua kejujuran, kepalsuan dan kemunafikan kita, tidak ada yang terhindar dari penglihatanNya, maka dikatakan kalau kita bebas dari segala nafsu-nafsu kita, rnaka Sang Atman akan nampak lebih jelas dan terasa semua instruksi dan nasehat-nasehatnya untuk kita. Maka disebut, seseorang yang disiplin dengan meditasinya, dan puas dengan dirinya sendiri, dan pikirannya tidak menerawang pada obyek-obyek indranya yang terdapat di luar dirinya sendiri, maka sekali ia mencapai kestabilan harmonislah meditasi atau yoganya.
19. Seperti pelita yang terletak di suatu tempat yang tak berangin, tidak berkedip, begitulah juga seorang yogi yang telah mengendalikan pikirannya, bersatu dengan Sang Atman, Sang Jati Dirinya Sendiri.
Lampu pelita tidak mungkin dapat bertahan dari terjangan angin kalau diletakkan di tempat yang bertiup banyak angin (atau tempat yang terbuka), begitupun pikiran dan hati kita tak akan mungkin stabil kalau setiap saat selalu diterjang oleh angin-angin nafsu dan pikiran kita. Maka sebaiknya pelita ini diletakkan jauh dari nafsu-nafsu ini agar tidak terganggu pancaran cahayanya. Seseorang yang ingin mantap dan stabil meditasinya harus menjauhi obyek-obyek nafsunya, dan mengendalikan dirinya sesuai dengan keburuhan-kebutuhannya yang cukup saja, tidak lebih dan tidak kurang; jangan mengumbar-umbar nafsu tanpa kendali dan hilang ditelan oleh gelombang-gelombang nafsu ini, yang sifatnya amat dahsyat dan menyesatkan, dan menggelapkan pikiran dan jiwa kita. Bangkitlah ke tingkat intelektual (buddhi) kita dan tinggalkan tingkat yang rendah di mana ego dan nafsu kita meraja-lela tanpa kendali. Dan sekali kita bekeija dengan intelektual kita yang penuh dengan 'rasio,' maka meditasi kita akan stabil dan tercapailah persatuan dengan Sang Atman.
20. Sewaktu pikiran yang terkendali oleh upaya-upaya konsentrasi menjadi stabil, sewaktu seseorang melihat (sadar akan) Dirinya oleh dirinya dan merasa bahagia dengan Dirinya;

21. Sewaktu ia menemukan kebahagiaan Nan Agung (tak ada taranya)----kebahagiaan yang dapat terjangkau oleh buddhi (intelektual) tetapi jauh dari indra-indra sekali tercapai tahap ini, maka seseorang tak akan pergi jauh dari kebenaran ini.
22. Dan setelah mendapatkan sesuatu yang begitu besar labanya itu, ia berpikir tak ada hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari hal tersebut, dan sekali ia merasa mantap, ia tak tergoyahkan oleh kepedihan yang amat sangat sekalipun.
23. Dan hal itu disebut yoga, yang memutuskan hubungan dengan kedukaan (penderitaan). Yoga ini harus ditekuni sepenuh hati dan tanpa henti-hentinya (dengan hati yang tak tergoyahkan).
Melalui meditasi yang berkesinambungan, pikiran akhirnya akan dapat dikendalikan dan teguh tertanam dalam hadirat Yang Maha Esa semata. Sang yogi yang sudah mencapai tahap seperti ini kemudian tinggal di dunia ini tanpa terpengaruh oleh hal-hal duniawi untuk selama-lamanya. Yang dimilikinya hanyalah satu, yaitu kebahagiaan yang sadar akan ke Maha EsaanNya. Ia tak memerlukan bentuk-bentuk kebahagiaan duniawi lainnya, baginya Yang Maha Esa adalah semuanya. Kebahagian semacam ini sukar dan tak dapat diterangkan atau berada di luar jangkauan indra-indra kita, karena hanya dapat dihubungkan oleh buddhi kita yang telah bersih dan jernih, dan sifatnya ini amat abadi, suci, nyata, dan agung.
Seorang yogi yang telah mencapai kebahagiaan ini akan berpikir bahwa tidak ada keuntungan atau laba yang lebih tinggi nilainya daripada kebahagiaan ini di dunia. Baginya semua bentuk kekayaan duniawi seperti harta, kedudukan, kekuasaan, kehormatan, kebanggaan atau keterkenalan dan lain sebagainya adalah bersifat hanya sementara saja, jauh, tak menentu dan sia-sia saja untuk dipertahankan atau dianggap milik pribadi. Bahkan kebahagiaan di svarga-loka pun dianggapnya tidak ada gunanya sama sekali. Dalam keadaan menderita sekalipun ia tegar seakan batu-karang. Badannya boleh hancur tetapi jiwanya tak tergoyahkan. Halilintar, panas, hujan dan dingin boleh menyentuh dan merusak raganya, tetapi jiwanya tak akan tersentuh sedikitpun. Kehinaan dan penderitaan bisa saja menyerang dirinya tetapi jiwanya tak akan terganggu atau terusik, rasa damai di dalam jiwanya akan berjalan terus, karena yogi ini telah bangkit jauh dari tubuhnya, dari raga duniawinya. Di dunia ini ia dianggap memiliki raga, tetapi sebenamya bagi ia sendiri raga itu telah mati dan bersifat spiritual karena digunakannya untuk tujuan-tujuan bersatu denganNya. Tak ada seorangpun atau kekuatan apapun yang dapat mendominasinya, karena ia telah tegar di dalam Yang Maha Esa dan bekerja di dunia ini dalam kehidupan yang bersifat abadi, yaitu semata-mata untuk Yang Maha Esa.
Keadaan semacam ini --- yang disebut kebebasan dari semua penderitaan adalah yoga yang sejati, yang merupakan kesadaran akan Yang Maha Kuasa secara nyata. Tetapi kondisi yoga semacam ini tidak mudah dicapai, harus dilalui dengan praktek-praktek nyata yang tegar dan tanpa mudah putus asa, atau dengan kata lain tanpa henti-hentinya. Seorang pemula biasanya selalu patah-semangat kalau tidak langsung melihat hasil meditasinya, dan setelah beberapa hari, beberapa minggu, atau pun beberapa bulan yang penuh meditasi dan disiplin yang ketat ia tak melihat sesuatu hasil, maka ia akan ragu-ragu dan mulai berpikir: "Derita disiplin ini sudah terlalu banyak bagiku, tak kulihat suatu akhir (hasil) dari usaha-usahaku ini. Aku jadi ragu apakah disiplin ini akan menghasilkan sesuatu?" Dan bisa saja pemula itu patah semangat di tengah jalan. Maka sebaiknyalah meditasi dan disiplin yang ketat dihayati, diyakini dan dicintai, dan jangan sekali-kali ada perasaan kalah untuk seorang pemula, sebab jalannya memang panjang dan harus selalu yakin akan petuah-petuah gurunya bahwa akhir jalan memang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Untuk itu buktinya adalah sang guru atau orang-orang suci lainnya. Suatu hari lambat atau cepat ia pasti akan mencapai tujuannya, yaitu Yang Maha Esa.
24. Menanggalkan semua nafsu (keinginan-keinginan) yang lahir dari sankalpa (tekad atau imajinasi yang penuh dengan keserakahan), mengendalikan semua indra-indranya dari semua segi dengan pikirannya;
25. Sedikit demi sedikit, ia mencapai ketenangan dengan bantuan buddhinya yang dikendalikan oleh ketegarannya dan memusatkan pikirannya pada Jati Dirinya, janganlah ia berpikiran hal-hal yang lainnya.
Dalam dua sloka di atas terlihat intisari ajaran Sang Kreshna mengenai Sadhana (disiplin) untuk yoga ini:
a. Menanggalkan semua bentuk nafsu dan keinginan, karena semua ini lahir dari sankalpa dan membuat atau pikiran tidak tenang. Dengan menanggalkan nafsu-nafsu ini, kita diajak untuk bertenang-diri.
b. Pengendalian atau penghentian keinginan-keinginan indra adalah tahap yang berikutnya. Dengan tekad kita, maka pikiran kita harus dicoba untuk menguasai indra-indra kita dari setiap sisi dan sudut.
c. Dan setelah gelombang-gelombang nafsu atau keinginan kita sudah mereda, maka dengan bantuan buddhi kendalikan lagi gelombang-gelombang ini dengan ketegaran intelektual kita. Dengan kata lain belajar untuk menghilangkan rasa takut. Karena mereka yang telah berhasil mengendalikan indra-indra mereka akan diserang oleh rasa takut seperti "pikiranku terkendali, dapatkah aku berpikir dengan baik sekarang?"; "indra-indraku terkendali, dapat kah aku bekerja atau berfungsi dengan baik?"; dan lain sebagainya. Semua rasa takut itu akan hilang kalau seorang guru yang baik dan bijaksana ada di sisi anda dan selalu memberikan semangat, wejangan dan berkahnya tanpa bosan-bosannya. Dan di atas semua guru-guru di dunia ini siapa lagi yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui kalau bukan Sang Atman, Sang Adhi Guru sendiri yang bersemayam dalam diri kita ini.
d. Pikiran kita (mana) harus selalu bersandar pada Sang Atman. Jangan lupa bahwa obyek meditasi adalah Yang Maha Esa, dan sekali duduk bermeditasi kendalikan pikiran-pikiran yang selalu terbang ke obyek-obyek yang lain. Tariklah pikiran yang lari ini ke obyek utama yang semula, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Caranya jadikanlah pikiran itu bersifat menerima dengan sadar kehadiran Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita, dan disiplin ini penting sekali untuk tujuan spiritual. Sekalipun telah tercapai stabilitas dalam pikiran kita bisa saja, pikiran ini melayang lagi ke arah yang lainnya, jadi selalulah berlatih tanpa bosan dan henti, dan dedikasi dan iman yang kuat. Kuasailah sang pikiran ini dan bawalah ia kembali ke jalan Yang Maha Esa, inilah seninya meditasi.
e. Seorang yogi harus bertindak seperti seorang polisi, dan sang pikiran diibaratkan seperti seorang pelarian. Maka, pekerjaan seorang polisi haruslah selalu mengejar para pelarian ini dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar, dan sudah tugas seorang polisi untuk dengan tanpa bosan-bosannya bekerja seumur hidup menangkap para pelarian ini. Ketekunan semacam ini disebut abhyasa dan merupakan suatu tindakan yang amat positif dalam meditasi. Tangkaplah selalu pikiran-pikiranmu dan giringlah mereka ini ke jalan yang satu itu, yaitu jalan ke Jati Diri kita sendiri (Sang Atman). Dengan kata lain abhyasa berarti, "giringlah kembali pikiran itu dari pengembaraannya dan tunjukkanlah jalan ke Sang Atman."
Abhyasa ini seharusnya dilakukan setiap hari, dan bukan soal satu atau dua jam meditasi yang penting saja, tetapi kesadaran dan pengendalian diri yang dicapai dalam meditasi ini seharusnya terlaksana juga sepanjang hari dalam segala tindak-tanduk kita seharian itu, bahkan pada waktu tidur sekalipun. Jagalah baik-baik dan kendalikan diri dan pikiran kita, sehari-hari sama seperti waktu kita mengendalikan pikiran kita sewaktu bermeditasi. Jangan sampai kontrol diri kita lepas, karena lima menit saja kita marah atau kehilangan kesabaran karena sesuatu hal, maka sia-sialah satu atau dua jam meditasi kita. Jadi siaga dan siaplah selalu; dengan penuh ketekunan dan dedikasi sadarlah bahwa meditasi itu ibarat sebuah gunung yang tinggi dan penuh dengan tanjakan dan halangan-halangan yang berat dan ibarat sebuah pendakian maka jalan itu masih jauh dan puncaknya sukar untuk ditaklukkan. Tetapi seseorang yang penuh dengan dedikasi dan iman pasti akan mencapainya, karena hukum alam (kosmos) akan berlaku di dalam dunia spiritual ini, yang selalu mendorong usaha seseorang ke tujuanNya, sekali hal itu telah ditetapkan oleh yang bersangkutan. Tak ada usaha yang sia-sia kalau dilakukan demi Yang Maha Kuasa, percayalah dan yakinlah akan hal ini! Yang diperlukan adalah kesabaran yang penuh dengan iman dan dedikasi!
26. Semakin sering pikiran yang tidak stabil dan gemar mengembara ini lari jauh, semakin sering jugalah seseorang seharusnya menahan dan menariknya kembali ke arah Jati Dirinya (Sang Atman).
Tentu saja usaha menarik kembali pikiran kita yang gemar lari kesana-kemari mencari obyek-obyek indranya adalah usaha yang amat sulit dan memerlukan tekad yang amat kuat. Sering sekali seseorang merasa amat letih dan sia-sia saja dan febih baik menyerah saja. Dan sedikit saja kita lengah dan kalah sang pikiran ini sudah mengatur siasat baru dan bingunglah orang yang sedang berusaha ini. Dan pada saat itulah kita harus berteriak minta tolong pada Sang Adhi Guru, Sang Atman agar dikaruniakan rahmat dan karuniaNya, dan dengan jalan ini seseorang ini akan kembali lagi ke arah dhyana-yoga.
27. Kebahagiaan yang tertinggi (suci dan agung) datang pada seorang yogi yang pikirannya damai, yang nafsu-nafsunya tenang, dan yang telah lepas dari dosa dan telah bersatu dengan Yang Maha Esa.
28. Yogi semacam ini, yang selalu harmonis dengan dirinya, telah menjauhi dosa, dengan mudah ia merasakan Rahmat dan Karunia abadi yang dihasilkan oleh hubungannya dengan llahi (Yang Maha Abadi).
Berbahagialah seorang yogi yang telah mencapai tahap ini, setelah bergulat dengan hidup ini selama bertahun-tahun, bahkan mungkin melalui berbagai kehidupan di masa-masa yang silam, kemudian ia menyatu dengan Yang Maha Esa pada suatu hari; dan Bhagavat Gita menyebut hal ini dengan nama brahma-samsparsham, yaitu kontak dengan llahi. Baginya Tuhan itu bukan suatu hal yang tak nampak dan abstrak, tetapi baginya tuhan itu adalah suatu kontak yang nyata dan itu berarti sang yogi telah sampai ke suatu titik di mana waktu sudah tidak berarti lagi. Sinar llahi telah mekar di dalam dirinya, dan jiwanya telah menyatu dengan kenikmatan llahi yang tiada taranya. Di dalam agama Islam salah satu nama Yang Maha Kuasa adalah Azh Zhaahir (Yang Maha Nyata), di dalam keterangan di bawah nama tersebut kami temukan catatan seperti berikut: "Allah SWT Nyata Kebenaran, Perbuatan dan Ada-Nya bagi orang-orang yang berakal yang mau merenungkan ciptaan-ciptaanNya."
29. Dirinya telah harmonis dalam yoga, ia melihat satu Jati Diri bersemayam dalam semua makhluk dan semua makhluk dalam satu Jati Diri, di mana pun ia melihat yang sama (Satu Jati Diri yang ada dan hadir semenjak masa silam).
Ada tiga faktor utama dalam evolusi manusia yang sedang menuju ke arah jalan spiritual:
a. Sewaktu seseorang mulai berhasrat memasuki hal-hal kebatinan dan mulai menyelami dirinya sendiri. Dan setelah beberapa waktu kemudian ia sadar akan hadirnya Sang Atman yang berdiri dan abadi sifatnya.
b. Dalam tahap kedua ini orang tersebut sadar bahwa Sang Atman tidak saja hadir dalam dirinya sendiri, tetapi juga bersemayam secara sama rata pada makhluk-makhluk lainnya sama halnya seperti dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain ia sadar bahwa Sang Atman (Yang Maha Esa atau Sang Kreshna) hadir di mana saja dan kapan saja.
c. Seperti disebut di sloka 29 di atas, maka orang ini sadar bahwa Yang Maha Esa itu adalah Inti dari setiap makhluk dan benda di alam semesta ini. Dengan kata lain Yang Maha Esa (Sang Atman dalam hal ini) hadir dalam setiap jiwa dan benda dan semua itu sebaliknya juga hadir dan ada di dalam Yang Maha Esa.
Tahap kesadaran ini kalau dicapai seseorang secara benar dan tulus, maka ibaratnya adalah seperti baru saja sadar dari suatu mimpi. la tiba-tiba sadar bahwa matahari, rembulan, planet bumi, bintang-bintang, siang dan malam, waktu, langit, udara, indra-indra, buddhi, dan lain sebagainya, hanyalah hasil pekerjaan Yang Maha Pencipta. Hanya ialah satu-satuNya Yang Menguasai dan Mengendalikan semua ini sesuai kehendakNya, dariNya dan untukNya semata.
Seseorang yang telah sadar ini akan selalu mendoakan kesejahteraan orang lain dan ia selalu berhasrat untuk membahagiakan orang lain seperti kebahagiaan yang ia dapatkan dari Yang Maha Kuasa untuk dirinya sendiri. Seorang yang berorientasi pada hal-hal keduniawian selalu memuaskan indra-indranya. Berbeda dengan ini, maka seseorang yang telah mencapai samadhrishti (kesadaran) ini sadar bahwa kebahagiaannya tak mungkin tercapai dengan penderitaan pada orang lain.
Tetapi mengapa ajaran Bhagavat Gita yang sederhana ini sukar untuk diikuti atau dipraktekkan? Karena umumnya kita manusia selalu menganut prinsip bahwa "semua ini milikku," dan tak mau menganut prinsip bahwa "semua ini bukan milikku" dan bahwa "Satu adalah semua ini dan semua ini adalah Satu." Dengan membeda-bedakan antara "milikku" dan "milik orang lain," maka Arjuna pun masuk dan terhunjam ke . depresi yang maha dahsyat, begitupun kita manusia ini dalam hidup kita sehari-hari. Dan selama hidup kita masih terombang-arnbing tanpa kendali, selama itu pula manusia akan merupakan sumber tragedi bagi dirinya sendiri dan juga lingkungannya. Dan untuk menyembuhkan penyakit ini Bhagavat Gita mengajarkan "kekanglah pikiranmu, kendalikanlah pikiranmu, stabilkanlah pikiranmu, pusatkanlah pikiranmu pada Sang Atman! Sadarlah dan lihatlah Sang Atman yang hadir pada setiap makhluk!" Obat dari penyakit manusia ini di mana saja adalah sama, yaitu samadrishti (kesadaran).
30. Seseorang yang melihatKu di mana pun juga dan melihat setiap hal dalam DiriKu, maka orang itu tak pernah hilang dari DiriKu dan Aku tak pernah hilang darinya.
Bagi seorang yang telah sadar, setiap makhluk baginya adalah baju atau manifestasi yang beraneka-ragam dari Yang Maha Esa itu sendiri. Semuanya di alam semesta ini tanpa kecuali adalah la dan kebesaranNya semata. Sang yogi ini tak sekejappun akan kehilangan kontak dengan DiriNya, ia selalu dituntun olehNya. Yang Maha Kuasa tak akan hilang sekejapun dari pandangan, perasaan, pikiran Sang Yogi ini. la adalah selalu hadir di dalam dirinya setiap saat, setiap detik. Begitulah besar kasih-sayang Tuhan kepada diri kita ini sebenarnya, dan semua kebutuhan kita dicukupiNya dengan caraNya sendiri, tanpa perlu kita memintanya lagi. Om Tat Sat.

31. Seorang yogi yang telah tercipta kesatuannya, memujaKu sebagai yang berada dalam setiap ciptaan, ia hidup di dalamKu, betapapun aktifnya ia (bekerja).
Di manapun ia berada dan apapun jenis pekerjaannya, sang yogi ini telah bersatu dengan Yang Maha Esa dalam segala tindak-tanduknya. Apapun yang nampak dari luar tentang diri dan pekerjaan maupun kesibukannya tidaklah penting, yang terutama adalah kesatuan yang telah terjalin antara orang ini dengan Sang Penciptanya. Di dalam dirinya telah tumbuh kasih sayang Ilahi yang tanpa batas. Musuh boleh menghina dan menghujam dirinya, sahabat boleh menyanjung dan tersenyum kepadanya, tetapi baginya semua itu adalah tidak lain dan tidak bukan variasi-variasi dari Sang Pencipta yang bersemayam dalam semua bentuk-bentuk ciptaanNya sendiri. la melihatNya di mana-mana tanpa kecuali, dan tanpa diskriminasi. Bagi yogi semacam ini pemujaan kepada Yang Maha Esa bukan dalam bentuk upacara-upacara atau mantra-mantra suci, tetapi pengorbanan yang tulus dan suci demi dan untuk Yang Maha Esa semata-mata adalah dengan bekerja tanpa pamrih.
32. Seorang yogi yang sempurna adalah seseorang yang melihat dengan pandangan yang sama semua benda dan makhluk, seperti terhadap dirinya sendiri, baik dalam suka dan duka. (Contoh: suka dan dukanya makhluk lain juga terasa olehnya sebagai suka dan dukanya).
Seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi selalu akan sedih dan senang setiap ia menjumpai kesedihan atau kesenangan orang lain, bahkan makhluk lain sekalipun, karena ia merasa sebagai satu kesatuan dengan alam semesta ini beserta segala isinya. Dan bagaimana mungkin orang semacam ini melukai atau membunuh tubuh makhluk lain, toh ia merasakan semua suka dan duka makhluk lainnya; ia merasakan persaudaraan universal di antara sesama makhluk ciptaan Yang Maha Esa.
Berkatalah Arjuna:
33. Yoga untuk menenangkan pikiran yang telah Dikau terangkan ini, oh Kreshna, di dalamnya tak terlihat fondasi yang stabil, karena pikiran itu penuh dengan keresahan (dan tak menentu).
34. Karena pikiran itu sangat mudah berubah-ubah, oh Kreshna! Pikiran itu liar, kuat dan keras-kepala. Kukira pikiran itu sukar dikendalikan ibarat mengendalikan angin.
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
35. Tentu saja, oh Arjuna, pikiran itu sukar untuk dikendalikan dan memang pikiran itu resah sifatnya. Tetapi dengan usaha yang terus-menerus (abhyasa) dan dengan menjauhi godaan-godaan (vairagya) maka pikiran itu dapat dikendalikan.
Abhyasa, yaitu secara tekun dan terus-menerus berusaha mengendalikan pikiran ke arah yang positif dan tidak ikut-ikutan dengan pikiran-pikiran negatif yang selalu berusaha secara licik menjerumuskan kita ke arah yang lain. Abhyasa juga berarti secara berulang-ulang menguatkan diri dengan membaca mantra-mantra suci, mendengarkan dan bergaul dengan para rohaniwan dan orang-orang suci seperti para guru, pendeta, resi dan sebagainya. Juga berarti untuk selalu mempelajari buku-buku dan hal-hal yang bersifat rohani, selalu berdoa dengan tulus dan memanggil namaNya dengan hati yang bersih dan tanpa pamrih sehingga air-mata kita turun tanpa terasa.
Vairagya, melepaskan ikatan-ikatan kita dengan nafsu, indra dan sifat-sifat duniawi kita yang selalu berada dalam cengkeraman sang prakriti dan guna. Dengan selalu melakukan abhyasa secara tekun, maka secara tahap demi tahap segala godaan akan teratasi dan seseorang akan sadar bahwa hal-hal duniawi ini hanya sementara saja sifatnya dan merupakan pentas penderitaan yang tak kunjung habis-habisnya.
36. Yoga ini sukar tercapai oleh ia yang tak dapat mengendalikan dirinya. Tetapi seseorang yang berjuang dengan jalan yang benar dan penuh kendali diri akan mencapainya. Itulah keputusan Ku.
Yang Maha Pengasih, Sang Kreshna menegaskan di sini bahwa walaupun yoga ini sukar untuk dicapai oleh mereka yang dirinya kurang disiplin, tetapi bagi yang mampu mengendalikan dirinya dengan baik, maka jalan ini tidaklah sukar, dan itu sudah menjadi keputusanNya yang tidak dapat diganggu-gugat lagi.
Ada beberapa cara sadhana (metode-metode disiplin) lagi yang harus diikuti oleh mereka yang telah belajar mengendalikan diri mereka, seperti berikut ini:
a. Lepaskanlah atau jauhilah semua obyek-obyek kesenangan duniawi, lepaskan juga keinginan-keinginan untuk obyek-obyek ini.
b. Pusatkan pikiranmu selalu ke arah Yang Maha Esa.
c. Yakinlah bahwa hanya Satu Tuhan yang memenuhi kita dan alam semesta ini beserta seluruh isinya. Yakinilah bahwa jiwa kita, semua benda dan makhluk di alam semesta ini tersambung dalam satu untaian kesatuan Ilahi yang nyata.
d. Selalu menyadarkan diri bahwa setiap tindakan diri kita, atau aktivitas pikiran dan indra-indra kita adalah bukan perbuatan Diri kita, tetapi diri kita yang dilakukan oleh guna (sifat-sifat alami), Diri kita sendiri bertindak sebagai saksi.
e. Tanamkanlah pada diri kita bahwa semua tindakan pikiran dan obyek sifatnya hanya sementara dan selalu tidak abadi. Yang Abadi hanya Yang Maha Esa dan la bersemayam dalam diri kita sendiri. Yesus pernah berkata, "Kerajaan Sorga itu ada di dalam dirimu."
f. Pilihlah salah satu manifestasi Yang Maha Kuasa dan berkonsentrasilah dengan penuh kepadaNya secara mental. Bagi seorang Hindu misalnya pada Sang Kreshna atau Sang Rama atau pada Shiva, Vishnu, Ganesha dan sebagainya. Bagi yang beragama Buddha pada Sang Buddha, dan bagi yang menganut agama lain masing-masing pada obyek yang seharusnya diperbolehkan oleh agama-agama tersebut, Kemudian selalulah berpikir bahwa Yang Maha Kuasa dalam manifestasi yang dipilih ini, selalu hadir sifatNya. Hormatilah la dan pujalah la dengan cara kita masing-masing sesuai dengan aturan dan hati nurani. Bagi seorang Hindu misalnya memuja dengan mempersembahkan secara tulus kasih-sayang kepada sesamanya, mempersembahkan sekuntum bunga atau sehelai daun, atau apa saja yang tulus dan bermanfaat bagi sesamanya dan Yang Maha Esa dalam tindak-tanduk setiap hari.
g. Adalah perlu dihayati bahwa semua tindakan ini selalu harus bersifat tulus dan murni, dan selalu menjadi kebiasaan dan kenyataan dafam kehidupan kita sehari-hari, dan tanpa pamrih. Jangan sekali-kali melakukannya demi kepentingan pribadi sekecil apapun kepentingan itu. Dalam setiap sukses maupun kegagalan selalulah bersifat tenang tanpa terusik jiwanya, dan selalulah berpedoman bahwa kita ini hanya alat belaka ditanganNya dan setiap tindakan dan pengorbanan kepada semuanya adalah atas kehendakNya sesuai dengan yang la kehendaki!
Berkatalah Arjuna:
37. Seseorang yang dirinya tak dapat dikendalikan, tetapi memiliki shraddha (kepercayaan), yang pikirannya pergi jauh dari yoga dan tak dapat mencapai kesempurnaan yoganya, ke arah manakah ia akan pergi, oh Kreshna?
Pertanyaan Arjuna ini singkat tetapi sangat bermakna. Bukankah itu sebenarnya masalah kita semua juga, yang sering penuh dengan kepercayaan pada Yang Maha Kuasa, tetapi sering tindak-tanduk kita tak sehat dan tidak terkendali, dan ini berlangsung sampai kita mati suatu saat. Sering pikiran kita menerawang ke soal-soal duniawi tanpa kendali padahal pada waktu yang bersamaan kita yakin akan kekuasaan Yang Maha Esa. Lalu ke mana ia akan pergi, kalau ia mati dalam perjalanan hidupnya, padahal keyakinanNya pada Yang Maha Esa belum sempuma dan ia masih jauh dari kebijaksanaan spiritual? Bagaimana nasibnya selanjutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini amat menarik untuk dipelajari!
38. Bukankah ia lalu binasa ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah, oh Kreshna, kehilangan kedua-duanya, tidak tegar dan kacau jalannya dari Yang Maha Esa.
39. Oh Kreshna, hilangkanlah secara tuntas keragu-raguanku ini, karena tiada seorangpun yang dapat kucari selain Dikau, yang dapat menghancurkan keragu-raguan ini.
"Kehilangan kedua-duanya" --- yang dimaksud Arjuna, bukankah orang semacam itu akan kehilangan dua kesempatan yang amat baik, yaitu kehidupan ini dan kemudian juga kehidupan yang abadi, yaitu kesatuan dengan Yang Maha Esa. Pertanyaan Arjuna amat wajar dan merupakan pertanyaan kita semua. Bagaimana nasib seseorang yang sedang berusaha ke arahNya, dan belum apa-apa sudah mati di tengah jalan, karena memang pendek umurnya atau karena musibah-musibah tertentu. Bukan kah ia lalu ibarat segumpalan awan yang terpecah-pecah tertiup angin, lalu bagaimana nasib selanjutnya dari orang ini? Contoh lain seseorang selama ini ia merasa bekerja tanpa pamrih demi Yang Maha Esa, tetapi pada saat-saat kematiannya karena sesuatu dan lain hal maka ia menjadi lemah mentalnya dan terikat pada ikatan-ikatan duniawinya, apakah yang akan terjadi padanya?
Bersabdalah Yang Maha Pengasih:
40. Oh Arjuna, orang semacam itu tak akan hancur baik di dalam hidup ini maupun di dalam kehidupan yang akan datang; karena seseorang yang bekerja demi kebenaran tak akan mengarah ke jalan penderitaan.
Sang Kreshna menegaskan bahwa seseorang yoga-bhrista (yang mengamalkan yoga atau yang belajar yoga ini) tak akan pernah menuju ke arah yang salah (jalan penderitaan) selama ia bekerja demi dharma (kebenaran demi Yang Maha Esa). Jadi janganlah khawatir karena Yang Maha Esa itu bukanlah seorang tiran, sebaliknya Ia adalah Maha Pengasih dan Penyayang, dan la selalu tahu akan kelemahan-kelemahan manusia yang la ciptakan ini; selamanya la akan selalu mengarahkan kita ke arah benar. Inilah salah satu inti ajaran Bhagavat Gita yang amat penting bahwa Yang Maha Esa tidak pernah membiarkan pemujaNya atau ciptaan-ciptaanNya terjerumus ke lembah dosa secara terus-menerus dan selalu mendorong kita semua dan para makhluk-makhluk lainnya ke arahNya Sendiri. Pesan-pesan Bhagavat Gita adalah pesan-pesan yang penuh dengan harapan dan cinta-kasih antara Yang Maha Esa dan kita semuanya. Langkah demi langkah, tetapi pasti seseorang aka diangkatnya dari dosa dan dituntun ke arahNya, jadi selalu berimanlah kepadaNya di kala suka dan duka, selalu bekerja demi Yang Maha Esa dalam segala aspek kehidupan kita. Bergaullah selalu dengan orang-orang yang dianggap suci agar selalu mendapatkan petunjuk-petunjuk ke arahNya. Penting sekali untuk tidak melupakan kehadiranNya setiap saat dalam kehidupan kita.
Apapun cobaan-cobaan yang kita hadapi, kegagalan-kegagalan yang kita rasakan dan jatuh-bangun yang kita alami, jangan sekali-kali kita lupa bahwa yang kita tuju adalah persatuan dengan Yang Maha Esa. Sering sekali terjadi dalam segala kebenaran dan kebaikan yang kita lakukan, bahkan sesudah memujaNya dengan sepenuh hati, dan sudah bergaul dengan orang-orang yang suci, toh ada saja dosa-dosa yang kita lakukan dengan atau tanpa sadar. Janganlah lalu ragu-ragu akan dirimu pada saat-saat ini, tapi bangkitlah lagi dan mohonlah kepadaNya untuk menuntun kita lagi. Ia pasti akan menuntun kita ke arah yang benar. Langkah demi langkah kita akan menjadi bersih sesuai dengan kehendakNya. Selama kita berusaha keras untuk membersihkan diri, maka suatu saat kita pasti akan bersih dan kita akan meningkat ke tahap evolusi spiritual yang berikutnya, yang lebih tinggi sifatnya, sampai kita akan belajar untuk menjadi sadar dan pasrah secara total dan tulus, dan hanya bekerja sesuai dengan bisikan-bisikan Sang Atman yang Maha Pengasih dan Penyayang. Pada tahap ini kita akan menyerahkan jiwa-raga kita secara utuh, dan sesudah itu hanya ada jalan yang makin menanjak ke atas dan tak ada jalan turun lagi, dan jalan naik yang disebut tangga evolusi ini banyak ragam dan coraknya, semuanya sesuai kehendakNya semata yang mungkin bagi setiap individu terasa lain pengalaman-pengalamannya, tetapi bagi Yang Maha Kuasa sama saja sifatnya.

41. Setelah mencapai loka-loka di mana hidup orang-orang yang suci dan setelah tinggal di tempat ini bertahun-tahun lamanya, maka sang yoga-bhrista ini akan lahir kembali di sebuah keluarga (rumah) yang suci dan makmur.
Seorang yoga-bhrista (yang meniti jalan ke Yang Maha Esa) tidak pergi ke neraka sewaktu ia meninggal-dunia, tetapi pergi ke punyakritamlokan, yaitu loka-loka di mana hidup orang-orang yang selama ini hidupnya bekerja demi kebenaran. la pergi ke tempat yang lebih tinggi "status" nya dibandingkan bumi ini. Dan kemudian setelah menjalani kehidupan selama bertahun-tahun (sesuai dengan karmanya), ia kembali lagi ke bumi ini sebagai manusia yang lahir di suatu tempat yang suci dan makmur, di mana sang yogi ini mendapatkan kesempatan lagi untuk meniti lebih mantap lagi ke arah Yang Maha Esa. (Orang-orang Hindu percaya bahwa bumi ini sebenarnya tempat yang paling tepat untuk mengenal Yang Maha Esa dengan baik, dan adalah tugas manusia untuk mengenalNya di bumi ini. Hidup sebagai manusia dianggap sebagai hidup yang paling sempurna, bahkan para dewa-dewa sangat menginginkannya). Bumi ini menyediakan segala sarana untuk kita agar lebih cepat mencapai moksha, seyogyanyalah manusia tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini dan menyesatkan dirinya ke dalam ilusi sang Maya.
42. Atau ia akan lahir di sebuah keluarga yang telah menerima kebijaksanaan. Tetapi kelahiran semacam ini amatlah sukar untuk didapatkan di dunia ini.
Seorang yang lahir dalam keluarga yogi yang bijaksana mempunyai kesempatan yang amat besar untuk meniti jalan evolusinya ke arah Yang Maha Kuasa, karena kesempatan semacam ini tidak didapatkan di sorga maupun di loka-loka lainnya. Seorang yang lahir di tengah-tengah keluarga yogi akan belajar mengenai Yang Maha Esa secara langsung semenjak amat dini.
43. Di situ ia mendapatkan penerangan akan (pengetahuan batin tentang kesatuannya dengan Yang Maha Esa) yang telah dicapainya pada kelahiran yang sebelumnya, oh Arjuna, dan ia pun berjuang sekali lagi untuk mencapai kesempurnaan.
Kemajuan di jalan kesempurnaan seseorang manusia itu bisa saja lambat jalannya. Seseorang mungkin saja harus berjuang selama berkali-kali (lahir berulang-ulang) sebelum mencapai kesempurnaan. Tetapi tidak ada usaha yang akan sia-sia sekali kita berjalan menuju Yang Maha Esa. Apapun yang dicapai seseorang ini selama hidupnya tak akan hilang sewaktu raganya binasa, tetapi malahan sebaliknya akan bertambah frekwensi dan kekuatannya pada kelahiran yang berikutnya, ia akan melaju lebih pesat lagi ke arah Yang Maha Esa. Seseorang yang misalnya lahir diantara keluarga yogi ini, secara otomatis akan terbuka penerangan batinnya semenjak ia masih kanak-kanak karena suasana rumah-tangga dan kehidupan orang-tuanya yang penuh dengan unsur-unsur kesucian dan pemujaan terhadap Yang Maha Esa; sehingga tanpa disadarinya terdorong oleh karmanya yang lampau ia akan tambah bersemangat melaju ke arah Yang Maha Esa-otomatis perjuangan dan kemampuan spiritualnya akan berlipat-ganda; jalan ke Yang Maha Esa akan dicapainya dengan lebih cepat dan mudah.
44. Karena usaha-usahanya pada kehidupannya yang lalu, maka tanpa dikuasainya lagi ia terus melaju. Seseorang yang mencari pengetahuan yoga bahkan (melaju) melampaui Shabda-Brahman (tata-cara dan peraturan-peraturan Veda).
Shabda-Brahman adalah tata-cara dan peraturan-peraturan keagamaan Hindu yang tertulis di buku-buku suci Veda. Veda-Veda ini sebenarnya amat penting pada permulaan pelajaran spiritual kita, tetapi setelah seorang yogi mencapai penerangan dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, maka Veda-Veda ini ibarat sebuah perahu yang menyeberangkan sang Yogi ini ke sisi lain sebuah sungai. Begitu selesai menyeberang dan mencapai penerangan maka perahu tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi, karena tujuan itu, yaitu Yang Maha Esa, telah tercapai.
45. Sang Yogi ini yang bekerja dengan tekun, bersih dari dosa, dan telah menyempurnakan dirinya dengan melalui berbagai kehidupan akan mencapai tujuannya yang suci.
Seseorang yang berusaha dan berjuang keras, sambil menyucikan dirinya, secara perlahan tapi pasti akan mencapai kesempurnaan setelah melalui berbagai kehidupan dan pengalaman selama perjuangannya dalam hidup ini. Tujuan yang suci adalah kesadaran dan kesatuan dengan Yang Maha Esa, pencapaian akan Kedamaian yang Abadi. Kalau dipelajari dan dimengerti dengan baik, maka bukankah sloka-sloka di atas ini menunjukkan betapa agungnya ajaran Sang Kreshna dalam Bhagavat Gita, karena setiap makhluk dan manusia betapapun besar dosanya, la secara perlahan tetapi pasti ditarik kembali kepada Yang Maha Esa tanpa kecuali. Inilah sebenarnya evolusi dalam kehidupan spiritual kita, dengan karuniaNya semua ciptaanNya ditarik kembali kepadaNya.
Pesan suci dalam Bhagavat Gita adalah bahwa walaupun seseorang jatuh 100 kali dalam hidup ini, ia akan dibangkitkan lagi ke arah yang sudah tujuannya. Kegagalan-kegagalan adalah sementara sifatnya. la akan jalan terus dalam hidup ini, karena yang dinamakan hidup ini sebenarnya amat komplek dan penuh dengan lingkaran kehidupan dan kematian yang berulang-ulang sifatnya, sampai suatu saat ia ditentukan untuk menuju ke tujuannya yang sejati, yaitu Yang Maha Esa. Raga atau sthula-sarira setiap makhluk dan insan lahir dan binasa, begitupun dengan raganya yang halus yang tak nampak oleh mata, yaitu sukhshama-sarira, tetapi karena sariranya (raga mumi yang menjadi penyebab hidup ini) akan selalu menyertai setiap makhluk atau insan sampai akhirnya tercapai moksha atau penyatuan dengan Yang Maha Esa. Di dalam karana-sarira ini terkoleksi (terkumpul) semua usaha dan perbuatan (sansakarci) manusia dan makhluk-makhluk ini. Karana-sarira sifatnya tak akan pernah mati, tetapi ia selalu mengumpulkan dan mengevaluasi semua yang baik dan buruk yang dilakukan oleh sthula-sarira kita. Maka seyogyanyalah kita harus ingat pada karana-sarira ini; setiap pikiran (vichara) dan perbuatan (achara) kita seharusnya bersih dan suci, atau kita harus berjuang lagi dan lagi membersihkan kotoran-kotoran ini dari karana-sarira kita pada kehidupan-kehidupan yang mendatang.
Jadi jalan mudahnya, adalah pasrahkanlah secara total kehidupan ini kepada Yang Maha Kuasa, usahakanlah semua ini dengan penuh kesungguhan, ketulusan, kejujuran dan iman yang teguh, dan bekerja demi dan untukNya semata tanpa pamrih. Jadilah saksi atau alatNya semata dan jauhkanlah kekotoran-kekotoran dari karana-sarira kita, yang akan selalu melaju lebih cepat ke Tujuan yang Abadi, kalau saja kita tanpa noda-noda dalam kehidupan ini.
46. Seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang meninggalkan kehidupan duniawi ini secara total; seorang yogi itu lebih agung daripada seorang ahli Veda, dan seorang yogi itu lebih agung daripada seorang yang bekerja sesuai dengan ritus-ritus. Maka seyogyanyalah dikau menjadi seorang yogi, oh Arjuna!
47. Dan diantara semua yogi, ia yang memujaKu penuh dengan keyakinan, dengan menyatukan Jati Dirinya dalam DiriKu -- ialah yang kuanggap sebagai seorang yogi yang amat sempurna keharmonisannya.
Seorang tapasvi (seorang yang mengasingkan dirinya untuk bertapa di hutan-hutan atau di gunung-gunung dengan menyiksa dirinya dan melepaskan semua nafsu-nafsu duniawinya masih dianggap kurang agung dedikasinya dibandingkan dengan seorang yogi, begitupun halnya dengan seorang ahli Veda; dan seorang yogi itu lebih agung juga dari seseorang yang bekerja dan bertindak sesuai ritus-ritus agama. Inilah nilai yang diberikan langsung oleh Sang Kreshna. Maka sebaiknya seseorang menjadi seorang yogi yang tetap hidup di dalam masyarakat, bekerja sesuai dengan kodratnya, dan dengan tanpa pamrih demi Yang Maha Esa semata. Seorang yogi yang terkendali semua indra-indranya, yang tetap berfungsi sebagai seorang manusia yang berguna untuk sesamanya, untuk lingkungannya, untuk negara dan bangsanya itu lebih agung nilainya di mata Yang Maha Esa.
Inilah ajaran Bhagavat Gita yang sesungguhnya, bekerja demi Yang Maha Esa tanpa pamrih dan menyatu denganNya, dengan DiriNya sambil berjalan mengarungi hidup ini ke tujuan yang abadi, yaitu Yang Maha Esa itu sendiri. Dan semua itu tanpa harus menanggalkan kewajiban kita sebagai manusia terhadap keluarga, masyarakat lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa. Dan diantara semua yogi, yang terbaik menurut Sang Kreshna adalah yang menyerahkan dirinya secara total kepadaNya, yang memujaNya penuh kasih, dan keyakinan, bakti dan dedikasi yang tanpa henti-hentinya, tanpa pamrih dan penuh kendali-diri.
Dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara Shri Kreshna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keenam, yang disebut:
Dhyana Yoga
atau

Yoga mengenai Meditasi

next Chapter 7

Tidak ada komentar: