Senin, 17 Maret 2008

DENGAN NYEPI MEMBANGUN HIDUP HEMAT

Dengan Nyepi Membangun Hidup Hemat

Print

E-mail

Page 1 of 3

HARI Raya Nyepi yang perayaannya dihubungkan dengan peringatan Tahun Baru Saka sesungguhnya suatu perayaan keagamaan Hindu yang cukup unik namun mengandung makna spiritual yang dalam. [Mimbar Agama, Bali Post, Minggu 2 Maret 2008, Oleh : Drs. Ketut Wiana, MAg]

Perhitungan perayaan Nyepi perhitungannya menggunakan sistem chandra premana. Sedangkan sistem Tahun Saka menggunakan sistem surya premana. Chandra pre mana menghitung bulan atau chandra mengelilingi Bumi setiap bulan selama 354 atau 355 hari per tahun. Sedangkan Tahun Baru Saka menggunakan perhitungan surya. Bumi mengelilingi Matahari selama 365 hari 5 jam 48 menit dan 46 detik per tahun. Setiap tahun sistem chandra premana lebih cepat sepuluh hari dari surya premana.


Agar Nyepi yang menggunakan sistem Chandra Premana ketemu dengan Tahun Baru Saka, maka setiap tiga tahun ada sasih ketiga belas yang disebut sistem nampih sasih. Sistem ini sudah banyak dibahas dalam berbagai tulisan dalam wujud buku maupun tulisan di media massa. Yang patut direnungkan makna perhitungan peredaran alam tersebut. Bulan yang sejuk dan matahari yang panas dipertemukan dalam suatu perhitungan hari baik atau dewasya dalam rangka merayaan han. raya keagamaan seperti Nyepi ini.

Mempertemukan sejuk dan panas ini sesungguhnya mengandung nilai kehidupan yang sehat lahir batin. Menurut ajaran usada, sakit itu secara umumnya disebabkan oleh panas atau dingin yang melebihi ambang batas. Karena itu obatnya secara umum disebut anget atau tis. Anget dan tis disebut juga dumelada. Kalau dalam hubungan dengan sikap hidup, mungkin sifat obat yang dumelada itu analog atau mirip dengan sikap moderat.


Sikap hidup moderat itu adalah sikap hidup yang senantiasa sesuai antara harapan hidup dan kenyataan hidup. Dalam kaitan itu, Nyepi yang dirayakan setiap tahun pada sasih kesanga dan puncak Nyepi pada penanggal apisah sasih kedasa dalam perhitungan chandra premana. Sedangkan pergantian tahun Saka selalu pada 21 Maret saat tahun biasa.

Dijadikan Dasar

Peristiwa alam itu dijadikan dasar hari baik sebagai perayaan Nyepi dengan segala rangkaiannya. Dari hal itu dapat diambil makna spiritualnya agar manusia dalam hidupnya senantiasa mengembangkan hidup yang moderat, selalu berhemat menggunakan energi dirinya maupun energi alam lingkungannya. Nyepi bukan berarti segala nafsu disepikan atau dimatikan.

Menyepikan indria berarti selalu mengukur ekspresi indria sesuai kenyataan, tak sampai memaksakan diri dengan sumber daya alam yang ada. Karena, orang yang hidup dengan memaksakan keadaan diri dan lingkungan akan merusak sendi-sendi kehidupan diri dan alam. Prof Dr Emil Salim menyatakan, terjadinya sepuluh ke.rusakan di muka bumi ini disebabkan oleh bergesernya orientasi kehidupan dari need ke want. Artinya, bergesernya kehidupan dari hidup "berdasarkan kebutuhan" ke "memuaskan keinginan": yang tiada batas. Gaya hidup seperti itu membuat hidup makin penuh beban memberatkan.


Alam pun akan makin terbebani karena dieksploitasi untuk memenuhi keinginan yang tidak akan pernah terpuaskan. Hidup manusia yang tidak melatih diri untuk menyepikan indrianya agar selalu sesuai dengan daya dukung diri dan daya dukung alam, akan membuat hidup glamor secara duniawi tetapi gersang secara rohani. Karena itu, perayaan Nyepi itu hendaknya dijadikan suatu momentum untuk membina sikap hidup hemat energi diri dan energi alam agar hidup ini tidak memberatkan fisik dan psikis kita.



Jangan biarkan perayaan Nyepi berlalu demikian saja setiap tahun tanpa kita maknai untuk menguatkan kualitas hidup kita ini. Seyogianya umat Hindu terutama di Bali dapat menghemat energi dirinya dan energi alam lingkungannya agar kehidupan beragama dapat lebih berdaya guna untuk meningkatkan kualitas hidup. Glamornya kehidupan duniawi tentunya sah-sah saja, sepanjang tidak menjadi beban yang menguras energi diri dan energi alam, apalagi mengecilkan artinya hidup ini. Kesibukan manusia modern yang demikian tinggi sering hanya untuk memenuhi tuntutan ambisi yang bernuansa duniawi tanpa memperhatikan nilai-nilai kehidupan yang sebenarnya untuk hidup tenang seimbang dan hemat lahir batin.



Lima Kekotoran

Perayaan Nyepi yang didahului dengan melasti, nyejer dan taur, melukiskan secara ritual sakral agar pemujaan pada Tuhan itu melahirkan ketetapan hati untuk menaruh kepedulian pada nasib sesama, kelestarian alam lingkungan dengan meningkatkan kualitas diri dari kekotoran panca klesa - lima jenis kekotoran rohani. Saat Nyepi itulah kita bangkitkan kesadaran diri lebih dalam lagi agar menyevaluasi kemampuan kita dalam membangun hidup hemat dengan mengendalikan diri agar jangan dikotori hidup kita oleh panca klesa.

Panca klesa terdiri atas avidya, Asmita, Raga, Dwesa dan abhiniwesa. Avidya adalah kebodohan karena digelapkan hati oleh unsur sapta timira (tujuh kegelapan: surupa, dhana, guna, kula kulina, yowana, sura dan kasuran). Tujuh hal itulah yang menyebabkan orang mabuk karena kegelapan hatinya. Namun Nitisastra menyatakan, barang siapa yang tidak mabuk karena itu, dialah orang utama yang disebut Sang Mahardika dan sangat patut ditetapkan sebagai Sang Pinandita.



Asmita artinya mementingkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, raga artinya pengumbaran hawa nafsu, dwesa artinya dendam dan benci sampai berniat menghancurkan orang yang dibenci, abhiniwesa artinya orang yang selalu dihantui oleh rasa takut karena kurang kepercayaan pada Tuhan.



Panca Klesa itulah yang akan mengotori hidup kita, yang seyogianya kita renungkan saat Nyepi untuk dibersihkan dari jiwa kita masing-masing. Kalau lima kotoran itu dapat dibersihkan dari jiwa kita masing-masing, maka manusia akan bisa hidup hemat energi diri sendiri dan hemat energi alam lingkungan. Hidup bersama pun akan menjadi lebih melegakan, tidak seperti sekarang serba menyesakkan karena boros energi diri sendiri dan boros lingkungan alam.



Inilah sesungguhnya cara kita memaknai Nyepi dewasa ini. Secara duniawi, saat Nyepi orang tidak boleh bermobil di Bali selama 24 jam. Hal itu memang sudah berhasil meredam emisi gas buang ke udara yang cukup berarti. Tinggal secara rohani kita bisa memaknai lebih dalam dan lebih luas lagi.

☼Penulis – Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat.

Hari Raya Hindu di Indonesia dan India : Sebuah perbandingan Pintas

Print

E-mail

Pattram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchata
tad aham bhakty upahrtam
Bhagawadita IX.26.
(Siapa saja yang sujud kepada Aku dengan
persembahan sehelai daun, sekuntum bunga,
sebiji buah-buahan dan seteguk air,
Aku terima sebagai bhakti persembahan
dari orang yang berhati suci)

Ajaran agama Hindu yang bersumber pada kitab suci Veda dimanapun sama, namun pelaksanaannya berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai faktor di antaranya lingkungan alam, sosial budaya dan lain sebagainya. Demikian pula hari-hari raya Hindu baik di India maupun di Indonesia, ada yang sama-sama dirayakan dan ada yang tidak. Persamaan dan perbedaan pelaksanaan kehidupan beragama ini merupakan ciri yang memberi kuasa dan mewarnai pelaksanaan agama Hindu.

=== I Made Titib ===

Di India seperti halnya umat Hindu di Indonesia mengenal banyak hari-hari besar keagamaan atau hari raya yang seluruhnya dapat dibedakan menjadi tiga 3 kelompok , yaitu : Pertama, hari-hari pesta keagamaan (festivals) yang dilakukan dengan meriah, seperti Chitrra Purinima, Durgapuja atau Navaratri, Dipavali, Gayatri Japa, Guru Purnima. Holi , Makara Sankranti, Raksabandha, Vasanta Panchami dan lain-lain. Kedua, adalah hari peringatan kelahiran tokoh-tokoh suci yang disebut Jayanti atau Janmasthani seperti Ganesa Caturti, Gita Jayanti, Valmiki Jayanti, Hanuman Jayanti, Krisna Janmasthani, Sankara Jayanti, Ramanavami dan lain-lain dan ketiga adalah hari untuk melaksanakan Brata(Vrata) atau Upavasa(Puasa) misalnya Sivaratri, Satyanarayana Vrata, Vara Laksmi Vrata, Ekadasi dan lain-lain.

Citra Purnima jatuh pada hari purnama bulan Chaitra, yakni bulan pertama dari penanggalan Saka, pemujaan ditujukan kepada dewa Yama, dewa maut dengan mempersembahkan sesajen berupa nasi berisi bumbu (sejenis "bubur pitara" di Bali) yang kemudian setelah dipersembahkan makanan atau prasadam (di Bali disebut "lungsuran") dibagikan kepada mereka yang mengikuti upacara.

Durgapuja atau Navaratri disebut juga Dussera atau Dasahara jatuh pada tanggal 1 sampai dengan 10 paro terang bulan Aswasuja atau Asuji (September-Oktober) untuk memperingati kemenangan Dharma terhadap Adharma, Upacara ini adalah untuk menghormati kemengangan Sri Rama melawan Rawana yang disebut juga Dasamukha (berkepala sepuluh). Konon Sri Rama berhasil jaya oleh karena anugerah Dewi Durga, karena itu sebagian umat Hindu memuja -Nya pada hari ini sebagai Durgapuja. Versi lain menyebnutkan sebagai kemenangan Sri Kresna melawan raksasa Narakasura, Upacara yang berlangsung 10 hari, sembilan hari pertama disebut Vijaya Dasani. Hari raya yang disebut juga Dussera ini mirip dengan Galungan dan Kuningan di Indonesia.

Dipavali, artinya persembahan lampu, disebut juga Divali, jatuh dua hari sebelum Tilem ( bulam mati) kartika ( Oktober-November), beliau disambut dengan penyalaan lampu-lampu, kembang api dan mercon semalam suntuk. Pagi hingga siang hari dilakukan persembahyangan keluarga di pura-pura terdekat di samping kunjungan keluarga, suasananya seperti Ngembak Agni di Bali.

Gayatri Japa, jatuh sehari setelah purnama Sravana (Kasa) bulan Juli atau agustus, sebagai peringatan turunya mantram Gayatri yang kini populer menjadi mantra Japa yang sangat penting dan sangat dikeramatkan oleh umat Hindu.

Guru Purnima jatuh pada hari purnama Asadha (bulan Juli-Agustus), hari ini disebut juga Vyasa Jayanti, hari lahirnya maharesi Vyasa. Makna hari raya ini mirip dengan Pagerwesi. Sejak purnama ini selama 4 bulan ( Caturmasa) para Sanyasin tidak lagi mengembara (karena musim hujan), mereka tinggal di asram-asram mendiskusikan Brahmasutra dan melakukan meditasi.

Holi, hari ini jatuh pada purnama Phalguna ( Kawulu), bulan Februari-Maret, dirayakan diseluruh India sangat meriah , maknanya untuk menyambut musim panas dikaitkan dengan raksasa perampuan bernama Holika yang akhirnya mati terbakar dikalahkan oleh kenbenaran yang dimanifestasikan oleh Prahlada. Upacaranya mirp dengan mecaru di perempatan-perempatan desa di Bali dan membuat api unggun yang dinyalakan pada saat menjelang malam.

Makara Sankranti jatuh pada pertengahan januari, pada saat itu matahari mulai bergerak ke arah utara Katulistiwa, sebagian besar umat Hindu menyucikan diri di sungai Gangga atau sungai sungai suci lainya di India, pemujaan ditujukan kepada dewa Surya.

Raksabandha jatuh pada hari purnama Sravana(Kasa), Juli- Agustus hari untuk menguatkan tali kasih sayang antara suami-istri, anak orang tua, kemenakan dengan paman/bibi, murid dengan guru dan sebaliknya, mengingatkan cintanya dewi Sachi kepada Indra. Pada hari ini pagi-pagi benar umat Hindu menyucikan diri ke sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya. Selesai sembahyang dilanjutkan dengan pengikatan benang pada pergelangan tangan masing-masing, tanda memperteguh ikatan kasih sayang.

Vasanta Panchami jatuh pada hari kelima paro terang ( Suklapaksa Magha masa), yakni bulan Januari-Februari dalam menyambut musim semi (Vasanta), seperti halnya hari-hari suci lainya, pada hari ini juga umat hindu mandi suci di sungai Gangga atau sungai-sungai suci lainya di India, disamping melakukan meditasi atau yoga Sadhana.

Hari-hari lainya yang berkaitan dengan peringatan kelahiran tokoh seperti Ganesa Caturti jatuh pada tanggal 4 paro terang Badrapada ( Agustus - september ) memperingati kelahiran Ganesa putra Siva. Para pemuja Ganesa melakukan japa, bermeditasi mengingat nama-Nya.

Gita Jayatri adalah memperingati turunya sabda suci Bhagawandgita, jatuh pada Ekadasi Suklapaksa Margasirsa yakni hari ke sebelas paro terang bulan margasirsa (Desember-Januari), seperti dimaklumi Bhagawadgita disampaikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di padang Kurusetra, tepat terjadinya peristiwa rohani ini kini disebut Jyotisara, sekitar 3 kilometer dari tempatnya rsi Bhisma terbaring menunggu matahari bergerak keutara.

Valmiki Jayanti jatuh beberapa hari menjelang Dipavali adalah untuk memperingati tokoh hindu, penyusun Ramayana sedang Hanuman Jayanti jatuh pada purnama Chaitra ( Bulan Maret-April) bersamaan dengan hari Chaitra Purnama, untuk memuja Yama, Kresna Janasthami jatuh pada hari ke 8 paro petang bulan Bhadrapada ( Agustus-September) untuk memperingati kelahiran Sri Kresna di kota Mathura, sebuah kota suci ditepi sungai Yamuna.

Sankara Jayanti jatuh pada tanggal 5 paro terang bulan Vaisaka ( Mei-Juni) untuk menghormati tokoh spiritual India peletak dasar ajaran Advaita Vedanta. Sri Sankara dikenal sebagai gurudeva dari para Sanyasin di seluruh India.

Ramanavani Jayanti adalah peringatan hari kelaiharan Sri Rama yang jatuh pada tanggal 9 paro terang bulan Chaitra ( Maret-April) . Sri Rama lahir di kota suci Ayodya, di Uttar Pradesh, India Utara.

Hari yang berkaitan dengan Brata atau Upavasa adalah Sivaratri hari ini jatuh pada tanggal 14 paro gelap bulan Maghadan Phalguna ( yakni bulan januari dan Februari ). Umat Hindu di Indonesia melaksanakannya pada bulan Magha ( sasih Kapitu), sedang umat Hindu di India melakukan pada bulan Phalguna ( Kawulu). Hal ini mungkin disebabkan saat itu merupakan bulan mati paling gelap di India.

Satya Narayana Vrata umunya dilakukan pada hari-hari purnama seperti Kartika ( Kapat), Vaisaka ( Kadasa), Sravana(Kasa), dan Chaitra ( Kasanga) dapat juga dilakukan pada saat bulan terbit ( tanggal 1 paro terang/penanggal). Bentuknya sangat sederhana yakni berupa persembahan dana punia kepada para pandita dan pemberian / pembagian makanan kepada orang-orang miskin.

Ekadasi atau Vaikunta Ekadasi Vrata jatuh pada tanggal dab panglong dan penanggal 11 bulan Margasisra ( Desember-Januari), 2 kali sebulan berupa puasa tidak makan nasi pada hari itu. meraka yang melakukan Ekadasi Vrata terbebas dari segala dosa.

Vara Laksmi Vrata , dilakukan pada hari Jumat bulan Sravana ( kasa) bulan Juli - Agustus untuk memohon kesejahteraan lahir dan bathin. Masih banyak kita jumpai informasi tentang Brata atau Upavasa di dalam kitab-kitab Ithiasa dan Puranba yang rupanya beberapa diantaranya dipetik dan diabadikan dalam lontar lontar tentang Bratha di Bali.

Telah dijelaskan di depan bahwa hari raya keagamaan yang mirip dengan galuingan dan kuningan adalah hari Durgapuja atau Navaratri yang diakhiri dengan Vijaya Dasani dirayakan hampir diseluruh India.
menurut Svami Sivananda dalam bukunya Fasts & Festivals of India (1991) India bahwa permulaan musim panas dan permulaan musim dingin, dua hal yang sangat penting adalah pengaruh matahari dan Iklim. Pda kedua perioda ini adalah kesempatan yang baik memuja iklim. Durga ( manifestasi Tuhan Yang Maha Esa segabai seorang Ibu) yakni dilakukan bertepatan dengan Ramanavani pada bulan Chaitra ( April-Mei) dan pada Durga Navarartri atau VijayaDasami pada bulan Asuji (September - Oktober) . Sri Rama dipuja pada saat Ramanavami sedang dewi dewi Durga di puja pada Navaratri. Durgapuja ini dirayakan secara besar-besaran dengan menghias altar ( tempat pemujaan keluarga, biasanya dalam kamar suci, tidak mempunyai pemerajan seperti kita di Indonesia). Tiga hari pertama pemujaan ditujukan kepada dewi Durga, tiga hari selanjutnya kepada dewi Laksmi dan tiga hari berikutnya kepada dewi Sarasvati.

Pada Pucak perayaan, hari ke sepuluh ( Vijaya Dasami) sejak pagi hari umat telah melakukan sembahyang dirumah ditujukan kepada ketiga dewi tadi, didahului dengan pemnujaan kepada Ganesa dan diakhiri denan pemujaan kepada dewa Siva atau Istadevata lainya. Selesai pemujaan dilanjutkan denan Dhyana atai meditasi dan pembacaan kitab-kitab suci khusunnya Dewi Sukta dari Rgveda, Dewi Mahatya, Bhagavadgita, Upanisad, Brahmasutra atau kitab Ramayana. Umat pada umumnya sejak pagi sudah mengucapkan Bhajan atau kidung-kidung memuja keagungan Tuhan Yang Maha Esa . Berbagai jenus makanan dipersembahkan dan akhir dari persembahyangan bersama dalam keluarga atau di pura ( Mandir ) selalu dibagikan Pradasam atau lungsuran untuk dinikmati bersama. Dewasa ini resepsi perayaan Durgapuja atau Wijaya Dasami dilakukan puladi kantor-kantor pemerintah dan swasta, juga disekolah-sekolah , selesai persembahyangan pada umumnya umat melakukan Dharmasanti, yakni kunjungan kepada keluarga terdekat, para guru pandita maupun sahabat atau tetangga. Saat ini semua keluarga berkumpul, karena itu beberapa hari kota-kota besar seperti mati, karena suasananya sepi, Ketika malam tiba, mulailah dilaksanakan pembakaran patung patung rawana yang digambarkan berkepala sepuluh, juga adiknya kumbakarna dan putranya meghananda, di India Timur dan selatan dilanjutkan dengan mengarak arca atau patung Durga, seorang dewi yang amat cantik bertangan sepuluh. Pembakaran atau terbunuhnya Rawana dan pengikutnya selalu dudahului dengan drama tari Ramayana dan keesokan harinya umat datang ke sungai-sungai suci untuk mandi menyucikan diri. Demikianlah pelaksanaan Vijaya Dasami, sedang peringatan tahun Baru Saka yang kita kenal dengan hari raya Nyepi tidak dikenal/dirayakan oagi di India, walaupun pada jaman dahulu hampir seluruh India mengenal dan menggunakan tahun Saka. Kini di India hanya pemerintah yang menetapkan tahun baru Saka setiap tanggal 22 Maret bila tahun biasa dan 21 maret bila Tahun Kabisat dan masyarakat umum kurang memperhatikan hal itu. Di India selain tahun Saka, dikenal juga tahun Harsa ( Harsa Sampat), tahun Vikrama ( Vikrama Sampat) dan lain-lain. Informasi yang saya terima tahun yang lalau di Nepal umat Hindu juga merayakan tahun baru Saka bersamaan denan hari raya Nyepi kita di Indonesia. Untuk dimaklumi Nepal adalah satu-satunya kerajaan hindu di dunia yang tempatnya di pegunungan Himalaya. Arsitektur pura di Neval bentukya sama denan Meru di Bali ( Indonesia), manunjukkan hubungan yang erat pengaruh Hindu ( India) terhadap Indonesia. Rupanya karena perbedaan musim dan tidak ada raja yang menjadikan Sri Rama sebagai Istadevata maupun karena sistem kalender yang digunakan di Indonesia, kita hanya mengenal Galungan dua kali dalam setahun, seperti halnya juga Sarasvati puja.

Selanjutnya bila kita memperhatikan persembahyangan yang dilakukan sehari menjelang hari raya Holi, yakni berupa persembahan biji bijian dan bunga serta pada air pada perempatan-perampatan desa yang telah menyiapkan kayu api untuik apiu unggun mengingat kita pada upacara Catur Tawur Kasanga, sehari menjelang Nyepi, sedang pelaksanaan Sivaratri hampir sama dengan di Indonesia.


Permulaan Perayaan Galungan di Bali (Indonesia)

Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita menegok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap prasasti-prasasti jaman bali Kuna maka dapat disimpulkan baha Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali disebut Jayakusuma putra dari raja Bhatara Guru yang memerintah pada tahun saka 1246 -1250 . Didalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek usianya disebabkan melupakan tradisi untuk merayakan Galungan ( yakni upacara pabhyakalan pada Kala Tiga ning Dungulan )

Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapathi, permaisuri raja Dharma udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durgamahisa sura mardini, yaitu Dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau ( kini arcanya tersimpan di pura kedarman burwan kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) disebut mencapai tingkatan Atmasiddhadevata dan hal ini dapat kita lihat dari Informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu gayatri di Pura penataran yang dalam kitab Nagarakrtagama, Pura ini disebut Hyang I Palah.

Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut galungan, melainkan disebut " atawuri umah anucyaken pitara" yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh ( leluhur), sebagaimana bunyi prasasti Suradhipa tahun Saka 1037.

Istilah Galungan rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055, disamping juga sesajen yang bernama Tahapan-stri, persembahan yang ditujukan kepada dewi Durga Sakti Siva, karena dewi Durga- lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa.. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala dan Nepal dan rupanya penggunaan daging babi ( yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.

Selanjnya bila kita melihat penaggalan bali, dalam hitungan hari yang disebut Astawara, maka sejak Radite sampai dengan Anggara Wage Dungulan, hari-hari itu bertepatan dengan Kala, karenanya disebut Sang Kala Tiga, sedang pada hari galungan ( Buda Kliwon Dungulan) adalah Uma, nama lain dari Durga dalam aspek Santa ( damai) pada saat ini umat memohon anugerahnya. Hari Galungan di samping memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspek beliau sebagai Uma, Durga atau Siva Mahdeva, bagi umat Hindu di Bali adalah juga merupakan hari pemujaan kepada leluhur. Hal ini dapat kita lihat dari rangkaian dari dan upacara Galungan, sejak Sugihan Jawa, Bali sampai dengan Sabtu Umanis Wuku Kuningan , akhir dari rangkaian perayaan Galungan.

Berdasarkan penjelasan tadi, Galungan telah dimulai sejak jaman Bali Kuna dan hingga kini tetap dirayakan. Jelaslah bagi kita upacara Galungan memiliki kesamaan makna dengan upacara Durgapuja atau Sradha Vijaya Dasani di India. Tentang filsafat Galungan ini kiranya dapat dilihat dari keputusan Seminar Kesatuan Tafsir kiranya dapat aspek-aspek agama hindu I di Amlapura, 1975 yang telah pula ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai hari kemenangan Dharma melawan a Dharma, kebenaran melawan kejahatan.

Hal yang tergantung adalah adanya transformasi diri bahwa dengan persembahyangan yang mantap pada hari-hari besar keagamaan diharapkan kita lebbih maju dalam bidang spiritual. Transformasi yang dimaksud adalah perubahan diri dari tadinya yang masih dibelenggu oleh sifat loba atau tamak, angkuh, suka menipu orang dan perbuatan sejenisnya berubah menjadi dermawan, suka menolong hidup lainyua. Transformasi diri akan terjadi dengan sendirinya bila mampu mengaktualisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Apakah artinya berbagai bentuk perayaan dan persembahyangan yang kita lakukan bila tidak terjadi perubahan diri, sipat-sifat Adharma senantiasa menguasai kita. Tentunya hal itu akan sia-sia.

Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan dalam rangka memperingati hari-hari raya keagamaan ini dan sesuai pula dengan pengertian agama yakni mewujudkan "kerahayuan jagat", disamping kegiatan ritual, kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan kemanusiaan sangat mutlak dilakukan. Disinilah pentingnya aktualisasi dan reaktualisasi agama dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Panitia-panitia perayaan yang ada pada lingkungan desa atau kantor instansi pemerintah atau swasta dapat melakukan berbagai kegitan, misalnya dengan donor darah, mengunjungi panti asuhan dan rumah jompo, memberikan pelayanan kesehatan, penghijaun dan lain-lain. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat melalui Pesamuhan Agung 1989 yang lalu menetapkan 6 meteda pembinaan umat, yakni: Dharma Vacana (yakni kotbah/ceramah agama), Dharma Tula (diskusi/sarasehan agama), Dharma Gita (menyayikan lagu-lagukeagamaan), Dharma Santi (Silaturahmi/resepsi ), Dharma Sadhana (merealisasikan ajaran agama melalui yogasamadi ) dan Dharma atau Tirthayatra mengunjungi tempat-tempat suci untuk mendapatkan kesucian diri ). Bila 6 kegiatan ini dapat dilakukan maka transformasi diri denngan sendirinya terjadi. Semogalah *

Om Dirghayur astu tat astu svaha
Om Santih Santih Santih

Aktualisasikan Catur Brata Penyepian

Print

E-mail

ImageDHARMA WACANA
HARI RAYA NYEPI

1. Setiap tahun umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi dengan melaksanakan berbagai rangkaian kegiatan ritual dan spiritual, sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis.
2. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Di dalam kehidupan bernegara, dimana bangsa Indonesia kini sedang melaksanakan karya besar " reformasi ", umat Hindu sebagai bagian dari warga bangsa wajib menginternalisasi nilai filosofis Hari Raya Nyepi uihntuk direfleksikan secara kontekstual dalam sikap luhur sebagai warga negara R. I. yang yang taat azas.
4. Dengan demikian umat Hindu akan dapat berperan dalam berbagai aktivitas luhur melalui svadharmanya atau bidang tugasnya masing - masing demi suksesnya Pembangunan Nasional yang bernuansa guyub rukun, damai dan sejahtera.

I. PENGANTAR

1. Panganjali/ salam.

2. Penghormatan kepada undangan ( Yth ……)

3. Doa mahon kebaikan :
" Om ano bhadrah kratavo yantu
visvatah ….., Tanme manah siva
samkalyam astu ". ( Rg Veda I. 89. 1 )

Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru ; Semoga pikiran kita diarahkan Tuhan kepada yang baik.


II. PENDAHULUAN

1. Setiap tahun umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi dengan melaksanakan berbagai rangkaian kegiatan ritual dan spiritual, sebagai wujud pengamalan ajaran Agama Hindu yang sarat dengan makna nilai filosofis.
2. Nilai filosofis itu merupakan nilai intrinsik bagi umat Hindu, bahkan merupakan nilai universal yang dapat diaktualisasikan dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Di dalam kehidupan bernegara, dimana bangsa Indonesia kini sedang melaksanakan karya besar " reformasi ", umat Hindu sebagai bagian dari warga bangsa wajib menginternalisasi nilai filosofis Hari Raya Nyepi uihntuk direfleksikan secara kontekstual dalam sikap luhur sebagai warga negara R. I. yang yang taat azas.
4. Dengan demikian umat Hindu akan dapat berperan dalam berbagai aktivitas luhur melalui svadharmanya atau bidang tugasnya masing - masing demi suksesnya Pembangunan Nasional yang bernuansa guyub rukun, damai dan sejahtera.

III. MAKNA FILOSOFIS HARI RAYA NYEPI
1. Bagi umat Hindu, perayaan Nyepi mengandung makna nilai yang sangat mendasar. Perayaan itu dilaksanakan sebagai upaya pencarian kesadaran akan hakekat kehidupan sebagai hamba Tuhan, sebagai kesatuan pribadi, dan sebagai ciptaan yang hidup di tengah - tengah kehidupan lingkungannya.
2. Dengan kesadaran itu mereka akan mewujudkan suatu kehidupan yang serba selaras, seimbang dan serasi antara raga dan jiwanya, individu dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan, serta dengan alam lingkungan. Itulah suatu harmoni kehidupan yang berakar dari konsepsi " Trihita Karana ".
3. Sehubungan dengan itu maka rangkaian perayaan Nyepi dilaksanakan dalam empat acara atau kegiatan :
a. Pertama : Upacara " Mekiyis " yang bermakna melebur noda, menyucikan dan memuliakan kebesaran Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), serta memohon sari pati kehidupan bagi seluruh ciptaanNya.
b. Kedua : Upacara " Macaru " yang bermakna membersihkan alam guna mencapai harmonisasi kosmos.
c. Ketiga : Mengamalkan " Catur Brata " untuk menemukan kesadaran akan jati dirinya sebagai kesatuan pribadi yang utuh.
d. Keempat : Melaksanakan " Ngembak Ghni " dan " Dharmasanti " sebagai wujud rasa damai dalam kehidupan di dunia ini.

4. Pengamalan " Catur Brata " dilaksanakan dengan " menyepi diri ", tidak melakukan kegiatan kerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelunganan), tidak bersenang - senang (amati lelangunan), tidak menyalakan api (amati ghni) yang bermakna mengekang hawa nafsu melalui pengendalian indra dan pikiran.
Kitab suci pancamo veda II. 58 menyatakan :
" YADA SAMHARATE CA'YAM
KURMO'NGANI'VA SARVASAH
INRIYANI 'NRIYARTHEBHYAS
TASYA PRAJNA PRATISTHITA "
Artinya : Bagaikan penyu menarik kaki dan kepala ke dalam tubuhnya, ia menari semua indranya dari segenap obyek keinginannya, maka dengan demikian jiwanya akan menjadi seimbang.

Dalam koondisi jiwa yang seimbang, ia merenung dilubuk hatinya yang terdalam, untuk menemukan jati dirinya, memantapkan keimanan dan ketakwaan atau Sraddha dan Bhaktinya kepada Sanghyang Widhi Wasa agar jiwanya menjadi bersih dan tenang, serta terbebas dari penderitaan.
" PRASADE SARVA DUHKHANAM
HANIR ASYO 'PAJAYATE
PRASANNA CETASO HYASU
BUDDHIH PARYAVATISTHATE " (Bh.G.II.65)
Artinya : Dalam jiwa yang bersih hening, segala derita-sengsara akan Sirna. Pikiran seseorang yang jiwanya bersih, bersemayam teguh dalam ketenangan.
5. Dalam jiwa yang bersih hening di saat Nyepi, manusia ibarat kepompong menjelang metamorfosa. Setelah menjadi kupu-kupu, ia terbang menjelajah alam, hidup dengan mengisap madu pada sari bunga, tanpa kebuasan, keserakahan, dan keangkuhan.
Demikianlah halnya umat Hindu, ketika Nyepi ia ibarat kepompong, tenang, diam, hening, menyatu dengan jiwa yang suci, menanti kehadiranNya yang penuh kesejukan. Merasakan sinar suci Hyang Widhi seakan hadir dalam air tanpa tepi, tenang menyejukkan dan menggugah kesadaran jiwa.
Setelah menemukan kesadaran akan jati dirinya, ketika hari Ngembak Ghni mereka memulai hidup baru dengan sikap mental yang kukuh, penuh kesadaran untuk mengabdi kepada Sanghyang Widhi wasa, mengabdi dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan sikap penuh persahabatan dan kedamaian yang dilambangkan dengan pelaksanaan " Dharma santi ".

IV. KEWAJIBAN SEBAGAI WARGA NEGARA
1. Kesadaran mengabdi yang merupakan refleksi sikap mental yang bersumber dari nilai filosofis Hari Raya Nyepi tidak hanya diwujudkan dalam kepatuhan mengamalkan ritual agama atau kewajiban beragama, namun juga kewajiban untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tidak boleh diabaikan, karena ini merupakan " Dharma " yang wajib hukumnya.
2. Dalam mengamalkan Dharma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, azas yang diwujudkan dalam sikap :
a. Satya Ing Nagara : Setia kepada negara, dalam hal ini Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesetiaan ini dapat diwujudkan apabila setiap umat Hindu memiliki kesadaran nasional yang mengakui kebhinekaan dan selalu berupaya mengabdi demi cita - cita bangsa dan tujuan nasionalnya
b. Bhakti Aprabhu : Tunduk dan taat kepada Pemerintah yang menjalankan Undang-Undang untuk kejayaan bangsanya. Menurut Veda setiap warga negara diwajibkan mengabdi kepada negara atau pemerintahnya. Kitab suci Yajurveda IX.40 menyatakan :
" MAHATE KSATRAYA MAHATE JYAISTHAYA
ASMAI VISAH ESAVO AMI RAJA "
Artinya : Kepala negara dinobatkan untuk perlindungan atas rakyatnya guna mencapai kejayaan bangsa, maka rakyat wajib mengabdi kepada kepala negara/ pemerintah yang melindunginya.

Di dalam Atharva veda XII.1.62 lebih ditegaskan lagi dengan anjuran :
" VAYAM TUBHYAM BALIHRTAH SYAMA "
Artinya : Korbankanlah hidup ini demi kejayaan bangsamu.
c. Prathivi Arcana : Menghormati dan mencintai Tanah Air, karena menurut Veda dinyatakan bahwa kita adalah putra-putra dari Ibu Pertiwi yang sesungguhnya tak pernah menyakiti kita
" MATA BHUMIH PUTRO 'HAM PRTHIVYAH "
( Atharva veda XII.1.12 )
d. Arcanamu svarajyam : Menghormati kemerdekaan bangsanya dengan berupaya mewujudkan cita-citanya ( Rgveda I.80.1 )
3. Dharma dalam kehidupan bernegara harus diamalkan oleh umat Hindu dengan penuh keyakinan, walau tantangan bahkan ancaman menghadang dihadapannya. Petunjuk Veda memberikan semangat kepada setiap manusia dengan ungkapan sloka berikut ini :
" ASMANVATO RIYATE SAM RAMAGHVAM
UTISTHATA PRA TARATA SAKHAYAH
ATRA JAHAMA YE ASANASEVAH
SIVAM VAYAM UTAREMABHI VAJAN "
( Rgveda I.53.8 )
Artinya : Sungai berbatu mengalir terus, berdirilah tegak ! Seberangi hai kawan. Tinggalkan mereka yang berfikiran keliru,agar kita mendapat kekuatan yang berguna.
4. Sebagai warga negara bangsa yang merdeka, umat Hindu harus pantang surut dalam menunaikan tugas kewajiban atau " svadharma " sebagai rakyat atau warga negara Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimanapun dia berada. Di dalam menghadapi karya besar bangsa Indonesia, yaitu melaksanakan reformasi dalam segenap aspek kehidupan nasional maka umat Hindu wajib berperan aktif untuk mensukseskan pelaksanaannya, demi tetap tegaknya kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Pelaksanaannya harus dilandasi oleh kejujuran, kebenaran dan keadilan karena Sanghyang Widhi Wasa selalu memancarkan sinar suci - Nya untuk menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan, sebagaimana dinyatakan didalam RgVeda X.121.9 yang berbunyi:
" MA NO HIMSIJ JANITAYAH PRTHIVYAH
YO VA DIVAM SATYA DHARMA JANANYAYA"
Artinya : Pencipta bumi yang tak pernah menyakiti, memancarkan sinar suci - Nya dalam menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan rakyat.
5. Untuk itulah setiap umat Hindu perlu mengaktualisasikan nilai filosofis Catur Bratha Nyepi secara kontekstual dalam kehidupan nasional yang dilandasi kejujuran, kebenaran dan keadilan, demi terwujudnya kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi cita - cita kita bersama.
" Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1923 "
Semoga Sanghyang Widhi Wasa selalu melindungi kita semua.
6. untuk itu marilah kita persembahkan daun kehidupan dan bunga bhakti kita yang murni kepada Tuhan, bangsa dan negara, mari kita serahkan buah karya kita yang terbaik demi kejayaan bangsa, serta marilah kita persembahkan air mata kasih yang suci ke segenap penjuru agar rasa kesatuan dan persatuan kita makin kukuh, dan cita - cita menuju ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial dapat diwujudkan.

V. PENUTUP
Akhirnya marilah kita menundukkan kepala, memuja Tuhan Yang Maha Kuasa memohon semoga Dia menganugrahkan kedamaian sejati.
" OM DYAUH SANTIR ANTARIKSAM SANTIH
PRTHIVI SANTIR APAH SANTIR
OSADHAYAH SANTIH VANASPATAYAH SANTIR
VISVE DEVAH SANTI BRAHMA SANTIH
SARVAM SANTIH,
SANTIR EVA SANTIH SA MA SANTIREDHI
(Yajurveda XXXVI.17)


Artinya : Ya Tuhan, semoga damai di sorga di angkasa, damai sejahtera di bumi, semoga air, tetumbuhan dan tanaman menjadi sumber kedamaian, semoga Tuhan menganugrahkan kedamaian, semoga kita semua damai sejahtera dalam Tuhan. Ya Tuhan semoga dimana - mana ada kedamaian dan semoga suasana damai sejahtera itu datang kepada kami.
Om Santih Santih Santih Om.

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka

Print

E-mail

Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika, membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan. Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir (human origin).

Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira 12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India). Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta, Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu tersebut di atas.

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa, Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera (Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit, Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral masyarakat.

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi, dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi.

Tujuan Hidup

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha. Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama. Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan mâsih ring sarwa prani."

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas kasihan kepada semua makhluk.

"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mâng dharma, artha kama moksha."

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yajña dan di antaranya dijelaskan pula tujuan Butha Yajña sbb:

"Butha Yajña namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani. Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu: Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya, melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan moksha.


Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.

Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

  • Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
  • Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
  • Amati lelungan (tidak bepergian).
  • Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).


Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

(Sumber: Buku "Yadnya dan Bhakti" oleh Ketut Wiana - Sabha Walaka Parisada, terbitan Pustaka Manikgeni)

Aturan Upawasa dalam Hindu

Print

E-mail

ImageUpawasa merupakan bagian brata, dan brata bagian dari brata-yoga-tapa-samadi, yang menjadi satu kesatuan dalam konsep Nyama Brata. Kewajiban warga Hindu menggelar brata-yoga-tapa-samadi diisyaratkan dalam kakawin Arjuna Wiwaha sebagai berikut. "Hana mara janma tan papihutang brata-yoga-tapa-samadi angetul aminta wiryya suka ning Widhi sahasaika, binalikaken purih nika lewih tinemuiya lara, sinakitaning rajah tamah inandehaning prihati."


Artinya:
Ada orang yang tidak pernah melaksanakan brata-yoga-tapa-samadi, dengan lancang ia memohon kesenangan kepada Widhi (dengan memaksa) maka ditolaklah harapannya itu sehingga akhirnya ia menemui penderitaan dan kesedihan, disakiti oleh sifat-sifat rajah (angkara murka/ambisius) dan tamah (malas dan loba), ditindih oleh rasa sakit hati. Tegasnya, bila ada orang yang tidak pernah menggelar brata-yoga-tapa-samadi lalu memohon sesuatu kepada Hyang Widhi maka permohonannya itu akan ditolak bahkan akan mendatangkan penderitaan baginya. Yang dimaksud dengan brata adalah mengekang hawa nafsu pancaindra, yoga adalah tepekur merenungi kebesaran Hyang Widhi; tapa adalah pengendalian diri; samadi adalah mengosongkan pikiran dan penyerahan diri total sepenuhnya pada kehendak Hyang Widhi.

Jadi berpuasa yang baik senantiasa disertai dengan kegiatan lainnya seperti di atas, tidak dapat berdiri sendiri. Upawasa batal jika melanggar/tidak melaksanakan brata-yoga-tapa-samadi. Untuk kesempurnaan berpuasa, disertai juga dengan ber-dana punia, yaitu memberikan bantuan materi kepada kaum miskin.

Aturan-aturan berpuasa bermacam-macam, antara lain:
1. Upawasa yang dilaksanakan dalam jangka panjang lebih dari sehari, di mana pada waktu siang tidak makan/minum apa pun. Yang dinamakan siang adalah sejak hilangnya bintang timur daerah timur sampai timbulnya bintang-bintang di sore hari;

2. Upawasa jangka panjang antara 3-7 hari dengan hanya memakan nasi putih tiga kepel setiap enam jam dan air klungah nyuh gading;

3. Upawasa jangka pendek selama 24 jam tidak makan/minum apa pun disertai dengan mona (tidak berbicara), dilaksanakan ketika Siwaratri dan sipeng (Nyepi);

4. Upawasa total jangka pendek selama 24 jam dilaksanakan oleh para wiku setahun sekali untuk menebus dosa-dosa karena memakan sesuatu yang dilarang tanpa sengaja; puasa itu dinamakan santapana atau kricchara;

5. Upawasa total jangka pendek selama 24 jam dilaksanakan oleh para wiku setiap bulan untuk meningkatkan kesuciannya, dinamakan candrayana.


Ketika akan mulai berpuasa sucikan dahulu badan dan rohani dengan upacara majaya-jaya (jika dipimpin pandita) atau maprayascita jika dilakukan sendiri. Setelah itu haturkan banten tegteg daksina peras ajuman untuk menstanakan Hyang Widhi yang dimohon menyaksikan puasa kita.

Ucapkan mantram:
Om Trayambakan ya jamahe sugandim pushti wardanam,
urwaru kam jwa bandanat, mrityor muksya mamritat,
Om ayu werdi yasa werdi, werdi pradnyan suka sriam,
dharma santana werdisyat santute sapta werdayah,
Om yawan meraustitho dewam yawad gangga mahitale candrarko gagane yawat, tawad wa wiyayi bhawet.
Om dirgayuastu tatastu astu,
Om awignamastu tatastu astu,
Om subhamastu tatastu astu,
Om sukham bawantu,
Om sriam bawantu,
Om purnam bawantu,
Om ksama sampurna ya namah,
Om hrang hring sah parama siwa aditya ya namah swaha.
Artinya, "Ya, Hyang Widhi, hamba memuja-Mu, hindarkanlah hamba dari perbuatan dosa dan bebaskanlah hamba dari marabahaya dan maut karena hanya kepada-Mu-lah hamba pasrahkan kehidupan ini, tiada yang lain.

Semoga Hyang Widhi melimpahkan kebaikan, umur panjang, kepandaian, kesenangan, kebahagiaan, jalan menuju dharma dan perolehan keturunan, semuanya adalah tujuh pertambahan.

Selama Iswara bersemayam di puncak Mahameru (selama Gunung Himalaya tegak berdiri), selama Sungai Gangga mengalir di dunia ini, selama matahari dan bulan berada di angkasa, semoga selama itu hamba sujud kepada-Mu, ya Hyang Widhi."

Tidak ada komentar: