Rabu, 19 Maret 2008

Yajurveda.XXX. 5

Brahmane brahmanam, ksatraya
rajanyam, marudbhyo vaisyam
tapase sudram.
(Yajurveda.XXX. 5).

Artinya:
Tuhan telah menciptakan Brahmana untuk mengembangkan pengetahuan.
Ksatria untuk perlindungan, Vaisya untuk kesejahteraan dan Sudra untuk
pekerjaan jasmani.

SALAH satu swadharma pemimpin negara seperti raja adalah membangun
sistem sosial yang dapat membangun kebersamaan yang dinamis untuk
menciptakan kerukunan sosial. Rukun itu adalah terminal sosial untuk
mengantarkan kehidupan bersama dalam keadaan aman dan damai. Keadaan
aman dan damai itu sebagai kondisi yang dibutuhkan agar tumbuh
potensi-potensi material dan spiritual yang seimbang dan kontinu untuk
membangun manusia yang seutuhnya lahir batin sebagai manusia yang
hidup bahagia.

Masyarakat yang aman dan damai itu adalah masyarakat yang di dalamnya
ada kesetaraan, persaudaraan dan kemerdekaan mengembangkan diri sesuai
dengan profesi dan fungsi masing-masing.

Dalam ajaran Hindu ada filosofi dasar membangun masyarakat yang rukun
secara vertikal dan horizontal. Bagaikan tampak dara yaitu ada dua
garis menyilang. Ada garis vertikal dari bawah ke atas dan ada garis
horizontal. Garis vertikal dan horizontal ini menyilang di
tengah-tengah. Itulah yang membentuk apa yang disebut dalam simbol
Hindu di Bali sebagai tampak dara.

Rukun secara vertikal antargenerasi berdasarkan konsep Catur Asrama.
Brahmacari hormat dan bakti pada generasi tua yang Gerhasta Asrama.
Demikian juga seterusnya dengan Asrama yang selanjutnya. Demikian juga
rukun secara horizontal antara profesi berdasarkan Catur Varna.

Sebagaimana dinyatakan dalam Mantra Yajurveda. XXX.5 bahwa Catur Varna
itu sama-sama ciptaan Tuhan berdasarkan Guna dan Karma. Artinya
berdasarkan bakat dan pekerjaannya. Catur varna itu kedudukannya
paralel horizontal, tidak membeda-bedakan harkat dan martabat sesama
manusia.

Keberadaan Pura Dasar Bhuana di Desa Gelgel Klungkung ini sebagai
tempat pemujaan untuk menyatukan berbagai golongan yang ada di Bali
saat kejayaan Kerajaan Klungkung ketika beribu kota di Gelgel yang
waktu itu disebut Sweca Pura. Di Pura Dasar Bhuwana ini di samping ada
sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa juga terdapat pemujaan Dewa Pitara
(roh suci leluhur) dari beberapa warga atau wangsa.

Ada pemujaan Warga Satria Dalem, Warga Pasek Maha Gotra Sanak Sapta
Resi, Warga Pande dan Wangsa Dang Hyang Nirartha. Pemujaan berbagai
warga nampaknya baru didirikan saat kejayaan Kerajaan Klungkung yang
beribu kota di Sweca Pura.

Sebagaimana umumnya pura di Bali berkembangnya secara evolusi sesuai
dengan perkembangan kebudayaan masyarakatnya. Oleh para peneliti pura
ini sudah ada sejak abad ke-10 Masehi sebagai Pasraman Pandita Mpu
Graha. Kalau kita perhatikan perkembangan berbagai tempat pemujaan
umat Hindu di Bali umumnya pura itu dikembangkan oleh setiap generasi.
Ini artinya lewat sistem pemujaan itu umat Hindu menghormati
peninggalan- peninggalan leluhurnya dengan melanjutkan apa yang
diwariskan oleh generasi sebelumnya. Inilah yang dapat disebut adanya
kerukunan antara generasi.

Mengembangkan warisan leluhur itu disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Meskipun demikian substansi universal dari warisan
itu sebagai tempat pemujaan untuk membina hidup yang benar dan suci
tetap dilanjutkan.

Dalam sistem pemujaan Hindu di samping adanya pemujaan pada Tuhan
sebagai unsur yang tertinggi, ajaran Hindu mengajarkan juga pemujaan
leluhur atau Dewa Pitara. Karena menurut Sarasamuscaya 250 ada empat
pahala orang yang berbakti pada leluhurnya yaitu Kirti, Bala, Yasa dan
Yusa.

Sementara dalam Manawa Dharmasastra II.121 dinyatakan bahwa mereka
yang tekun berbakti pada leluhurnya akan memperoleh pahala: Ayu,
Widya, Yasa dan Bala. Dari ajaran inilah menimbulkan adanya sistem
pengelompokan warga. Pandhaninath Prabhu dalam bukunya ''Hindu Social
Organisation' ' menyatakan ada tiga sistem pengelompokan leluhur yaitu
berdasarkan Sapinda, Gotra, dan Pravara.

Sapinda kesamaan leluhur berdasarkan kesamaan darah keturunan yang
dapat dilacak dengan pasti. Gotra kesamaan keluarga berdasarkan tokoh
yang diyakini sebagai leluhurnya sebagai pembentuk wangsa. Pravara
kesamaan keluarga didasarkan pada kesamaan sampradaya atau sekte Hindu
yang dianutnya.

Di India umat Hindu juga dikelompokkan berdasarkan sistem Gotra.
Karena itu ada ratusan bahkan ribuan Gotra. Sistem pengelompokan
berdasarkan sistem wangsa ini tidak ada kaitannya dengan kasta,
apalagi Catur Varna. Sistem wangsa atau sistem klan Hindu adalah untuk
memantapkan ajaran pemujaan leluhur sebagai tangga untuk memuja Tuhan.

Umat Hindu amat yakin akan pahala mulia bagi mereka yang berbakti pada
leluhurnya sebagaimana dijanjikan oleh Pustaka Sarasamuscaya dan
Manawa Dharmasastra tersebut. Tidaklah tepat kalau sistem wangsa ini
dicampuradukkan dengan sistem Catur Varna. Sistem Varna adalah sabda
Tuhan sebagai ajaran untuk mengembangkan profesi melalui pengembangan
dan pembinaan Guna dan Karma.

Tidak ada komentar: