Selasa, 18 Maret 2008

SEJARAH DAN MAKNA HARI RAYA GALUNGAN

SEJARAH DAN MAKNA HARI RAYA GALUNGAN

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan
Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali.Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan
titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur,
tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada
hari Rabu Kliwon,(Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804
Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka
perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama
Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk
mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena
tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk
menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi,
galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.”

Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkanmenghaturkan canang meraka dan “matirta gocara”. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

(Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka
Manikgeni)

=============================

http://pasopati.brinkster.net/parisadaorg/disartikel_detail.asp?eventsPage=4&articlesPage=2&article_id=18

Sungguh amat sulit memastikan hal ini, bila kita menengok kembali pada sumber tradisi di Bali di antaranya kitab Usana Bali dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bapak K.Ginarsa terhadap
prasasti-prasasti jaman Bali Kuna maka dapat disimpulkan bahwa Galungan telah dirayakan pada jaman Valajaya atau Tarunajaya yang didalam lontar Usana Bali disebut Jayakasumu, putra dari raja Bhatara
Guru yang memerintah pada tahun saka 1246-1250. Di dalam lontar Usana Bali dinyatakan bahwa para raja pendek usianya disebabkan mereka melupakan tradisi untuk merayakan Galungan.
Bila kita melihat upacara Sradha, yakni upacara penyucian roh sang raja Gunapriya Dharmapatni, permaisuri raja Dharma Udayana Varmadewa yang memerintah Saka 911-929 dan ketika mangkat rohnya disatukan dengan Istadevata-Nya sebagai Durga-mahisa-sura-mardini, yaitu dewi Durga sedang membunuh raksasa dalam wujudnya seekor kerbau (kini arcanya tersimpan di pura Kedarman, desa Buruan Kutri, Gianyar), maka upacara Durgapuja telah dilaksanakan pada waktu itu. Upacara penyatuan
roh yang telah disucikan dengan dewata pujaan (Istadevata) disebut mencapai tingkatan masiddhadevata dan hal ini dapat kita lihat dari informasi penyucian roh leluhur raja Hayam Wuruk, yakni Ratu Gayatri
di pura (candi) Penataran, Blitar, Jawa Timur yang dalam kitab Nagarakrtagama pura ini disebut Hyang I Palah.

Upacara Durgapuja pada waktu itu belum disebut Galungan, melainkan disebut “atawuri umah anucyaken pitara” yang artinya upacara selamatan rumah dan penyucian roh (leluhur), sebagaimana bunyi prasasti
Suradhipa tahun Saka 1037.

Istilah Galungan (yang atinya sama dengan Vijaya atau kemenangan) rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055. Di samping juga sesajen yang bernama
Tahapan-stri, persembahan ini ditujukan kepada dewi Durga, sakti Sang Hyang Siva, karena dewi Durga-lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa. Ciri khas ersembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala
dan Nepal dan rupanya penggunaan daging dan darah babi (yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.

sementara informasi dari link berikut:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0211/21/opi03.html

berdasarkan kitab pararaton Jawa, Hari Raya Galungan pertama sekali dirayakan di Indonesia pada abad ke-11, tepatnya di Jawa. Namun sejak keruntuhan kerajaan Majapahit, Hari Raya Galungan ini lama tak diperingati lagi.Kemudian, Hari Raya Galungan kembali diperingati di Bali. Perayaan ini bermula karena Raja Jaya Kusunu mendapat sabda atau wangsit dari Bhatara Durga kembali merayarakan Hari Raya Galungan.

Pada masa itu, banyak warga masyarakat menderita sakit. Menerima wangsit ini, Raja Jaya Kusunu kemudian merayakan kembali Hari Raya Galungan. Tak lama kemudian warga masyarakat akhirnya sembuh dari penyakit.

berdasarkan kitab pararaton Jawa, Hari Raya Galungan pertama sekali dirayakan di Indonesia pada abad ke-11, tepatnya di Jawa. Namun sejak keruntuhan kerajaan Majapahit, Hari Raya Galungan ini lama tak diperingati lagi.

Kemudian, Hari Raya Galungan kembali diperingati di Bali. Perayaan ini bermula karena Raja Jaya Kusunu mendapat sabda atau wangsit dari Bhatara Durga kembali merayarakan Hari Raya Galungan.

Pada masa itu, banyak warga masyarakat menderita sakit. Menerima wangsit ini, Raja Jaya Kusunu kemudian merayakan kembali Hari Raya Galungan. Tak lama kemudian warga masyarakat akhirnya sembuh dari penyakit.

Dalam mitologi di Bali, perayaan Hari Raya Galungan berawal dari adanya peperangan antara pasukan yang dipimpin Bhatara Jaya Indra melawan Maya Dhanaunta yang selalu melarang rakyat melakukan
sembahyang atau ibadah. Dalam pertempuran yang cukup sengit itu, akhirnya Maya Dhanaunta bisa dikalahkan. Meski demikian, prajurit Bhatara Jaya Indra banyak yang tewas.

Sebagai bukti sejarah tentang adanya peperangan itu adalah keberadaan Tirta Empul di Tampak Siring, Gianyar, Bali. Tak lama seusai pertempuran itu, Bhatara Jaya Indra menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dan ketika tongkat dicabut, dari dalam tanah keluar air bak air mancur. Air ini selanjutnya dipakai memerciki para prajurit yang akhirnya hidup kembali. Tempat keluarnya air itu diberi nama Tirta Empul.

Sebagai perbandingan versi lainnya coba di baca-baca di arsipnya pak IB Oka Nila:

Perayaan Galungan di Bali disamakan dengan Hari Raya Wijaya Dasami atau Hari Raya Dasara di India. Seperti halnya hari raya Galungan dan Kuningan yang dirayakan 10 hari, maka inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Sedangkan dalam upacara Wijaya Dasami pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu, pemelihara dunia dan pelindung dharma.

Menurut Ketua PHDI Jembrana I Ketut Semara Guna, pada zaman dahulu jagat dikuasai Raja Maya Danawa. Dia adalah raja yang sangat kejam dan bengis. Warga dilarang untuk datang ke pura dan mengaturkan sesajen. Akibatnya, suasana pun tak menentu dan penuh kesengsaraan. Karena tak ada yang berani sembahyang, kondisi alam pun terpengaruh. Tak ada yang menghormati Ida Sang Hyang Widhi.Ketika itu Sri Jaya Kesunu melakukan semedi di Gunung Lempuyang. Beliau mendapat pawarah-warah agar warga melakukan persembahyangan. Pemujaan terhadap leluhur pun mulai dilakukan. Upacara-upacara yang dulu dilarang Maya Denawa pun mulai dilakukan walau secara sembunyi-sembunyi. Dari pawarah-warah itu juga diketahui, kalau umat tidak melakukan pemujaan, bumi akan hancur.

Di sisi lain, Batara Indra mendapat tugas untuk mengembalikan suasana aman dan nyaman di Bali. Beliau pun mohon bantuan kepada para dewa untuk bersatu menghancurkan Maya Denawa. Akhirnya, melalui pertarungan sengit, Maya Denawa pun kalah dan darahnya tumpah di Tukad Petanu.

Sejak kematian Maya Denawa, warga masyarakat mulai menemukan pencerahan. Suasana galang apadang, gilang gumilang. Dharma (kebaikan) berhasil mengalahkan adharma (kejahatan) dan inilah yang kemudian dirayakan sebagai Galungan.

Istilah Galungan (yang atinya sama dengan Vijaya atau kemenangan) rupanya pertama kali disebut dalam prasasti yang di keluarkan oleh raja Jaya Sakti tahun Saka 1055. Di samping juga sesajen yang bernama
Tahapan-stri, persembahan ini ditujukan kepada dewi Durga, sakti Sang Hyang Siva, karena dewi Durga-lah yang dapat membasmi berbagai bentuk kejahatan dalam wujud raksasa. Ciri khas persembahan kepada dewi Durga adalah berupa daging babi yang sampai kini masih tersisa di Bengala
dan Nepal dan rupanya penggunaan daging dan darah babi (yang juga warisi di Bali) adalah tradisi dari upacara Durgapuja itu.
==============================

Memaknai Galungan –
Tumbuhkan Kesadaran terhadap Nilai-nilai Kemanusiaan
Besok, Rabu (23/01) Kliwon Dungulan, umat Hindu kembali merayakan Galungan. Hari raya ini baik sekali dijadikan tonggak untuk introspeksi, sebagaimana yang tersirat dalam Wuku Dunggulan –
Dunggulaning Parangmuka yang artinya jaya dalam setiap ”pertempuran” melawan tindakan atau perilaku adharma. Bagaimana mestinya umat memaknai Galungan?

==========================

KAKANWIL Agama Propinsi Bali Gusti Made Ngurah mengatakan, Hindu memiliki sejumlah hari raya. Hari raya keagamaan itu bisa dijadikan momentum untuk melakukan perenungan-perenungan atau mulat sarira. Demikian pula Galungan yang datang setiap enam bulan sekali. Saat Galungan, umat alangkah baiknya melakukan perenungan akan kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Saat Galungan umat melakukan introspeksi, apakah selama ini sudah mampu menghindari perbuatan yang bertentangan
dengan dharma, seperti perilaku kekerasan dan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sadripu.

”Nilai-nilai kemanusiaan itu penting ditumbuhsuburkan dalam diri. Tak hanya saat Galungan, pada hari-hari keagamaan lainnya umat baik sekali jika melakukan perenungan-perenungan. Dan, saat hari raya Galungan umat melakukan perenungan terhadap makna dharma itu sendiri,” ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Rektor IHDN Denpasar Gede Rudia Adiputra. Dikatakannya, setiap perayaan hari keagamaan, termasuk Galungan, diharapkan ada peningkatan sradha dan bhakti.

Melalui perayaan Galungan, umat hendaknya merenung, apakah selama ini sudah menang melawan adharma. Apakah sudah mampu meningkatkan sradha dan bhakti? Apakah sudah berbuat lebih baik daripada sebelumnya? Apakah sudah mampu mengendalikan diri dan menghindari perbuatan yang
bertentangan dengan dharma? Apakah sudah ada peningkatan intelektualitas? ”Jika merasa gagal, kita mesti jujur mengakui kegagalan itu dan kemudian berupaya membenahi diri,” kata Rudia.

Mengenai perayaan Galungan, dosen S2 Ilmu Agama dan Kebudayaan Unhi Drs. Wayan Sukarma, M.Si. mengatakan harus dimaknai sebagai disiplin berpikir dan bertindak. Perayaan yang berulang setiap 6 bulan itu merupakan siklus yang nilai-nilainya juga perlu direvitalisasi. Seperti konsep yoga yang dilakukan berulang-ulang dalam ruang dan waktu yang sama, sehingga setiap hari manusia seharusnya ingat kepada Tuhan, ingat kepada dharma. Galungan harus dimaknai tidak semata-mata
sebagai rutinitas kemenangan dharma, kebenaran atas kejahatan. ”Jadikan dharma sebagai kepribadian. Bukan hanya sebatas di permukaan, tapi lebih ke kedalaman dan spirit kemenangan dharma itu,”
ujarnya.

Soal kemenangan dharma yang dirayakan secara ritual atau seremonial dalam hari raya Galungan, menurut Sukarma tidak boleh berhenti di tingkat kemenangan. Manusia Hindu Bali bisa jadi bangga karena menjadi pemenang dalam pertempuran dharma melawan adharma. Namun, rasa bangga
tersebut harus diikuti dengan rasa syukur dan bahagia. Dan, yang terpenting, memiliki mental pemenang. Hal itu baik di tengah situasi kompetitif saat ini. ”Jiwa kemenangan harus dibawa ke keseharian,”
imbuhnya.

Dia menambahkan, dharma bersifat elastis. Bukan sekadar kebenaran, namun dharma juga bisa dimaknai sebagai rta, hukum alam. Segala sesuatu di luar Atman dan Brahman, itulah dharma.

Tidak ada komentar: